kesenduan
Rabu, 21 November 2012
Kamis, 05 Juli 2012
suara hati
suara hati...
aku selalu di buat tak berdaya oleh mu
mungkin aku lemah dengan suara hati ini, namun ketahuilah kau yang sesalu membuat segalanya bimbang.
kau putar segalanya, kau abaikan suara hati ini menghempaskan aku hingga ke dasar laut terdalam dan tenggelam karena rasa bodoh ini, rasa kesedihan mendalam hingga tercabik hati ini, hancur, hingga berkeping-keping...
kini kau hadir lagi membawa sekotak perban dan menyesali ingin merawat hatiku agar terdengar lagi suara hati ku. mengertilah rasa itu telah tenggelam terkubur bersama rasa bodoh yang kau tenggelamkan...
saat kau hadir, aku hanya ingin membalas rasa yang hancur kepadamu agar kau tahu tentang suara hatiku
namun..
kini aku terjebak dengan suara hatiku sendiri, terjebak antara suara hati atau bayang-bayang balas dendam. apa sebetulnya misimu, apa sebetulnya yang ada difikiraan mu jika kau hadir kembali untuk membalut, lakukanlah dan obatilah aku agar suara hati ini bersambut jangan membuat suara hati ini bimbang...
aku selalu di buat tak berdaya oleh mu
mungkin aku lemah dengan suara hati ini, namun ketahuilah kau yang sesalu membuat segalanya bimbang.
kau putar segalanya, kau abaikan suara hati ini menghempaskan aku hingga ke dasar laut terdalam dan tenggelam karena rasa bodoh ini, rasa kesedihan mendalam hingga tercabik hati ini, hancur, hingga berkeping-keping...
kini kau hadir lagi membawa sekotak perban dan menyesali ingin merawat hatiku agar terdengar lagi suara hati ku. mengertilah rasa itu telah tenggelam terkubur bersama rasa bodoh yang kau tenggelamkan...
saat kau hadir, aku hanya ingin membalas rasa yang hancur kepadamu agar kau tahu tentang suara hatiku
namun..
kini aku terjebak dengan suara hatiku sendiri, terjebak antara suara hati atau bayang-bayang balas dendam. apa sebetulnya misimu, apa sebetulnya yang ada difikiraan mu jika kau hadir kembali untuk membalut, lakukanlah dan obatilah aku agar suara hati ini bersambut jangan membuat suara hati ini bimbang...
Selasa, 03 Juli 2012
rasa ini..
hati ku kembali merasakan hal yang karam,
hal yang pernah hilang dan pergi
aku tidak pernah menyangka
namun bagaikan tersapu ombak...
hal yang dulu tidak pernah ku tahu
sesuatu yang mempertemukan kita lagi..
hal yang bukan aku
hal yang bukan kamu
tetapi menjadi kita
menjadi satu
dan selamanya kita menyatu...
#Firchi
hal yang pernah hilang dan pergi
aku tidak pernah menyangka
namun bagaikan tersapu ombak...
hal yang dulu tidak pernah ku tahu
sesuatu yang mempertemukan kita lagi..
hal yang bukan aku
hal yang bukan kamu
tetapi menjadi kita
menjadi satu
dan selamanya kita menyatu...
#Firchi
Selasa, 22 Mei 2012
tentang dia
aku dipertemukan oleh waktu
waktu menghampiri dengan detik perlahan
aku bertanya apa yang sebenarnya dapat terjadi
lesu menahan ingin tahu yang tersimpan
beharap suatu saat nanti pertemuan menyapa kita
dan semoga waktu tidak memperpisahkan kita..
waktu menghampiri dengan detik perlahan
aku bertanya apa yang sebenarnya dapat terjadi
lesu menahan ingin tahu yang tersimpan
beharap suatu saat nanti pertemuan menyapa kita
dan semoga waktu tidak memperpisahkan kita..
Senin, 02 April 2012
DUA
“Mbak… satu pesanan di nomor dua”
“Ini Caci satu cappuccino ice dan satu lemon tea
hangat”
Dengan sigap
Caci mengantarkan dua minuman itu ke pesannya yang berada di bangku nomor dua,
karena hari ini tidak ada tugas apa pun dari sekolah maka setelah pulang
sekolah Caci mampir ke cafe milik om Hans karena seperti biasa walau sudah
memiliki 12 orang karyawan, tetap saja cafe mungil ini kebanjiran pelanggan,
mau tidak mau Caci harus membantu om Hans karena tante bebie tengah menjaga si
kembar Kiki dan Iki di rumah, Caci juga sudah akrab dan kenal betul dengan para
pelayan di sini mereka semua sudah Caci anggap seperti bagian keluarganya
sendiri karena dari kecil Caci telah tinggal dengan keluarga om Hans serta
membantu di cafe dan ini sudah bukan hal yang baru. Nah pelayan di cafe ini ada
paman Thomas sang koki handal pembut cake-cake enak yang telah bekerja dengan
om Hans dari awal cafe ini hanya cafe kecil hingga sekeren ini, selain itu ada
bibi Karin, bibi Karin juga sama seniornya di sini seperti paman Thomas hanya
saja bibi Karin di sini adalah pembuat makanan-makanan lezat semua aneka
masakan pasti dia bisa maka dari itu tempat ini menyediakan aneka makanan khas
Nusantra serta yang paling terbaru bibi Karin tengah mempelajari membuat
makanan-makanan dari benua Eropa sana seperti Italy, prancis, dan yang terbaru
adalah makanan lezat dari Spanyol dan banyak lagi makanan yang cukup menggoyang
lidah setiap pelanggan yang datang, mungkin inilah alasan kenapa cafe milik om
Hans banyak di minati banyak orang karena kami menawarkan begitu banyak menu
special.
Ketika mengantarkan minuman ke meja nomor dua Caci
sedikit terkejut melihat siapa penghuni meja nomor dua, seorang wanita berbadan
tinggi tegap, putih, langsing, serta memiliki kaki yang jenjang yang mengenakan
long dress berwarna merah muda yang membuat long dress itu terlihat lucu dan
manis, dan sedikit terbuka di bagian dada serta aksen pita di tengah bajunya
tepatnya di antara belahan dadanya yang pasti menjadi pusat perhatian ketika
semua orang melihatnya dan gaya wanita ini sedikit aneh pakaian yang di kenakan
sangat lucu dan manis tetapi kepala wanita itu tertutup sebuah topi yang
menutupi sebagian rambut panjangnya yang terurai dan wanita itu juga mengenakan
kaca mata hitam seperti orang ingin ke pantai di tambah lagi di bagian dada
yang terbuka wanita itu mengenakan sebuah syal, tentu dengan ramah Caci menyapa
pelanggannya.
“Selamat siang mbak… ini pesanannya satu cappuccino
ice dan lemon tea
hangat”
“Terima kasih”
“Ada
lagi yang bisa saya bantu?”
“Emmm… oya saya pesan satu salad dan cake cokelat”
Ucap manis sang wanita itu
“Baik ada lagi?”
“Untuk sementara cukup itu aja”
“Baik kalau begitu tunggu sebentar ya mbak pesanannya
akan segera
datang” Caci
tersenyum manis pada wanita itu sebelum pergi meninggalkan meja nomor dua, Caci
sedikit aneh dengan wanita itu seolah wanita itu begitu familiyar tapi Caci tidak
menggenali siapa wanita itu, Caci juga sedikit aneh wanita itu jelas-jelas
duduk sendiri tapi mengapa memesan makanan dan miniman serba dua.
“Ada
pesanan lagi Ci?” Sapa Catrin, Catrin adalah pelayan yang bekerja di cafe om
Hans yang tepatnya lebih tua tiga tahun di banding Caci.
“Iya… Cat satu salad dan satu cake cokelat untuk meja
nomor dua”
“Okeee… pesanan siap di antar”
“Wah.. tumben cepat sepertinya kamu lagi senang?”
“Hhee… iya Ci nanti sore mau di jemput abang”
“Cieee…. Kenalan kamu tempo lalu”
“Iya.., udah cepat diantar nanti pelanggan kita menunggu
lama loh, kita
gosipnya
sambung di belakang saja ya”
“Haha okeee…”
Di cafe ini
aku memang dekat hanya dengan Catrin karena Catrin yang masih muda maka dari
itu kami sangat nyambung jika bicara dan bertukar fikiran pasalnya sebagian
besar pelayan disini telah menyandang status menikah jika pun ada paling hanya
pelayan pria itu juga seumuran dengan Catrin.
Ketika mengantar pesanan untuk meja nomor
dua Caci melihat suasana yang berbeda karena saat ini sang wanita itu tidak
sendiri di sebelahnya ada sesosok pria yang berbadan tinggi yang tidak berbeda
jauh dengan sang wanita.
“Permisi mbak, mas… maaf lama menunggu ini pesanannya
satu salad dan
satu cake
cokelat” sang pria yang duduk di samping sang wanita pun menoleh ke arah Caci
karena mendengar suara Caci yang sedikit besar dan terdengar sedikit lembut
namun alangkah terkejutnya Caci melihat pria itu adalah Ben, dan Ben pun sama
terkejutnya dengan Caci namun Caci segera tersenyum kepada Ben dan wanita itu
sebelum akhirnya meninggalkan meja nomor dua.
Siapa ya cewek yang ada di sebelah Ben itu,
paling-paling juga ceweknya atau mungkin selingkuhannya tapi katanya orang kaya
masa makan di cafe yang kecil ini atau mungkin tengah pengiritan karena harta
ayahnya akan habis (Caci bicara sendiri di dalam hatinya).
***
Sore ini
aku bertugas menjaga Ima, Kiki dan Iki seperti yang kalian bayangkan betapa
repotnya menjaga tiga anak kecil yang baru berusia 5 tahun dan 3 tahun tapi
untungnya para sepupu ku ini tidak pernah merepotkan dan rewel mereka selalu
menurut apa yang aku katakan dan menghormati ku jika ibu dan ayah mereka sedang
di cafe seperti saat ini, bahkan sore ini mereka berlaku sangat manis pada ku
dan mengajak mereka bertiga ke taman adalah kado terbaik untuk mereka yang hari
ini tidak nakal dan berlaku sangat baik, sebelum pergi ke taman yang jaraknya
dekat dengan rumah aku tidak lupa mengunci pintu rumah dan mengecek bahwa
segala macam kompor dan air telah mati agar tidak terjadi hal-hal yang tidak di
inginkan, aku pun pergi ke taman dengan membawa makan dan air minum milik si
kembar, si kembar telah siap menghuni kereta dorong milik mereka sabuk pengamannya
pun telah terpasang dan tidak lupa aku membawa robot-robotan milik si kembar
bahkan sore ini aku yang mendadani si kembar dengan piyama lucu dan mereka
terlihat sangat menggemaskan, dengan mendorong kereta dorong serta menuntun Ima
yang membawa teddy bear ke sayangannya yang sedikit lusu, kami berempat sampai
juga di taman dekat rumah.
Ima sedang minum teh sore dengan teddy bearnya
permainan yang khas anak prempuan dan aku menyuapi Kiki dan Kiki yang cukup
menikmati suasana di taman sore ini bahkan si kembar sangat asik bermain dengan
robot-robotan milik mereka sambil menyambut heli copter milik ku yang berisi
satu sendok kecil bubur sereal rasa cokelat kesukaan keduanya,
Ketika Ima tengah asik dengan teddy bearnya dan aku
tengah sibuk memperhatikan Kiki dan Iki tiba-tiba terdengar suara anak kecil
tengah menangis memang terdengar samar-samar tidak jelas karena di taman ini
juga banyak anak-anak kecil dengan para pengasuhnya tapi aku yakin sumber suara
itu berasa dari balik pohon yang tidak jauh dari tempat kami duduk saat ini
karena penasaran aku pun mencari sumber suara itu dengan mendorong kereta si
kembar dan menuntun Ima, ternyata rasa penasaran kami terjawab karena yang
menangis adalah makhluk menggemaskan dan lucu dengan pita manis di sebelah
kiri.
“Adik manis kenapa nangis? Ibu kamu kemana?” anak
kecil yang seumuran dengan Ima yang tadi menangis pun terhenti tangisnya walau
belum berhenti sepenuhnya ketika aku bertanya anak kecil itu masih
tersenga-senga sambil menunjuk sesuatu di atas pohon dan aku pun mengerti
mengapa anak itu menangis ternyata balonnya tersangkut di atas pohon,
Aku pun menaiki pohon yang tidak terlau tinggi dan
mengambilkan sebuah balon yang tersangkut di atas pohon dengan hati-hati agar
balon berwarna pink itu tidak pecah aku pun mengambilnya dan memberikan pada
anak kecil itu, kini ada senyum di wajah malaikat kecil itu.
“Sekarang jangan nangis lagi ya, kan balonnya udah kakak ambilin”
“Makasih ka” ucap manis anak kecil itu
“Nama kamu siapa?”
“Cha-Cha ka”
“Rumah kamu dimana?” anak kecil itu menunjuk rumah
yang tidak terlalu jauh dari taman sepertinya dia tinggal di samping rumah ku
karena rumah yang dekat dari taman dan terlihat dengan jelas adalah rumah ku
dan rumah yang ada di sebelah rumah ku aku yakin anak kecil ini adalah adik
dari cowok jutek itu atau tepatnya tetangga baru ku yang saat itu di ceritakan
tante bebie tetangga baru yang memiliki anak kecil seumuran dengan Ima.
Akhirnya
Cha-cha dan Ima bermain bersama sepertinya terlihat jelas dari wajah Ima sangat
senang memiliki teman baru dan si kembar sepertinya kekenyangan karena malaikat
kecil yang manis dan imut ini tengah terlelap tidur di kereta dorong mereka dan
ku lirik jam tangan ku ternyata sudah hampir tepat jam 5 sore itu artinya kami
harus bergegas pulang tante akan sangat kaget jika pulang tidak ada orang.
“Ima pulang sekarang yuk udah sore”
“Tapi teh Ima masih mau main”
“Udah sore sayang kasian tuh adik kamu udah pada tidur
kecapean
mainnya besok
lagi sama Cha-cha, Cha-cha juga pasti di cariin Ibunya kalau
kesorean”
“Ya udah dch teh tapi beli ice crim dulu ya?” Ima
menunjuk tukang ice cream yang di rubung para anak kecil yang seolah tengah di
landa bencana
kelaparan dan
sangat ramai seperti pasar yang tengah menawarkan diskon besar.
“Ya udah tapi habis itu pulang ya! Emmm… Cha-cha mau
ice crim juga”
Cha-cha hanya
mengangguk, dasar anak kecil fikir ku sendiri dalam hati untung aku bawa uang
sebelum meninggalkan rumah, setelah mendapat dua ice ckrim rasa vanilla dan
rasa strawberry dengan nikmat keduanya menikmati di bangku taman namun tiba-tiba
kelezatan menikmati ice crim yang di jilat hingga belepotan khas anak usia 5
tahun itu harus terganggu karena ada seorang pria yang berlaku sedikit kasar
pada Cha-cha dan membuat teman baru Ima itu menangis aku pun tidak dapat
tinggal diam dan menegur pria itu yang berdiri sedikit membelakangi ku, aku pun
menegurnya sambil memegang bahu pria itu.
“Hehh…. Jangan kasar dong sama anak kecil” dan pria
itu menoleh kearah ku bukan pria itu yang terkejut melihat ku tetapi aku yang
terkejut melihatnya ternyata pria itu adalah pria jutek yang ku tabrak saat ia
baru pindah tempo lalu dan aku dapat melihatnya dengan jelas saat ini, aku
yakin pria ini juga adalah anak baru di kelas ku yang tempo lalu dapat
mengalahkan aku dalam membaca puisi saat pelajaran bahasa Indonesia.
“Elo… dari awal gue sudah yakin loe itu tetangga baru
gue sekaligus teman
satu kelas
gue, loe kenapa kasar gitu sih… Cha-cha emang mau pulang ko
jadi jangan di
marahin gitu kasian kan
dia ketakutan”
Pria itu
hanya menatap ku sinis dan pandangan seperti sok tahu sebelum pada akhirnya
menarik tangan Cha-cha dengan kencang dan membuat ice crim rasa strawberry yang
tadi ku belikan jatuh dan tumpah semua dan pria itu menggendong Cha-cha yang
menangis untuk segera memasuki rumah mereka.
Dasar cowok aneh enggak jelas (gerutu Caci dalam hati)
Pagi ini
aku sampai di sekolah 15 menit sebelum bel berbunyi sepertinya pagi ini ada
kemajuan karena pagi ini aku tidak telat ketika aku belum sampai di kelas Fini
telah menungguku di depan pintu kelas dengan senyum yang paling manis yang Fini
miliki tetapi terlihat pagi ini sepertinya ada yang berbeda dari Fini dia tidak
membawa buku-buku tebal yang menjadi ciri khas teman sebangku ku yang
mengenakan kaca mata tebal ini.
“Ada
apa Fin kelihataannya seneng banget pagi ini?” Sapa Caci pada Fini yang telah
menyambutku dengan senyumnya pagi ini
“Tebak dong Ci kenapa gue bisa seneng gini???”
“Ulangan fisika kemaren dapat cepe ya?”
“Lebih dari itu” Fini semakin membuat Caci penasaran
“Terus apa dong semakin penasaran nich, masa pagi-pagi
udah ngajak main
tebak-tebakan???”
“Pokoknya pagi ini lebih dari nilai-nilai gue yang
udah biasa dapat seratus”
“Terus???” Tanya ku lagi dengan penuh penasaran dan
tak sabar
“Loe tahu Ben kan?”
“Iya… kenapa dia?”
“Tadi pagi dia nyapa gue dan ngobrol sama gue”
“Yah… gitu doang gue fikir apa gitu”
“Yah… Caci masa gitu doang sich ekspresi loe” Fini
meninju bahu ku dengan pelan karena ekspresi ku yang datar dan tidak menunjukan
menarik sama sekali.
“Iya… Iya… terus apa???” Tanya ku berusaha antusias
“Loe tahu kan
Ben dan kebanyakan orang disini enggak ada yang mau nyapa
atau senyum
sama kita mangkanya tadi pagi gue seneng banget”
“Emang dia ngapain loe sampai loe seneng banget?”
“Dia hanya senyum kearah gue”
“Ada apa hayo, kok di senyumin sampe seneng gitu???”
“Maaf Ci tapi
ini rahasia dan gue belum bisa cerita ke elo”
“Kalau emang
rahasia ngapain loe cerita ke gue” Caci meninggalkan Fini yang masih berdiri di
depan pintu kelas dan Fini pun mengekor di belakang ku sampai akhirnya kami
sampai di bangku kami di posisi dua dari belakang dan ku lihat anak baru itu
telah duduk di samping bangkuku tepatnya diantara aku dan Fini, anak baru itu
tidak memperhatikan aku dan Fini justru asik membaca buku, yang entah buku apa
yang membuatnya serius membaca.
“Yah… Caci jangan ngambek dong, jangan marah” Ucapan
Fini membuat ku kembali memperhatikannya kembali setelah tadi sempat menatap
anak baru itu.
“Enggak gue enggak marah cuma kesel aja sama loe yang
enggak jujur”
“Ya udah dch gue janji Ci kalau waktunya udah tepat
gue bakal cerita”
Caci menatap
mata Fini lekat-lekat sepertinya ada sesuatu yang dapat Caci baca dari mata
Fini atau tepatnya dari kaca mata tebalnya
“Loe kenapa natap gue kaya gitu Ci?”
“Kayanya ada yang aneh dari loe”
“Maksud loe?” Tiba-tiba wajah Fini memerah malu
“Loe lagi suka ya sama cowok?” Ucap Caci usil
“Ah dari mana loe tahu, ngaco aah” Wajah Fini semakin
memerah
“Keliatan loh dari muka loe, atau mungkin cowok yang
loe suka itu adalah
Ben lagi?”
Tiba-tiba Fini tidak menjawab namun wajahnya tertunduk malu
“Udah jujur aja Fin sama gue kaya sama siapa aja dech”
Fini tidak menjawab hanya mengangguk pelan
“Tuh bener kan
gue… hhhaaaa” Aku tertawa kecil seperti orang yang tengah menebak undian berhadiah
sepuluh juta
“Tapi kok loe tahu sih?”
“Iya lah… Caci gitu” Caci berbangga diri
“Dari kapan loe suka sama dia?” Tanya Caci lagi pada
Fini
“Sejak kelas satu dan loe orang pertama yang tahu hal
ini”
“Kok loe enggak pernah cerita sih? Oke gue tahu kita
emang temenan baru
di kelas dua
ini tapi masa udah nyaris mau satu semester loe enggak
percaya juga
sama gue?”
“Bukan gitu Ci gue malu ceritanya udah gitu gue cukup
tahu lah siapa gue
dan siapa Ben
mana mau dia ngeliat gue yang cupu ini jangan kan dilihat,
gue yakin
dilirik aja dia enggak sudi apalagi ada Sisi bintang model yang
terkenal dan di
gosipin anak-anak satu sekolah adalah ceweknya Ben
tambah minder
lah gue punya saingan yang lebih dari gue segala-galanya
mangkanya tadi
gue seneng banget waktu dia senyumin gue”
“Hem… ya udah loe jangan minder gitu ah gue enggak
suka dengernya
mungkin tadi
pagi ada titik terang supaya loe bisa deket dan kenal dia
lebih deket”
“Makasih ya Ci, besok gue ajak loe ke rumah gue ya,
gue mau tunjukin ke
loe gimana gue
suka banget sama dia”
Sebelumnya
aku enggak pernah membayangkan bahwa Fini teman sebangku-ku ternyata sama
seperti anak wanita lain di sekolah ini yang menyukai seorang Ben bahkan anak
berkaca mata yang kini naik pangkat jadi sahabat ku sangat menggilai seorang
preman sekolah, aku fikir Fini tidak pernah tertarik dengan hal-hal seperti itu
dan hanya tertarik dengan rumus-rumus fisika tapi ternyata dugaanku salah. Aku
dan Fini memang baru mengenal saat kami sama-sama masuk Ipa sebagai jurusan
yang kami ambil dan berteman karena kami merasa masuk di sekolah yang salah
yang terjebak dengan sekumpulan anak-anak yang lebih mementingkan gaya dan
seberapa mahal barang-barang yang mereka kenakan dan aku sedikit menemukan
beberapa kesamaan dengan Fini hingga akhirnya kami berteman, sedang Ado aku
telah mengenalnya dari kelas satu karena kami selalu sekelas dari kelas satu
berbeda dengan Fikri yang sama seperti Fini yang baru ku kenal setelah kami sama-sama
duduk di kelas dua.
“Caci mau
pulang bareng engga?” Sapa Ado kepada Caci yang tengah sibuk mencatat beberapa
mata pelajaran yang tertinggal
“Enggak dech do catetan gue masih nanggung loe balik
duluan aja”
“Yakin loe???”
“Iyaaa….”
“Yaudah nanti kalau udah sampai rumah kabarin gue ya!”
“Tumben loe perhatian???” Ado hanya tersenyum sebelum meninggalkan
sahabatnya yang masih terduduk di mejanya yang penuh dengan buku-buku catatan.
“Akhirnya selesai juga” ucap Caci senang dan Caci pun bersiap untuk segera
pulang dan meninggalkan sekolah yang nyaris tidak berpenghuni karena seluruh
penghuni sekolah telah pulang sejak tadi, ketika Caci sedang menunggu angkutan
umum tiba-tiba Caci terkejut dengan kehadiran pria berpostur tinggi putih yang
duduk di halte tepat di sebelah Caci karena halte ini juga sangat sepi hanya
ada Caci dan pria berkulit putih bersih itu.
“Loh… loe baru pulang juga?” Sapa Caci kepada pria itu
atau tepatnya anak baru di kelas Caci yang merupakan tetangga barunya, namun
seperti biasa menyapa anak baru itu hanya akan membuat naik darah mau
seberusaha apapun tetap saja anak baru itu tidak akan menjawab, Caci menatap
pria tinggi di sebelahnya itu dan menatap sejumlah buku yang di bawanya
sepertinya itu merupakan buku-buku pinjaman dari perpustakaan, mungkin inilah
yang membuat anak baru ini, baru pulang dan dari sekian banyak buku yang di
bawanya ada sebuah buku tulis yang di pasang lebel namanya dan Caci pun
membacanya karena semenjak anak baru ini menjadi anak baru di kelas Caci, Caci
sama sekali belum tahu siapa nama anak baru ini padahal merekakan satu kelas,
mungkin karena Caci tidak pernah memperhatikan ketika guru memanggil atau
mengabsen namanya apalagi ketika anak baru ini menjadi penghuni baru di kelas
Caci justru Caci malah telat masuk kelas hingga Caci tidak tahu bagaimana
makhluk dingin ini memperkenalkan namanya.
“M. Veda……….” Anak baru itu menoleh kearah Caci
“Oh… namanya M. veda, M-nya singkatan dari apa tuch?”
Tanya Caci penasaran, tetap saja anak baru itu tidak menjawab pertanyaan Caci,
Caci yang merasa di kacangin dan di cuekin pun merasa kesal dan mulai kehabisan
kesabaran.
“Heh…!!! Loe itu makhluk dari mana sih kenapa diajak
ngomong enggak
pernah jawab
gagu atau apa sih loe” anak baru itu atau Veda malah menatap Caci begitu tajam
malah saat ini Caci yang merasa takut menatapnya.
“Gue enggak suka sama orang yang banyak nanya
kaya loe” Veda pun memberhentikan kopaja arah rumah kami yang kebetulan
berhenti di depan kami dan aku pun ikut naik, matahari di Jakarta semakin
menyengat hingga terasa begitu dekat di kopaja yang penuh dan sesak ini dan
keringat pun menempel jadi satu rasanya aku geli dan segera ingin mandi tapi
harus bagaimana lagi namanya juga angkutan umum beginilah resikonya, karena
kopaja yang aku tumpangi penuh maka aku harus berdiri tapi Veda dapat tempat duduk dari tempat tidak terlalu jauh
aku dapat melihat Veda dengan jelas tapi sangat terlihat jelas dari rautnya
seperti orang tidak terbiasa naik angkutan umum bisa terlihat jelas ada rasa
tidak nyaman dari rautnya, aku melihat ada seorang ibu-ibu rentan yang baru
naik rasanya aku merasa kasihan karena jadi teringat dengan nenek di Bandung
jika aku dapat tempat duduk pasti akan ku berikan agar ibu-ibu paruh baya ini
dapat tempat duduk, adakah orang baik disini? tiba-tiba aku terkejut karena
makhluk dingin itu bangkit dari tempat duduk dan sungguh tak disangka ia
memberikan bangkunya kepada ibu-ibu rentan setengah baya itu, Veda pun berdiri
tidak jauh dari tempat ku berdiri dan tiba-tiba sang supir mengerem mendadak dan
bapak-bapak dengan pakaian sedikit dekil dan lebih terlihat seperti preman
menabrak punggung belakang ku karena sang supir mengerem mendadak tapi setelah
itu aku merasa tak nyaman dengan orang di belakang ku tadi, karena aku merasa
orang ini terus memepet ku, aku merasa risih dan Veda yang berdiri tak jauh
dari ku sepertinya membaca semua itu dari raut ku dan aku sungguh terkejut
karena tiba-tiba Veda menarik tangan ku dengan kencang hingga aku berada tepat
berdiri di depannya entah apa maksudnya tapi yang jelas aku merasa di lindungi
karena veda ada di belakangku, hal ini membuat ku merasa sangat nyaman.
***
Seperti
janji Fini hari ini aku akan di ajak main ke rumahnya tapi hanya aku tanpa ada Ado dan Fikri.
“Ayo Ci jalan sekarang”
“Iya Fin” tapi ketika ingin pulang aku menoleh ke bangku
Veda dan terlihat dia tengah sibuk merapihkan buku-bukunya kedalam tas
“Em… tapi tunggu sebentar Fin” Caci pun menghampiri
meja Veda hanya ingin sekedar menyapanya atau ucapkan terima kasih atas
kejadian kemarin
“em… hai… em… ma..ka..sih… makasih ya… buat yang
kemarin” Caci berbicara dengan terbata-bata seperti biasa veda tidak menjawab
namun kali ini dia hanya menatap Caci namun dengan tatapan sendu yang dapat
membuat Caci tersenyum.
“Loe tadi ngobrol sama anak baru itu?” sapa Fini
kepada Caci ketika mereka telah keluar dari kelas dan berjalan menuju parkiran
sekolah tapi ketika melewati parkiran untuk menuju gerbang sekolah terlihat
Ben, Edric dan sejumlah geng mereka
“Enggak ko… eh Ben senyum kearah sini tuh” Ucap Caci
pada Fini
“Ya ampun gue jadi salting
nih Ci, tapi bener dia senyum kearah
kita?”
“Ya loe lihat aja ada siapa lagi coba selain kita, gue
yakin pasti dia senyum
buat loe tuch,
cieee….” Ledek Caci dan wajah Fini pun memerah
Kami pun
sampai di rumah Fini, sungguh alangkah terkejutnya ketika sampai di rumah Fini,
jauh dari apa yang aku bayangkan, aku fikir rumah Fini tak jauh berbeda dari
rumah ku atau rumah Fikri tapi rumah Fini bagai istana, gerbang rumahnya saja
terlihat sangat megah dan otomatis terbuka sendiri tanpa di sentuh.
“Fin ini rumah loe?”
“Iya… loe tahu, loe orang pertama yang gue ajak main
ke rumah gue
sebelumnya gue
enggak pernah ngajak teman sekolah untuk main ke
rumah gue”
Lagi-lagi aku
di kejutkan ketika masuk kedalam rumah megah ini seluruh pelayan menyambut
dengan hangat kedatangan aku dan Fini seolah-olah kami bagai tuan putri yang
turun dari kereta kencana aku sangat tak habis fikir jika Fini berasal dari
keluarga berada dan sama seperti anak-anak yang lain kenapa Fini tidak pernah
cerita dan mengapa Fini mau berteman dengan aku, Ado dan Fikri.
“Ci jangan bengong gitu, kita langsung ke kamar gue
aja ya” Fini buyarkan lamunan dan fikiran ku yang masih sangat-sangat terkejut.
“Fin gue mau tanya?”
”Apa Ci? Pasti loe mau tanya soal ini semua kan? Pasti loe heran ya?” aku hanya mengangguk karena seolah Fini telah membaca fikiran ku
”Apa Ci? Pasti loe mau tanya soal ini semua kan? Pasti loe heran ya?” aku hanya mengangguk karena seolah Fini telah membaca fikiran ku
“Nanti gue jelasin di kamar gue aja ya”
Ketika membuka kamar Fini aku kembali terkejut seluruh
kamarnya di hiasi poster-poster bukan poster berbau ilmiah atau penyanyi atau
para model yang tengah di gandrumi tetapi poster-poster itu bergambar wajah Ben
dan banyak sekali foto-foto Ben yang entah dari mana di dapatnya dan kamar ini
terlihat begitu cantik dan seperti kamar tuan putri di negeri dongeng dan
lengkap dengan ensklopedi dan rumus-rumus fisika lainnya.
“Pasti loe kaget dan terus bertanya-tanya ya Ci?”
“Iya gue kaget Fin kenapa loe enggak pernah cerita
akan kehidupan loe,
rumah loe dan
semua ini, dan kenapa juga loe mau temenan sama gue,
Ado, dan Fikri padahal loe
bisa temenan sama anak-anak yang lain yang
gue rasa
selevel sama loe”
“Ko loe ngomong gitu Ci? loe enggak mau temenan lagi
sama gue setelah
tahu sama
semua ini”
“Bukan gitu Fin gue cuma kaget dan heran aja”
“Ci gue mau temenan sama kalian bertiga karena cuma
kalian yang tulus
temenan sama
gue beda sama yang lain yang mandang gue aneh dan cupu,
dan kenapa gue
enggak jujur ke elo semua karena gue takut loe semua
enggak mau
temenan lagi sama gue setelah tahu semua ini”
“Terus masalah foto-foto Ben, bisa sebanyak ini loe
dapet dari mana?”
“Waktu kelas satu gue sering ambil gambar dia secara
sembunyi-sembunyi
dan setelah
gue sadar ternyata foto dia jadi sebanyak ini dan saat itu gue
sadar ternyata
gue jatuh cinta dan sangat menggilai dia”
Ya Tuhan…
aku sungguh tidak dapat menyangka ternyata anak berkaca mata ini sangat
menyukai brandal sekolah bahkan begitu banyak foto milik Ben yang ia tempel
sangat besar ukuran poster, bahkan Fini sama seperti anak wanita lain yang
menyukai Ben, oh…tidak… bukan sama tapi memang seperti anak wanita lain yang
terlahir dari keluarga kaya raya, tapi Fini tidak pernah menunjukan itu semua
di hadapan kami malah terlihat sederhana tapi bagaimana aku menjelaskan kepada
Ado dan Fikri sedangkan mereka berdua sangat benci dengan anak-anak yang suka
memamerkan kekayaan tapi tidak dengan Fini, entahlah apakah mereka bisa
menerima ini semua karena semakin Fini tidak jujur mereka akan semakin merasa
di bohongi.
Dan satu hal lagi yang baru aku tahu akan Fini,
ternyata Fini adalah anak tunggal pewaris salah satu hotel berbintang di
Jakarta milik kakeknya mungkin ini juga alasan segala kemaun Fini dapat
terpenuhi karena kedua orang tuanya tidak memiliki adik atau saudara lagi, aku
semakin terkejut dan tercengang akan segala tentang Fini yang seutuhnya baru ku
kenal hari ini.
“Bang es jeruk satu, loe pada mau pesan minum apa?”
Fikri berteriak kepada penjual minuman di kantin sambil menoleh ke arah kami
bertiga
“Loe pada pesan makan dan minum aja semaunya nanti gue
yang bayar
dech”
“Gila ada angin apa loe Fin mau teraktik kita-kita?”
“Angin ribut Do… hhhaaaa” Fini tertawa mencairkan
suasana
“Udah dech Do jangan banyak tanya kan lumayan makan gratis, mau angin
ribut atau
angin duit sekalipun yang penting makan gratis”
“Yah loe Fik kalau makan aja paling doyan”
Semua tertawa mendengar celotehan Fikri tapi aku hanya
menatap ke arah Fini dan aku tak merasa heran seperti keheranan Ado ke Fini
TIGA
“Caci tolong tante sebentar”
“Ada
apa tante” Caci menghampiri tantenya yang berada di dapur
“Kamu tolong anter bolu kukus buatan tante ke rumah
tante Tiwi”
“Ok tante” Dengan semangat Caci menerima sebuah piring
kue besar yang berisi sebuah bolu yang masih sangat hangat buatan tantenya,
harumnya pun sangat menggoda indra penciuman
“Caci kamu semangat banget, ada apa?”
“Enggak kenapa-kenapa ko tan”
“Aneh semangat kamu kaya semangat pejuang” Caci hanya
tertawa mendengar tantenya agak bingung sebelum pada akhirnya berlalu dan
menuju rumah bercat hijau muda no. 7 yang berada tepat di sebelah rumahnya.
Ada apa ya dengan aku ini kenapa begitu bersemangat menuju
rumah Veda padahal kan
aku benci dengan sifat ke jutekkan dan sikap dinginnya terhadap ku (hati Caci
terus bertanya-tanya).
Caci pun
menekan bel rumah bercat hijau muda bernomor tujuh milik Veda dan setelah
menunggu beberapa menit penghuni rumah itu keluar dan membukakan pintu, tante
Tiwi yang membukakannya, Caci pun
langsung tersenyum dengan senyum termanisnya dan
memberikan apa yang Caci bawa dengan menunjukan wajah ketulusan, seolah-olah ia
tengah menjadi Caci yang lain yang sedang menarik perhatian seorang calon
mertua.
Tante Tiwi
sedikit bingung mungkin karena baru pertama kali bertemu dengan Caci.
“Emm… sore tan… mungkin sebelumnya kita belum kenal,
perkenalin nama
ku Caci, aku
tinggal di sebelah dan ini ada kue bolu kukus dari tante bebie”
Setelah Caci
memperkenalkan diri wajah tante Tiwi tidak lagi bingung justru terlihat wajah
keramahan yang terpancar dari wajahnya. Tante Tiwi jelas terlihat lebih tua di
banding tante bebie, ini semua jelas terlihat dari wajahnya tapi entah apa yang
membuat tante Tiwi dapat terlihat lebih muda dari umurnya, aku sendiri pun kaget
karena tante Tiwi sangat jauh dari apa yang ku bayangkan kulit wajahnya
terlihat bersih bercahaya serta sangat kencang seperti orang kaya yang sering
melakukan perawatan tapi itu semua tidak terlihat dari gaya berpakaiannya yang
sangat sederhana.
“Makasih ya, oya masuk dulu yuk, mampir ke rumah
tante”
“Makasih tante” Caci tidak menyiakan kesempatan tanpa
basa-basi lagi Caci segera masuk berharap bisa mengetahui banyak tentang Veda
“Caci mau minum apa?”
“Enggak usah repot tante, Caci cuma sebentar kok enggak
lama”
“Tunggu sebentar ya tante buatin minuman dulu”
Saat aku
menolak dan ingin segera pulang tiba-tiba Veda keluar dari kamarnya sambil
menuruni anak tangga dan menggendong Cha-cha.
“Mami susunya Cha-cha mana?” Veda begitu kaget melihat
kedatangan ku dan Cha-cha segera berlari menghampiri tante Tiwi.
“Iya ini baru mau di buat, Veda kamu temenin Caci
ngobrol bentar ya”
Di ruang tamu
yang tak jauh berbeda dari rumah tante bebie aku terduduk bersampingan dengan
Veda dan kami sama-sama terdiam.
“Loe ngapain di rumah gue?” dengan ketus Veda memulai
berbicara
“Sinis banget nanyanya, gue cuma anterin kue buat nyokap
loe”
“Terus sekarang ngapain masih di sini, tunggu di
usir?”
“Ya ampun sadis banget loe! Enggak usah di usir gue
juga udah mau pulang”
“Bagus sekarang tunggu apa lagi?”
Dengan
kesal Caci segera bangkit dari sofa dan segera ingin pergi dari rumah Veda
walau dalam hatinya caci berharap Veda akan memanggilnya untuk sedikit ramah
atau ingin meminta maaf atas perbuatanya, namun baru saja tiga langkah Caci
melangkah tiba-tiba Veda memanggil, Caci sangat terkejut.
“Eh kalau mau pulang jangan lupa tutup lagi ya
pintunya!”
Dan kata-kata itu sungguh tak sesuai dengan apa yang
Caci bayangkan dan sangat terlihat wajah kesal dari raut Caci yang tak dapat di
sembunyikan.
***
Mata coklat
bulat nan teduh itu menerawang jauh ke langit sore, matanya jauh memandang
langit-langit yang bergerak bagai tengah menunjukan betapa luas bumi yang di
ciptakan sang kuasa, Caci bayangkan beberapa awan putih yang cerah melewati
dirinya yang ia pandang di jendela cafe, terkadang bentuknya bagai angsa tapi
terlihat seperti burung, entah lah tak jelas, tiba-tiba terlintas di fikirannya
tentang kejadian seusai pulang sekolah.
“Kamu kenapa
enggak cerita kalau kamu sekolah disini sekarang?”
“Buat apa aku
cerita apa peduli kamu”
“Aku peduli…
jangan kamu fikir karena masalah itu, kamu jadi anggap aku
enggak peduli sama kamu, aku dan keluarga ku
kaget banget”
“Kalau kamu kaget
bagaimana sama aku, kemana aja kamu selama ini saat-
saat aku butuh dukungan dari kamu, kamu malah
tinggalin aku, dari mana
kamu tahu tentang sekolah ku?”
“ enggak penting
aku tahu dari mana, maaf kalau cara aku salah tapi aku
berusaha
hubungin kamu, tapi nomor kamu enggak aktif dan rumah kamu ,
juga udah pindah, sekarang gimana kabar tante
dan Cha-cha”
“Lebih baik kamu
jangan cari tahu lagi dimana aku sekarang dan bagaimana
keadaan keluarga ku”
“Selamat pagi anak-anak?” Sapa guru bahasa Indonesia ku, pagi ini bu
Wiwid terlihat begitu bersemangat
“Paaaaggggiiiii buuuu” jawab anak-anak kompak
“Sebelum kita lanjutkan pelajaran kita pada minggu lalu,
ibu ingin
memberitahukan
pengumuman pada kalian semua, dengan bangga tahun
ini sekolah
kita terpilih dalam lomba karya seni tingkat nasional, dan
ibu sudah
memiliki wakil untuk lomba ini, yaitu Caci dan Veda dari kelas ini”
“Memangnya lomba apa bu?” Tanya Ado penasaran
“Pembacaan puisi karena ibu lihat Veda dan Caci sangat
menjanjikan
untuk
mendapatkan sebuah mendali untuk sekolah kita ini, kalian berdua
setuju kan?”
“Ibu curang saya kan
juga berbakat masa Caci dipilih saya enggak” protes Ado
“Maaf Ado bukan ibu curang tapi dari setiap kelas
hanya dipilih dua orang,
kamu juga berbakat
tapi yang nentuin bukan cuma ibu tapi sekolah yang
nentuin”
Terlihat betul
raut kecewa dari Ado, karena aku tahu betul Ado sangat gemar membuat puisi dan
tak jarang puisi-puisi yang Ado buat sangat romantis dan menyentuh tapi rasanya
malas harus bekerja sama juga dengan manusia dingin dan jutek macam seperti Veda.
Sejak
pengumuman perlombaan itu sekolah ku sedikit sibuk dan sangat konsen pada
perlombaan yang masih satu bulan lagi padahal masih sangat lama tetapi
segalanya telah mulai di siapkan karena sekolah ku cukup banyak ambil bagian
nyaris semua katagori di ikuti, seperti pementasan theater, drama musical,
pertunjukan alat musik tradisional, tari-tarian daerah, paduan suara, dan
terakhir pertunjukan puisi yang di bagi menjadi dua kelompok, satu kelompok
yang terdiri dari 8-9 orang serta satu kelompok lagi berpasangan, dan hari ini
latihan pertama ku di mulai. Latihan ini di pimpin oleh ibu Wiwid sendiri,
tetapi aku sedikit terkejut karena tiba-tiba ada Ado sahabat ku yang mengekor di belakang bu
Wiwid.
“Do loe ngapain disini?”
“Kaget ya?” Caci hanya mengangguk
“Gue udah mohon sama bu Wiwid buat ikut dan akhirnya
kerja keras gue
berhasil”
’’Tapi kenapa loe maksa banget supaya ikut, gue aja males Do musti pulang
’’Tapi kenapa loe maksa banget supaya ikut, gue aja males Do musti pulang
telat terus
selama satu bulan ini”
“Gue enggak tenang kalau sahabat gue sendirian” obrolan
kecil kami pun terhenti karena bu Wiwid memberikan intruksi.
“Harap tenang anak-anak, ibu mohon jangan ada suara
lagi” Saat semuanya nyaris tenang bahkan tepatnya hening bu Wiwid segera
melanjutkan pembicaraannya lagi.
“Sebelumnya ibu ucapkan terima kasih atas waktu kalian
semua, tanpa
membuang-buang
waktu lagi kita akan mulai membagi kelompok, Feredi
dengan Filma
kalian bekerja sama di bait pertama, Ado
dengan Titta di bait
ke dua, dan
bait selanjutnya Veda dengan Caci di bait ke tiga dan sisanya
atau bait ke
empat Vano dengan Dian” Sekali lagi mata ku terlongo tak percaya harus lagi dan
lagi bekerja sama dengan seorang Veda dan sekali lagi pria dingin itu tidak
berekspresi, bait pertama pun segera di bacakan.
SUNGAI
CILIUWUNG YANG MISKIN
Sungai ciliwung
yang miskin, tak kutahu dukamu
Duka yang coklat,
merambat kota Jakarta yang padat
Apakah itu
tangisan membasahi bumi resah ?
Tumpukkan nasib
menjelujur kota
gelisah.
Sungai ciliwung yang miskin, tak kutahu dukamu
Duka kekal tak sampai jangkauanmu; tangismu o
tangismu
Lahir disini kehidupan dewasa dan kesuburan
bumi
Tonggak kesabaran
merambat alur kali.
Adakah sampai
disini kita bertemu dan berpisah
Dan kita hitung
pita belitan yang meneliti kota
berdebu
Pijar lampu mulai
suram, sepi tiang membayang
Pelan melanggkah
meninggalkan arus jaman
Sungai ciliwung
yang miskin, tak kutahu dukamu
Duka yang coklat,
merambati hidup lampau dan kini
Anak-anak jaman
telah menyibak keruh dan ombak
Untuk kehidupan
kota yang cerlang, kota
yang diidamkan.
Slamet Sukirnanto
1967
“Ibu cukup puas dengan latihan pertama kita, semua
punya camestri, tapi
ada apa dengan
Veda dan Caci kalian sangat bagus dan lantang membaca
bait ke tiga
tapi seolah-olah tidak ada komunikasi di antara kalian berdua”
Caci dan Veda sama-sama terdiam dan tidak saling tegur
sapa.
“Baik anak-anak ibu membutuhkan dua orang lagi untuk
membacakan puisi
yang kedua dan
ibu pilih Caci dan Veda untuk membacakan puisi kedua”
“Saya keberatan bu, satu puisi tadi aja ibu bilang
saya enggak ada camestri
gimana puisi
yang kedua”
“Maka dari itu Caci kamu tunjukin kekompakkan kalian
dan kenapa ibu pilih
kalian berdua
sebagai pasangan karena cuma kalian berdua yang bagus
membacanya,
lantang, intonasinya tepat, mimik muka kalian juga sangat
menjiwai
setiap bait”
Akhirnya tidak banyak protes dengan setengah hati Caci
mengikuti kemauwan bu Wiwid.
Dengan
Kasih Sayang
WS.
Rendra
Dengan kasih
sayang
Kita simpan bedil
dan kelewang
Punahlah gairah
pada darah.
Jangan!
Jangan dibunuh
para lintah darat
Ciumlah mesra anak
jadah tak berayah
Dan sumbatkan
jarimu pada mulut
Peletupan
Kerna darah para
bajak dan perompak
Akan mudah
mendidih oleh pelor.
Mereka bukan tapir
atau badak
Hatinya pun
berurusan cinta kasih
Seperti jendela
terbuka bagi angin sejuk!
Kita yang sering
kehabisan cinta untuk mereka
Cuma membenci yang
rompak.
Hati tak bisa
berpelukan dengan nampak hati mereka.
Terlampau terbatas
pada lahiriah masing pihak.
Lahiriah yang
terlalu banyak meminta!
Terhadap sajak
yang paling utopis
Bacalah dengan
senyuman yang sabar.
Jangan dibenci
kaum pembunuh.
Jangan dibiarkan
anak bayi mati sendiri.
Kere-kere jangan
mengemis lagi.
Dan terhadap
penjahat yang paling laknat
Pandanglah dari
jendela hati yang bersih.
Saat bait
terakhir Veda berhenti membaca dan tidak meneruskan bait puisinya lagi, wajah Veda
pucat pasi teks puisi yang di pegangnya terjatuh selang beberapa detik kini gantian
tubuhnya yang melemas dan nyaris Veda terjatuh ke lantai, tetapi dapat di tahan
tangan Ado yang sigap, sontak keadaan ini membuat seluruh anak yang berkumpul
diruang seni menjadi panik melihat Veda.
“Veda kamu kenapa?” Tanya bu Wiwid dengan panik, Veda
yang tergeletak lemas di lantai hanya menggelengkan kepala seolah ingin
menenangkan suasana yang panic.
“Kamu sakit?”
“Saya enggak kenapa-napa bu”
”Kamu yakin???
”Kamu yakin???
kita lanjutin
besok latihannya, kita masih punya banyak waktu untuk
persiapan”
Veda terdiam tidak menjawab.
“Veda, ibu rasa kamu harus istirahat, Ado kamu bawa Veda ke UKS
sekolah”
Aku sungguh tidak
mengerti dengan manusia dingin ini, kenapa tubuhnya melemas ketika membaca bait
terakhir dari puisi ini apa betul Veda sakit atau sebetulnya ia memiliki
kenangan dengan puisi itu.
Setelah
beberapa menit dari kejadian itu sebelum pulang Caci menyempatkan diri untuk
berkujung ke UKS sekolah hanya ingin melihat bagaimana kondisi Veda.
“Ado,
Veda gimana keadaannya?”
“Masih diem kaya tadi”
“Sekarang Veda ada di mana?”
“Masih di dalam tuh” Ado mengarahkan matanya ke ruang
UKS, seolah-olah ke dua bola matanya menjadi tangan yang dapat menunjuk ke arah
Veda berada, dengan langkah pelan Caci melangkah menuju ranjang tempat Veda
terduduk terdiam, Caci ikut duduk di samping Veda dan sama-sama terdiam, Caci
memandang bola mata pria berkulit putih ini, wajahnya masih pucat.
“Kenapa masih di sini?” Veda mulai mengeluarkan suara
tetapi kali ini suaranya lebih lembut dari biasanya mungkin karena kondisinya
yang sedang tidak enak badan.
“Emm… udah mau pulang kok, cuma gue mau lihat kondisi
loe dulu”
“Ya udah pulang sana,
nanti ke sorean gue udah enggak kenapa-napa” Caci kaget sekali dengan ucapan
Veda, Veda lebih ramah dan lembut nada bicaranya berbeda sekali dengan
biasanya, tiba-tiba Veda bangkit dari ranjang UKS dan seolah-olah ingin
membuktikan bahwa dia betul-betul tidak apa-apa.
“Loe mau kemana?”
“Ya pulang lah… loe mau nginep di UKS?” baru saja di
puji lebih ramah ternyata sudah kambuh lagi juteknya.
***
“Bang somay dua, es teh manis empat, bakso satu, sama
nasgornya satu”
“Tumben ya kita berempat bisa ngumpul gini”
“Iya…” Sambar Fini.
Sore ini usai latihan puisi kami berempat, Ado, Fikri, Caci, dan Fini
berkumpul bersama dan makan di kantin yang masih buka
“Gimana Ci latihannya?” Tanya Fini pada Caci
“Oya gue denger dari anak-anak loe pasangan puisi
paling romantis ya
sama Veda?”
Tiba-tiba Ado
menggebrak meja kantin setelah Fikri mengomentari cara aku dan Veda dalam
menyampaikan bait demi bait puisi.
“Haahhh…. Mana sih pesanan gue, lama banget…” setelah
menggebrak meja Ado pergi meninggalkan meja kami dan menuju penjual makanan yang tadi Ado pesan makanannya.
“Teman loe kenapa Fik?” Tanya Fini kepada Fikri dengan
nada menyindir.
“Enggak tahu Fin, lagi bulanan kali mangkanya sensi”
Fini tertawa mendengar celotehan polos Fikri dan aku
pun ikut tertawa, namun tiba-tiba ada sesuatu yang mengalihkan pandangan ku dan
menghentikan tertawa ku, karena aku melihat Veda di tempat parkiran yang jelas
terlihat dari bangku kantin yang aku duduki, dari kejauhan aku melihat Veda
menghampiri seorang wanita yang asing bagi ku, aku tidak mengenal sesosok
wanita yang tidak terlalu tinggi dan masih mengenakan seragam SMA, tapi dengan
jelas aku tahu betul itu bukan seragam sekolah ku dan seketika Veda naik mobil
milik wanita itu dan berlalu dari pandangan ku, jika di lihat-lihat sepertinya
wanita itu adalah wanita yang tempo lalu ku lihat tengah bertengkar dengan
Veda, aku semakin penasaran siapa wanita itu dan bagaimana masa lalu Veda.
***
Jangan dibenci
kaum pembunuh.
Jangan dibiarkan
anak bayi mati sendiri….
Kembali lagi
suara itu tertahan dan tak dapat di keluar kan seolah-olah saat bait itu di bacakan
seluruh aliran darah dan mulut serta nadi yang berdenyut tertahan, seolah-olah
ada yang terkunci dan entah kuncinya di buang di mana.
“Kamu masih belum sehat?” Bu Wiwid bertanya pada Veda
“Saya enggak kenapa-napa bu, emm… boleh saya minta
waktu buat
pelajarin bait
ini lagi?”
”Oh silahkan kalau itu bisa membuat kamu lebih baik lagi dalam pelafalan
”Oh silahkan kalau itu bisa membuat kamu lebih baik lagi dalam pelafalan
puisi ini,
baik anak-anak latihan kita lanjutin lusa seusai pulang sekolah”
Ketika aku
sedang bersiap-siap ingin pulang Veda menghampiri ku dan Ado,
“Mau pulang bareng enggak?”
“Enggak usah repot bro, Caci gue yang anter pulang”
Setelah ajakan
pulang bersamanya di tolak oleh Ado bukan Caci, Veda segera melanjutkan
langkahnya untuk pulang sendiri tanpa Caci.
“Ado sorry gue
mau pulang bareng Veda aja, ada yang mau gue tanya”
“Yahhh tapi Ci?”
“Loe pulang bareng Fini aja dia masih di perpus, sorry
ya Do”
Tanpa
memperdulikan Ado, Caci segera berlari mengejar langkah Veda yang sudah jauh
meninggalkannya, ketika dari ke jauhan sudah melihat Veda, Caci segera
memanggilnya agar Veda menghentikan langkahnya yang panjang.
“Vedaaaa…… Tunggggggguuuuuuu……..!” Veda pun menoleh
dan Caci berlari kecil untuk mengejar Veda.
“Gila… loe jalan cepat banget sih” Caci berbicara
dengan nafas terengah-engah, Veda hanya memandang Caci, lalu tidak
memperdulikan Caci yang terengah-engah mengejarnya dan kembali melanjutkan
langkahnya.
“Ihh… tungguin” rengek Caci
“Oya cewek yang kemaren siapa?
Cewek loe atau
mantan loe?” Veda terdiam tidak menjawab dan langkah panjangnya semakin cepat
meninggalkan langkah Caci.
“Ko diem?
Sorry dech
kalau pertanyaan gue salah, gue mau tanya, kenapa loe
enggak pernah
bisa lanjutin bait puisi itu, atau loe punya kenangan buruk
di puisi itu?”
Tiba-tiba langkah Veda terhenti dan menatap Caci
dengan tajam,
“Denger ya baik-baik!!!
gue ramah sama
loe bukan karena gue berubah baik sama loe, dan denger
ya gue enggak
suka sama orang yang banyak nanya dan bawel kaya loe,
kita emang satu
tim buat wakilin sekolah kita tapi bukan berarti loe
harus tahu
semua tentang gue, ngerti loe!!!”
Setelah
membentak Caci, Veda segera meninggalkan Caci dan caci masih terdiam di bentak
habis-habisan oleh Veda cowok jutek, dingin dan tak berperasaan macam seperti
itu, Caci sangat kesal wajahnya berubah menjadi sangat-sangat BT.
“Pagi bu…”
“Pagi Veda, ada perlu apa, sampai pagi-pagi begini
sudah
mencari ibu”
“Saya mau membicarakan tentang latihan kemarin”
“Oh, ada apa?
kalau kamu
belum sehat lebih baik jangan di paksa”
“Bukan bu, saya sudah membaca puisi yang ke dua yang
saya baca
dengan Caci
berulang kali tapi saya enggak bisa bu suara saya selalu
tertahan di
bait terakhir”
“Apa kamu punya kenangan buruk dengan puisi itu?”
“Tidak ada bu, tapi bait terakhir itu….” Mendadak mata
Veda berkaca-kaca entah mengapa bagai ada beban begitu berat yang ingin keluar
tapi tak dapat ia keluarkan.
“Veda kamu sakit lagi?
Ibu tidak akan
memaksa, karena pasti setiap orang pasti punya
kenangan
begitu juga dengan kamu, tapi siapa yang akan menggantikan
kamu?”
“Aldo aja bu, saya yakin dia juga bagus”
“Padahal kamu sudah cocok sekali loh dengan Sezheci”
“Maaf bu kalau saya mengecewakan tapi saya sudah
mencoba tetap saya
enggak bisa”
“Iya ibu ngerti, nanti ibu lihat apakah Aldo sebaik
kamu membacanya”
“Makasih bu atas pengertiaannya”
Caci
melewati koridor pagi ini sangat terburu bahkan bahayanya Caci melewati koridor
sambil membaca buku pelajaran, namun tiba-tiba langkahnya terhenti tetapi Caci
masih tertunduk sambil membaca dan tidak memandang siapa yang ada di hadapannya
hanya sepatu orang yang ada di hadapannya yang terlihat, Caci melangkahkan
kakinya ke kanan dan orang itu juga ke kanan dan Caci melangkahkan kakinya ke
kiri orang yang ada dihadapannya juga ke kiri sebelum kesabarannya habis orang
yang entah siapa yang ada di hadapan Caci segera mengambil buku yang dibaca
Caci.
“Kalau jalan jangan sambil baca, bahaya loh” Sesosok
pria itu tersenyum sambil menutup buku pelajaran yang di baca Caci dan
mengembalikan pada Caci sebelum berlalu dari hadapan Caci.
Caci sangat terkejut karena yang bicara di hadapannya
adalah Ben karena pria sok tajir itu mau menegurnya dengan ramah padahal selama
ini dia paling anti dengan anak-anak yang sekolah bermodal beasiswa, mungkin tadi
pagi salah makan kali ya (fikir Caci dalam hati).
“Ya ampun Veda loe itu keren banget sih”
“Iya gue sama Sisi sampai terpanah, terpaku lihat loe
kemarin latihan”
“Tapi ya Pril gue enggak setuju kalau yang jadi
pasangannya Caci
lebih pantes
juga sama gue, iya kan
Pril?”
“Wah bener banget tuh si”
Caci sedikit
terkejut melihat bangku Veda di penuhi oleh dua makhluk paling menjijikan di
sekolahnya siapa lagi kalau bukan Sisi dan April, mereka berdua adalah teman
sekelas yang paling rese sedunia mereka sering sekali mengejek Fini dan
mengolok-olok tentang Fini yang cupu dan aku selalu membelanya dan sampai
akhirnya malah aku yang di olok-olok juga dan banyak pria di sekolah ini yang
mengejar-ngejar Sisi apalagi kalau bukan karena dia adalah bintang iklan atau
tepatnya model yang tengah naik daun dan salah satu pria yang
mengejar-ngejarnya adalah Ben maka dari sebab itu Fini sangat kecil hati untuk
menyukai Ben tapi entah mengapa pagi ini Sisi dan April ada di meja Veda,
sepertinya mereka terpaku melihat latihan kemarin memang semenjak aku dan Veda
menjadi pasangan untuk lomba puisi banyak yang membicarakan kami terutama Veda
menjadi incaran banyak wanita sampai kakak kelas sekali pun, coba mereka tahu
kalau Veda tidak pernah bisa menyelesaikan bait terakhir yang di bacanya
bersama ku.
“Kalian berdua bisa duduk di bangku kalian enggak
sih!!!” Veda membentak April dan Sisi, sontak ini semua jadi sorotan anak-anak
yang lain karena sebelumnya tidak ada yang berani membentak ke dua makhluk
menjijikan ini.
“Heh… loe tahu enggak siapa yang lagi loe bentak,
seorang Sisi Permitha
seorang model
apa loe mau berurusan sama Ben”
“Udah tenang Pril jangan emosi gitu, gue suka lagi
sama cowok sok jual
mahal kaya
gini, mending kita duduk aja yuk”
Mereka
berdua segera duduk kembali di bangku mereka masing-masing rasanya ada senyum
kemenangan dari Caci karena bukan dia saja yang pernah di bentak oleh Veda
kedua makhluk itu juga kini sudah merasakan apa yang ku alami kemarin, tapi aku
akui Veda berani juga membentak mereka berdua apa dia enggak takut akan berurusan
dengan Ben karena Sisi paling suka ngadu ke Ben kalau dia kenapa-napa apalagi
ini sampai di bentak kaya gitu di depan kelas pula.
“Assalammualikum…”
“Walaikum salam, eh teteh… bu teh Caci udah pulang
nich” Ima menyapa ku sore ini begitu gembira, mungkin Ima rindu kepada ku
karena semenjak sibuk latihan puisi aku jadi tidak memiliki waktu bermain
dengan para sepupu ku.
“Tumben Ci jam segini udah pulang?”
”Iya tan hari ini enggak latihan”
”Iya tan hari ini enggak latihan”
“Oh ya sudah ganti baju dulu sana abis itu baru makan dan sholat”
“Iya tan”
Caci segera
naik ke kamarnya untuk mengganti baju seragamnya, ketika igin mengganti pakaian
Caci memandang jendela kamarnya dan ternyata Caci baru tersadar bahwa jendela
kamarnya tepat menghadap ke kamar Veda dan halaman dari rumah keluarga Veda,
dan dari tempat Caci berdiri di sudut kamarnya dengan jelas ia dapat memandang
Veda yang mengenakan kaos putih dan tengah memetik senar gitarnya dan Caci juga
baru tahu bahwa Veda bisa bermain gitar, entah mengapa terlihat begitu keren
dirinya dengan memainkan gitar, tiba-tiba kekagumannya terhadap Veda terhenti
karena kedatangan tante Bebie yang mengejutkannya.
“Hayo lagi ngeliatin siapa tuh” tante ku bertanya usil
“Tante apa-apaan sih… dateng-dateng ngagetin nih…”
“Siapa yang ngagetin kamu, Tante udah ketuk pintu tapi
kamu aja yang
enggak dengar
karena kamu sibuk memperhatikan anak tetangga
mangkanya kamu
enggak sadar tante dateng” muka Caci langsung memerah mendengar penjelasan
tantenya.
“Kamu suka dia ya Ci?”
“Ah tante apaan sih, enggak tuh”
“Tante enggak ngelarang kok kalau kamu suka atau
jadian sekali pun sama
Veda atau sama
cowok lainnya karena itu semua wajar kamu kan udah
besar yang
penting tante tahu cowok yang kaya gimana yang lagi deket
sama kamu,
tante kan
juga pernah muda jadi tante tahu gimana perasaan
kamu sekarang”
”Ah… tante sok tahu nih… Caci enggak mungkin suka sama Veda dia itu
”Ah… tante sok tahu nih… Caci enggak mungkin suka sama Veda dia itu
jutek tan”
“Hhaaa… masa sih… tapi menurut tante Veda anak yang
baik”
“Tante aja yang belum kenal dia, dia itu ngalahin
cewek yang lagi dapet
galaknya”
“Mungkin kamu bawel kali, kan ada cowok yang benci sama cewek
yang banyak
tanya”
“Masa sih… Caci kan
cuma nanya apa yang mau Caci tanya”
“Kamu fikirin sendiri aja dch, ayo jangan kelamaan
tante tungguin di meja
makan ya?”
Kita yang sering
kehabisan cinta untuk mereka
Cuma membenci yang
nampak rompak.
Hati tak bisa
berpelukan dengan hati mereka.
Terlampau terbatas
pada lahiriah masing pihak.
Lahiriah yang
terlalu banyak meminta!
“Aduh Ado jangan lembek gitu dong bacanya, yang
lantang, yang tegas”
Hari ini
latihan terasa begitu lama karena Ado tidak bisa-bisa membaca dengan baik bait
puisi itu, hari ini partner ku Ado dan Veda resmi mengundurkan diri dari puisi
yang kedua yang harusnya di bacanya bersama ku, pantas tadi setelah latihan
puisi pertama Veda dan yang lain langsung pulang.
Setelah di
bentak bu Wiwid kini Ado membacanya dengan teriak-teriak karena tadi Ado tidak
tegas dalam melafalannya, padahal biasanya pukul 15.00 aku sudah selesai tapi
kini sampai pukul 15.30 belum selesai juga latihannya.
“Ado…
jangan teriak-teriak juga bacanya, memang kamu fikir ibu budek?”
“Tadi kata ibu saya kurang lantang”
”Iya tapi enggak kaya gitu juga bacanya, kamu latihan sendiri dulu dirumah
”Iya tapi enggak kaya gitu juga bacanya, kamu latihan sendiri dulu dirumah
besok kita
latihan lagi, kalau kamu enggak serius ibu bakal cari orang buat
gantiin kamu”
“Jangan bu jangan”
“Mangkanya jangan main-main latihannya”
Entah
mengapa Veda meninggalkan posisinya dan menggantinya dengan Ado, apakah karena
pertengkaranku lusa kemarin karena setelah itu aku dan Veda belum bertegur sapa
atau mungkin ada sesuatu yang berhubungan dengannya yang bersangkutan dengan
puisi itu, tetapi mengapa pula Ado sangat menginginkan poisi Veda padahal
jelas-jelas dia tidak bisa, kenapa sangat memaksakan diri hingga berlatih keras
seperti itu.
Nyaris
empat minggu sudah aku dan sejumlah anak-anak yang lainnya latihan puisi seusai
pulang sekolah dan hari ini adalah hari terakhir latihan puisi, karena lombanya
bertemakan kedaerahaan maka hari ini seusai latihan kami semua akan mencoba
sejumlah kebaya dan para pria akan mengenakan pakaian ala abang none.
“Anak-anak ini pakaian yang ibu bawa adalah pakaian
yang nantinya akan
kalian kenakan
saat lomba besok, silahkan di coba dulu ya”
Setelah
memilih kebaya entah mengapa hati ku langsung jatuh cinta pada kebaya berwarna
ungu karena terlihat begitu simpel dan sepertinya begitu menarik untukku dan
akhirnya pas sekali di tubuh ku memang betul selera ku tidak salah, aku keluar
dari toilet dan bercermin saat ku bercermin aku meliahat kebaya yang di kenakan
oleh Filma yang sedikit gendut dari ku sehingga terlihat seperti ibu-ibu
mengenakan kebaya tetapi terlihat betul Filma sangat sesak dengan kebayanya,
sedang Tita yang sedikit kurus justru kebesaran, Dian juga sangat pas dengan
kebayanya tapi ia mengaku warna kuning kebayanya terlalu mencolok, dan kami
sama-sama mengomentari kebaya masing-masing.
“Gimana Ci sama kebaya loe, pas enggak?”
“Iya pas banget”
“Wah kayanya loe doang ya yang enggak ada keluhan”
“Tapi loe kelihatan cocok banget Ci pakai kebaya ungu
itu”
“Iya bagus” Caci tersenyum malu di depan cermin toilet
mendengar pujian dari teman-temannya dan kami semua satu per satu mulai keluar
dari toilet dan tentu para teman-teman pria
ku juga terlihat sangat berbeda mengenakan pakaian khas DKI Jakarta dan ada
yang sedikit menarik perhatian ku siapa lagi kalau bukan manusia es itu (Veda),
Veda terlihat begitu keren dan berbeda mengenakan pakaian ala abang none bahkan
mata ku tak dapat berkedip melihat Veda yang sangat tampan dan sangat-sangat
cocok tetapi ada sedikit gurat malu di wajahnya bahkan pipinya memerah
seakan-akan dia tidak ada percaya diri mengenakannya.
“Bagaimana apa semua cocok dengan pakaian
masing-masing?”
Ibu Wiwid bertanya pada kami semua, sontak langsung di
sambut oleh teman-teman ku yang memiliki keluhan kebesaran dan sebagainya pada
pakaian mereka masing-masing dan aku justru yang tidak memiliki keluhan apa pun
masih tetap menatap Veda, Veda hanya tertunduk malu di hadapan ku, saat aku
tengah terpaku menatap Veda tiba-tiba Ado keluar dari toilet.
“Bu ini gimana sih pakai kain sarung kecil yang
setelah celananya?
ko saya enggak
bisa-bisa sih” Entah mengapa tiba-tiba semuanya menertawakan Ado mungkin karena raut wajahnya yang
kebingungan yang menjadi pusat perhatian.
“Aduh Ado ada-ada aja, pantes dari tadi enggak
keluar-keluar” Ucap Fredi dengan nada tertawa melihat Ado yang kebingungan, tiba-tiba Dian
mengalihkan suasana tertawa kami menjadi suasana saling memperhatikan
“Oya ngomong-ngomong kok bisa ya kebetulan banget
kebaya Caci senada
warnanya sama
sarung punya Veda”
“Iya Dian bener tuh, apalagi blangkonnya juga warna
ungu” Titta menambahkan
Seakan tidak mau kalah Filma juga ikut menambahkan
“Wah kalian memang pasangan serasi seperti apa yang di
omongin sama
anak-anak satu
sekolah, coba lihat cuma kalian yang warnanya
sama, iya kan bu?”
”Iya ibu setuju dengan kalian semua” kini muka Caci dan Veda sama-sama memerah kami sama-sama tertunduk malu mendengar pujian semua anak.
”Iya ibu setuju dengan kalian semua” kini muka Caci dan Veda sama-sama memerah kami sama-sama tertunduk malu mendengar pujian semua anak.
“Wah ibu curang harusnya saya juga sama kaya Caci
warna bajunya kan
bukan Veda aja
yang jadi pasangan Caci, di puisi kedua saya juga
berpasangan
dengan Caci”
”Wah Ado iri aja ya” Ledek Vano
”Wah Ado iri aja ya” Ledek Vano
“Oh mungkin Ado cemburu
kali ya sama Caci dan Veda” Fredi ikut menambahkan meledek Ado
“Wah… sorry sob gue enggak iri atau cemburu cuma
perotes aja”
“Sudah-sudah jangan ribut, karena bajunya sudah pas
semua ibu berharap
besok pagi
kita semua bisa menampilkan kerja keras kita semua dan ibu
juga berharap
kalian jangan mengecewakan ibu, besok kita berkumpul
di ruang seni
ini sebelum kita berangkat ke tempat perlombaan”
Pagi ini
sedikit berbeda untuk seluruh anak yang mengikuti perlombaan, terutama aku
sudah tiba di sekolah lebih awal aku sampai pukul enam pagi, aku fikir aku yang
paling pagi ternyata Filma dan Dian sudah tiba dari pukul setengah enam, kami
memang para wanita di wajibkan datang lebih pagi karena kami semua harus di
make-up agar terlihat cantik karena penampilan juga mempengaruhi penilaian.
Aku, Filma, Titta, dan Dian sudah mulai di make-up,
mungkin ini kali pertama aku mengenakan bedak setebal 5cm, maskara, dan
macam-macam make-up yang rasanya dapat membuat seluruh wajah ku terasa gatal.
Beberapa
jam kemudian kami semua selesai di make-up aku penasaran dengan hasilnya,
karena apa saja yang telah di lakukan oleh para perias wajah ini terhadap wajah
mulus ku, dan para perias-perias ini memang sengaja di datangkan oleh pihak
sekolah ku, aku merasa seperti buku gambar putih yang bersih, yang telah di
coret-coret dengan krayon dan pensil warna seperti apa yang sering di lakukan
oleh Rizky dan Crisky kedua sepupu kembar ku yang hobi mewarnai di buku
bergambar.
“Ya ampun gue kaya ondel-ondel?” Caci terkejut melihat
wajahnya sendiri yang kedua pipinya memerah karena di pakaikan pemerah pipi,
Filma justru tertawa melihat komentar Caci terhadap wajahnya
“Enggak ko Ci loe cantik, memang sebelumnya loe enggak
pernah pake
make-up
sebanyak ini ya?”
“Hheee enggak pernah, mau kemana juga gue pake
make-up” Tutur polos Caci yang membuat para wanita yang terbiasa oleh ke kayaan
kedua orang tua mereka sedikit nyengir, bagaimana tidak kebanyakan wanita
seumuran Caci pasti sudah mulai mengenal make-up dan sudah bisa bersolek diri
tentu berbeda dengan Caci yang super cuek dengan penampilan.
“Oke anak-anak kalau sudah kumpul semua dan sudah
selesai persiapannya
silahkan masuk
ke dalam bus yang telah di siapkan”
Bu Wiwid memberikan pengarahan namun saat bu Wiwid
memberikan pengarahan Veda yang berdiri di samping ku menatap ku terus bahkan tidak
berpaling sedikit pun aku yang mengenakan kebaya ungu dan jeans hitam mungkin
sedikit berbeda dan menarik perhatiannya namun rasanya aku tidak nyaman dengan
make-up ini tetapi Veda menatapnya bagai terpesona atau aku terlalu berlebihan
mengartikan tatapan Veda.
“Caci loe beda banget loe tampil beda banget, serius
cantik banget dech”
Justru Ado memuji ku habis-habisan, entah jujur atau
apa pujian sahabat ku ini dan Ado
pun melingkarkan tangannya di bahu ku dan tambah membuat ku tidak nyaman serta
sekaligus menghentikan tatapan Veda ke arah ku.
Saat kami semua mau naik ke dalam bus tiba-tiba ada
suara yang memanggil nama ku dan Ado
ternyata suara itu berasal dari Fini dan Fikri mereka berlari mengejar aku yang
mau menaiki anak tangga bus.
“Caciiii…… Addooooo…..”
“Fini, Fikri… kalian ngapain ke sini?” tanya Ado dan Caci kaget
“Kita berdua mau kasih dukungan lah buat loe, hari ini
kan dua
sahabat
kita bakal
berjuang”
“Semangat ya Ci fikri bakal berdoa terus biyar semua
lancar, loe juga do
jangan bikin malu
Caci”
“Hahahaha… enggalah tenang aja lagi bro, serahin ke
gue semua beres”
“Oya ci loe tampil beda banget, loe cantik pake kebaya
dan rambut di
sanggul gitu”
pujian Fini membuat wajah Caci memerah
“Tuhkan
bukan cuma gue yang bilang cantik, Fini aja bilang gitu”
“Ah apaan sih, biasa aja lagi” tiba-tiba obrolan kami
terhenti karena bu Wiwid menegor kami berempat yang ke asikan mengobrol’’
“Ko masih di luar cepat masuk nanti kita bisa telat,
dan kalian berdua
kenapa di luar,
pelajaran kan udah mulai dari tadi, cepat kembali ke kelas”
“Iya buuu” Jawab Fini dan Fikri pasrah.
“Ci, Do good lucky ya” Fini dan Fikri berteriak
memberikan dukungannya kepada ku dan Ado, aku dan Ado hanya melambai karena sang supir telah
meluncur membawa sang roda empat melesat.
30 menit
kemudian kami semua sampai dibalai latihan kesenian di daerah Jakarta barat, dengan sigap bu Wiwid
mendaftarkan kelompok kami
Aku juga melihat persiapan dari berbagai sekolah yang
terlihatnya sangat matang latihannya karena terlihat betul dari raut muka para
peserta dari sekolah lain.
“Nak kita dapet nomor awal semua siap-siap ya”
“Memang kita dapet nomor peserta berapa bu?’’ tanya
Vano
“nomor 7 (tujuh), dan puisi ke dua Caci dan Ado kalian dapat nomor
17 (tujuh
belas)”
Karena
masih sedikit lama kami semua menunggu di sebuah aula yang di siapkan oleh
panitia untuk semua peserta, di aula ini juga banyak di manfaat kan para
peserta lain untuk latihan, tetapi bu Wiwid tidak memaksa untuk latihan tetapi
waktu luang ini di gunakan oleh bu Wiwid untuk berfoto-foto, mungkin untuk
menghilangkan rasa tegang kami semua.
Dan semua berfose dengan gurat ketegangan bagaimana
tidak lima menit sebelum tampil kami semua justru sedang narsis dan otak dari
ini semua adalah bu Wiwid, kami semua menatap lensa kamera dan berpose.
Setelah
menunggu akhirnya tibalah waktu kami untuk memasuki sebuah ruangan besar yang
tidak ada barang sedikit pun, di ruangan ini hanya ada meja panjang besar
berisi tiga juri yang akan memberikan penilain
SUNGAI
CILIUWUNG YANG MISKIN
Sungai ciliwung
yang miskin, tak kutahu dukamu
Duka yang coklat,
merambat kota Jakarta yang padat
Apakah itu
tangisan membasahi bumi resah ?
Tumpukkan nasib
menjelujur kota
gelisah.
Sungai ciliwung yang miskin, tak kutahu dukamu
Duka kekal tak sampai jangkauanmu; tangismu o
tangismu
Lahir disini kehidupan dewasa dan kesuburan
bumi
Tonggak kesabaran
merambat alur kali.
Adakah sampai
disini kita bertemu dan berpisah
Dan kita hitung
pita belitan yang meneliti kota
berdebu
Pijar lampu mulai
suram, sepi tiang membayang
Pelan melanggkah
meninggalkan arus jaman
Sungai ciliwung
yang miskin, tak kutahu dukamu
Duka yang coklat,
merambati hidup lampau dan kini
Anak-anak jaman
telah menyibak keruh dan ombak
Untuk kehidupan
kota yang cerlang, kota
yang diidamkan.
Slamet Sukirnanto
1967
“Huhh… gila tegang gue udah selasai nih…”
“Iya tadi gue takut banget” komentar Filma dan Titta
setelah masa-masa menegangkan untuk kami semua telah berlalu
“Gimana tadi ada yang salah enggak?” tanya bu Wiwid
penasaran
“Lancar bu semua berjalan baik-baik saja” Ucap Fredy
sombong padahal di antara kami semua saat berhadapan dengan juri wajahnya lah
yang sangat terlihat pucat dan rasa tegang tidak dapat di sembunyikannya.
“Bu bagian Caci sama saya masih lama kan?”
“Memang ada apa Do?”
“Saya mau cari makan dulu laper bu”
“Oh ya udah sekalian aja bareng yuk, anak-anak kita
makan dulu dari pagi
pasti kalian
laper”
“Bang bakso 9
mangkok sama minumnya, hoy pada mau pesen apa
minumnya?”
Ado langsung berteriak untuk memesan, setelah makan dan minum di pesan kami
semua menunggu dengan manis dan satu per satu pesanan kami segera di antar.
“De minumannya cuma lapan aja?” tanya abang penjual bakso kepada Ado dengan bingung
“Ya sembilan juga bang kan orangnya ada sembilan”
“Lah di pesenannya cuma ada lapan” dengan logat medok betawi asli sang abang bakso memberikan
catetan pesanan yang di tulis oleh Ado.
“Ya ampun maaf bang saya yang belum pesen”
“Wow… dasar
pikun” Tentu Ado yang membuat sang abang bakso bingung jadi di sorakin
anak-anak
“Terus mau pesen apa minumnya?” tanya sang abang bakso
“Es teh anget bang” dengan sigap penjual bakso itu
ingin membuatkan pesanan Ado
namun tiba-tiba sang penjual kembali lagi
“De kalau mesen yang jelas dong, mau es teh manis apa
teh manis anget
sih, saya
jualnya es teh manis sama teh manis anget, saya enggak jual
es teh manis
anget!”
“Oh maaf bang maksud saya es teh manis” kami semua
tertawa begitu kencang melihat Ado debat dengan sang penjual aku fikir Veda
tidak akan tertawa ternyata Veda tersenyum dan aku belum pernah lihat senyum
manisnya itu, ketika kami semua mulai melahap bakso yang ada di hadapan kami
aku memperhatiakan Veda entah sadar atau tidak aku sedang memperhatikannya dan
Veda seperti orang yang salah tingkah, sampai-sampai Veda menuangkan begitu
banyak sambal di mangkuknya, aku sungguh terkejut tetapi saat bakso yang
terlihat sangat pedas itu di lahap Veda wajahnya tidak merah atau tidak seperti
ke pedasan wajahnya justru sangat tenang dan santai tentu hal ini semakin
membuatku terus memperhatikannya, dan seolah tidak mau kalah atau tengah
mencari perhatian juga, Ado juga mengikuti jejak Veda menuangkan sambal begitu
banyak, Caci sedikit khawatir karena Ado tidak bisa memakan sambal dalam jumlah
banyak.
“Do sambal loe enggak kebanyakan?”
“Enggak kok Ci ini mah enggak pedes”
“Jangan banyak-banyak, loe kan enggak bisa makan pedes, nanti sakit
Perut loh!”
“Iya Do ingat tugas kamu belum selesai masih ada satu
puisi lagi”
”Ibu tenang aja”.
”Ibu tenang aja”.
Kami semua
berhasil menyapu bersih magkuk sang abang bakso tanpa tersisa sedikit pun.
“Anak-anak kita kembali ke aula ya untuk menunggu Caci
dan Ado tampil
nanti”
Dan kami semua
melangkah mengikuti langkah bu Wiwid tetapi langkah ku sedikit tertinggal
karena aku mengikuti langkah santai Veda jauh di belakang bu Wiwid dan
teman-teman ku lainnya.
“Good lucky” Veda mengucapkan kata-kata itu di samping
Caci.
“Makasih” Caci tersenyum
“Maaf kalau hari ini bukan gue yang jadi rekan kerja
sama loe, sorry gue lari
dari tugas
gue”
”Enggak apa-apa, gue ngerti kok”
”Enggak apa-apa, gue ngerti kok”
ketika kami
tengah mengobrol tiba-tiba ada suara yang memanggil nama Veda, seorang
laki-laki berkulit putih dan tingginya nyaris sama dengan Veda serta tatapan
matanya yang sayu dan teduh, pria itu mengampiri ke arah kami tetapi untuk ku
ini sosok yang asing.
“Veda”
“Gilang” mereka saling memanggil nama masing-masing
seperti orang yang sedang mengabsen.
“Ini bener loe kan, Veda”
“Iya ini gue” Veda dan pria yang di panggil Gilang itu
seperti teman dekat yang sudah lama tidak bertemu itu semua jelas tergambar
dari wajah rindu ke duanya dan wajah Veda berubah menjadi sumeringah.
“Loe apa kabar sob?”
“Seperti yang loe lihat sekarang”
“Loe kan
janji sama kita semua untuk saling komunikasi tapi apa sekarang
malah susah
buat di hubungin” Veda hanya tersenyum dan mengalihkan pembicaraan
“Loe lagi lomba juga?”
“Iya, gue wakilan sekolah kita, eh maksud gue mantan
sekolah loe, sorry”
”Enggak apa-apa, santai aja lagi”
”Coba loe belum pindah pasti yang wakilin sekolah kita, kita berempat
”Enggak apa-apa, santai aja lagi”
”Coba loe belum pindah pasti yang wakilin sekolah kita, kita berempat
bukan bertiga
kaya sekarang” Veda kembali tersenyum dan tidak menanggapi komentar Gilang
“Terus anak-anak mana?” tiba-tiba Gilang memanggil
kedua temannya yang merupakan seorang wanita
“Ini benaran Veda, Gil”
“Iya, berarti bener yang kita lihat tadi”
”Emang kalian lihat apa?”
”Emang kalian lihat apa?”
“Kita tuh lihat loe dari tadi tapi takut salah orang
abis loe beda pakai
baju kaya
gitu” seorang wanita yang merupakan teman Veda yang menggunakan kawat gigi
serta tahi lalat di samping bibirnya ini terlihat manis dan rambutnya yang
panjang juga menambah wanita ini terlihat sangat cantik, cantik yang alami
tidak seperti Sisi si super model yang cantik karena make-up. Bagus sekali saat
ini aku tengah terjebak di antara orang-orang yang mengenal Veda sedangkan aku
tak mengenalnya (dalam hati Caci)
“Kalian juga rada beda pakai batik”mungkin karena
perlombaan ini mengusung tema akan kebudayaan nusantara jadi semua peserta
mengenakan pakaian adat kebudayaan milik bangsa tidak terkecuali dengan
teman-teman Veda jadi semua orang tampak berbeda.
“Oya Ve ini siapa?”
Seorang
wanita yang memiliki rambut sebahu tetapi manis dan berwajah ramah, yang
berdiri tepat di sebelah wanita berkawat gigi itu menunjuk ke arah ku.
”Oy kenalin ini Caci dia teman gue, dan Caci ini sahabat-sahabat gue di
”Oy kenalin ini Caci dia teman gue, dan Caci ini sahabat-sahabat gue di
sekolah lama
gue”
dan satu per satu mereka mulai mengenalkan diri
dan satu per satu mereka mulai mengenalkan diri
“Gue Gilang, Senna, Anggie”
Dan ternyata wanita cantik berkawat gigi itu bernama
Senna dan wanita berambut sebahu berwajah manis dan ramah itu bernama Anggie,
mereka semua terlihat sangat ramah pantas Veda mau berteman dengan mereka dan
sepertinya Veda banyak bicara seperti merasa nyaman dan itu semua berbeda
sekali jika melihat Veda yang pendiam dan dingin di sekolah.
“Oya Ve loe tahu enggak Vira kan juga ikut lomba di sini”
Tiba-tiba obrolan mereka terhenti dan Veda pun terdiam
mendengar nama Vira, entahlah Vira itu siapa aku hanya jadi pendengar yang baik
karena aku tidak mengerti tentang apa yang mereka bicarakan.
“Gue enggak mau tahu tentang dia lagi”
“Sorry kalau gue salah ngomong”
”Enggak apa-apa Gil”
”Tapi Ve kalau menurut gue kalian harus ketemu dan selesain apa yang
”Enggak apa-apa Gil”
”Tapi Ve kalau menurut gue kalian harus ketemu dan selesain apa yang
belum selesai”
Senna mencoba memberikan saran
“Dia udah tahu di mana gue sekolah sekarang dan
menurut gue semua
udah selesai”
“Udah dong guys
jangan buat Veda jadi BT, kita kan
jarang punya waktu
kumpul gini”
Anggie berusaha menenangkan teman-temannya, aku melirik jam tangan ku
sepertinya aku sudah terlalu lama menghilang dari teman-teman yang lain.
“Veda gue ke aula lagi ya, takut di cariin bu Wiwid”
”Bareng aja ci, gue cabut duluan ya”
”Jangan lupa untuk hubungin kita dan lain waktu kita ngumpul bareng ya”
”Bareng aja ci, gue cabut duluan ya”
”Jangan lupa untuk hubungin kita dan lain waktu kita ngumpul bareng ya”
Veda hanya
mengangguk dan tersenyum pada sahabat-sahabatnya sebelum pergi dengan ku dan
berlalu dari hadapan mereka.
Alangkah
terkejutnya sewaktu dalam perjalanan menuju aula karena bu Wiwid dan sejumlah
teman-teman ku tengah berlari-lari panik.
“Ibu ada apa, kenapa lari-lari?”
”Untung ibu ketemu kalian, dari mana aja sih kalian”
”Maaf bu saya yang salah jangan salahin Caci” Veda berusaha membela Caci
”Untung ibu ketemu kalian, dari mana aja sih kalian”
”Maaf bu saya yang salah jangan salahin Caci” Veda berusaha membela Caci
“Udah enggak penting siapa yang salah, sekarang kamu
Veda tolong gantiin
Ado di puisi yang ke dua”
”Loh Ado memang kenapa bu?”
”Loh Ado memang kenapa bu?”
“Ado sakit perut karena ke banyakan makan sambal,
sekarang Ado
udah di
bus mau di
bawa ke rumah sakit oleh sebab itu kamu gantiin posisi Ado”
”Ta… tapi bu…”
”Jangan banyak tapi ini kondisi gawat, nanti setelah antar Ado ke rumah
”Ta… tapi bu…”
”Jangan banyak tapi ini kondisi gawat, nanti setelah antar Ado ke rumah
sakit ibu
kesini lagi, kalian cepat kembali ke aula tadi nomor pesertanya
udah nomor
sepuluh”
Dengan
berat hati Veda mengikuti kemauan bu Wiwid karena ternyata semua teman-teman
yang lain ikut mengantar Ado
ke rumah sakit
“Gimana kalau gue enggak bisa, gimana kalau tiba-tiba
puisinya enggak
selesai lagi?”
”Loe tenang dong, jangan pesimis loe kan belum coba” Caci berusaha menenangkan Veda.
”Loe tenang dong, jangan pesimis loe kan belum coba” Caci berusaha menenangkan Veda.
“Gue minta maaf kalau nantinya gue bikin kecewa”
”Iya enggak apa-apa kita coba dulu ya, tadi itu semuanya teman loe?”
”Iya, mereka semua sahabat gue”
”Gue boleh tanya enggak?”
”Mau tanya apa?”
”Gue boleh tahu enggak siapa Vira itu?”
”Emm… sekarang loe lihat ke kanan loe, ada cewek yang pake kebaya
”Iya enggak apa-apa kita coba dulu ya, tadi itu semuanya teman loe?”
”Iya, mereka semua sahabat gue”
”Gue boleh tanya enggak?”
”Mau tanya apa?”
”Gue boleh tahu enggak siapa Vira itu?”
”Emm… sekarang loe lihat ke kanan loe, ada cewek yang pake kebaya
warnanya sama
kaya loe dan rambut di sanggul juga?”
Aku mencari apa yang di maksud oleh Veda dan sepertinya wajahnya tidak asing bagi ku.
Aku mencari apa yang di maksud oleh Veda dan sepertinya wajahnya tidak asing bagi ku.
“Emm… kayanya gue pernah lihat dia, tapi dimana ya?”
“Iya dia cewek yang waktu itu datang dan ngobrol sama
gue pas pulang
sekolah”
“Oh… pantes ko kayanya gue pernah lihat, kalau gue
boleh tahu dia siapa-
nya loe?” Veda
hanya terdiam saat pertanyaan itu aku lontarkan bahkan Veda masih terdiam
sampai akhirnya nomor kami di panggil, saat memasuki ruangan untuk ke dua
kalinya aku lebih tegang dari pada sebelumnya karena aku takut Veda tidak dapat
menyelesaikan bait puisinya seperti latihan.
Dengan
Kasih Sayang
WS.
Rendra
Dengan kasih
sayang
Kita simpan bedil
dan kelewang
Punahlah gairah
pada darah.
Jangan!
Jangan dibunuh
para lintah darat
Ciumlah mesra anak
jadah tak berayah
Dan sumbatkan
jarimu pada mulut
Peletupan
Kerna darah para
bajak dan perompak
Akan mudah
mendidih oleh pelor.
Mereka bukan tapir
atau badak
Hatinya pun
berurusan cinta kasih
Seperti jendela
terbuka bagi angin sejuk!
Kita yang sering
kehabisan cinta untuk mereka
Cuma membenci yang
rompak.
Hati tak bisa
berpelukan dengan nampak hati mereka.
Terlampau terbatas
pada lahiriah masing pihak.
Lahiriah yang
terlalu banyak meminta!
Terhadap sajak
yang paling utopis
Bacalah dengan
senyuman yang sabar.
Jangan dibenci
kaum pembunuh.
Jangan dibiarkan
anak bayi mati sendiri.
Kere-kere jangan
mengemis lagi.
Dan terhadap
penjahat yang paling laknat
Pandanglah dari
jendela hati yang bersih
Ya tuhan
lagi-lagi Veda terdiam di dua bait terakhir, bagaimana ini suasana sempat
hening untuk beberapa detik, suara lantang itu tertahan seperti sulit untuk di
keluarkan aku melihat keringat dingin itu bercucuran dari wajah Veda rasanya
Veda terlalu memaksakan diri bahkan aku takut dia lemas dan jatuh pingsan, dan
tiba-tiba Veda membaca dua bait terakhir tetapi entah mengapa tiba-tiba sambil
membacakan puisi itu matanya mengeluarkan air mata dan Veda menangis sambil menyelesaikan
puisi itu.
EMPAT
“Gimana kabar loe?”
“Udah baik kok”
“Loe enggak operasi usus buntu aja harusnya udah
bersyukur tahu”
“Iya Fikri…” Fikri, Caci, Veda, Fini dan Bu Wiwid,
seusai pulang sekolah kami menjenguk Ado yang masuk rumah sakit karena saat
perlombaan beberapa waktu lalu Ado kebanyakan memakan sambal alhasil perutnya
yang tidak terbiasa memakan biji cabe justru mengakibatkan ususnya bermasalah
“Iya, bandel sih gue kan udah bilang jangan banyak-banyak
sambelnya
masih aja bandel”
“Iya…. Caci ku, lain waktu gue nurut dech sama semua
omongan loe”
Ibunya Ado yang ada juga di ruang rawat pasien pun
ikut tertawa melihat pola tingkah anaknya dan para sahabat terdekatnya.
“Eh Veda loe bawa apa tuch dari tadi?”
Aku, Ibu
Wiwid dan Veda jadi melupakan ingin menunjukkan apa yang dari tadi di bawa oleh
Veda.
“Oh, ini piala kemenangan kita Do” Veda menjelaskan
“Lomba yang mana nih yang menang?”
”Sungai Ciliwung Yang Miskin”
”Sungai Ciliwung Yang Miskin”
“Seriussss loe, wah gila gue bangga banget kan disitu gue ikut
andil juga”
Ado seperti
anak kecil kegirangan mendengar puisi yang kami semua bacakan ternyata menang
dan menjadi juara pertama, tentu ini adalah perestasi yang membanggakan untuk
kami semua dan juga untuk pihak sekolah.
“Ado… inget jangan
banyak gerak, nanti sakit lagi perut kamu” Ibunya Ado berusaha mengingatkan
putranya tetapi Ado
tidak menghiraukan.
“Oy, terus puisi yang ke dua gimana?
maaf ya ci gue
jadi tinggalin tugas gue”
“Iya enggak apa-apa do”
“Terus menang juga enggak?”
Caci tidak menjawab
justru saling pandang memandang dengan Veda seperti ada sesuatu yang sulit di
jelaskan, dan disini lah ibu Wiwid yang berusaha menjelaskan.
“Kamu enggak usah ngerasa bersalah gitu do, kamu
tenang aja Veda
menggantikan
kamu dengan sangat baik, juri sangat terpukau dengan
penghayatan
Veda karena Veda sampai berkaca-kaca”
“Serius bu?
Veda ko loe bisa
sampai berkaca-kaca?
gue aja enggak
bisa paham sama maksud dari puisi itu”
Seperti
biasa jika di tanya Veda hanya terdiam mematung tidak menjawab dan hingga
beberapa menit suasana di ruang rawat ini menjadi membisu, karena sebetulnya
kami terpilih juga sebagai pasangan yang paling serasi dan selain mendapatkan
piala untuk sekolah kami juga mendapatkan mendali serta julukan pasangan serasi
mungkin karena penghayatan Veda yang sangat menjiwai. Fini berusaha mencairkan
suasana yang hening karena pertanyaan Ado
tidak dijawab oleh Veda.
“Tante kira-kira Ado
kapan pulangnya tan?
”Lusa juga Ado udah boleh pulang kok”
”Loe kenapa Fin udah kangen sama gue ya?” ledek Ado kepada Fini
”Lusa juga Ado udah boleh pulang kok”
”Loe kenapa Fin udah kangen sama gue ya?” ledek Ado kepada Fini
“Ih… enggak banget gue kangen sama loe do, mendingan
jangan lama-lama
disini tugas
dan catetan udah nunggu loe, untuk cepet-cepet dikerjain”
”Yah… si Fini enggak bisa banget ngibur gue, udah pelajaran aja” Ado menarik nafas panjang seolah-olah tugas dan catetan adalah beban berat bagi Ado dan seluruh ruangan kembali tertawa melihat eksperi Ado yang berubah saat mendengar tugas sekolah dan saat itu juga suasana hening menjadi berubah kembali.
”Yah… si Fini enggak bisa banget ngibur gue, udah pelajaran aja” Ado menarik nafas panjang seolah-olah tugas dan catetan adalah beban berat bagi Ado dan seluruh ruangan kembali tertawa melihat eksperi Ado yang berubah saat mendengar tugas sekolah dan saat itu juga suasana hening menjadi berubah kembali.
“Sorry do gue enggak bisa lama-lama, gue belum izin
tadi”
”Yah jadi loe mau balik nih?”
”Iya takut kesoren”
”Yah jadi loe mau balik nih?”
”Iya takut kesoren”
“Terus loe balik sama siapa?”
”Iya ci nanti aja, gue sama Fini masih nanti pulangnya”
”Enggak apa-apa bareng gue aja” Veda menawarkan diri
”Iya ci nanti aja, gue sama Fini masih nanti pulangnya”
”Enggak apa-apa bareng gue aja” Veda menawarkan diri
“Yaudah kalau
gitu, Fin, Fik balik duluan ya?”
”Iya Ci hati-hati” Fini dan Fikri menjawab bersamaan
”Iya Ci hati-hati” Fini dan Fikri menjawab bersamaan
“Bu Wiwid, Tante caci pamit dulu ya?”
”Iya, Hati-hati ya!
”Iya, Hati-hati ya!
makasih ya Ci
udah di tengokin Ado-nya”
“Iya sama-sama tante, Do cepet sembuh ya!”
”Iya, eh Veda jagain tuh sahabat gue”
”Iya, eh Veda jagain tuh sahabat gue”
Veda hanya
tersenyum, setelah berpamitan aku dan Veda pun segera bergegas untuk pulang.
Tiba-tiba langkah Veda terhenti.
“Ada
apa kok berhenti?”
“Gue dapet sms dari nyokap”
“Terus?”
”Sorry gue enggak bisa bareng loe”
”Sorry gue enggak bisa bareng loe”
Hanya
kata-kata singkat itu, dan Veda pun meninggalkan ku seolah-olah urusannya itu
sangat penting, dan aku pun pulang sendiri dengan menaiki ojek sekitar rumah
sakit, tetapi ketika setengah perjalanan ojek ku di hadang oleh jaguar merah
yang entah siapa penumpangnya.
Seorang pengemudi turun dari mobilnya, dan wanita yang
memiliki tinggi tidak jauh berbeda dari ku menghampiri aku serta memberikan
senyumnya.
“Gue udah cari-cari loe dari tadi, cepet naik mobil”
”Loe siapa?”
”Loe siapa?”
“Loe lupa sama gue?”
Caci yang
tidak mengenalinya berusaha mengingatnya dan sang abang ojek pun sama
bengongnya dengan Caci yang tidak mengingat sama sekali wanita yang
menghadangnya, karena Caci lama mengingatnya akhirnya tangan Caci di tarik
paksa oleh wanita itu dan sang wanita asing itu memberikan lima puluh ribu
kepada abang tukang ojek dan tanpa banyak tanya abang tukang ojek segera pergi
“Eh… kasar banget sih loe, gue tuh enggak kenal sama
loe”
“Udah masuk mobil!!! Nanti juga loe tahu siapa gue”
Wanita itu membentak Caci dan karena paksaan itu Caci pun terpaksa memasuki mobil
mewah itu.
“Hey… Sezheci Percia masih inget sama gue enggak?”
Mata Caci menerawang jauh mengingat siapa wanita yang memanggil namanya dan duduk di samping wanita yang mengemudi yang tadi memaksanya masuk ke dalam jaguar merah itu.
Mata Caci menerawang jauh mengingat siapa wanita yang memanggil namanya dan duduk di samping wanita yang mengemudi yang tadi memaksanya masuk ke dalam jaguar merah itu.
“Loe itu….” belum sempat Caci melanjutkan ucapannya
wanita itu sudah memotongnya
“Iya gue Vira dan ini Adel, gue cukup salut sama
penampilan loe beberapa
waktu lalu di
perlombaan puisi dan penghayatan loe serasi banget ya sama
pasangan loe,
enggak salah kalian dijulukin pasangan paling serasi”
”Maksud kalian itu apa sih, gue enggak ngerti sama kalian dan gue juga
”Maksud kalian itu apa sih, gue enggak ngerti sama kalian dan gue juga
enggak kenal
kalian”
”Wah… Vir perlu di jelasin nich kayanya”
”Wah… Vir perlu di jelasin nich kayanya”
“Sezheci percia, perlu loe tahu ya baik-baik gue ini
tunangannya Veda!”
“Apa tunangan?”
”Iya kenapa loe kaget?”
”Apa Veda ga cerita ke elo?”
”Iya kenapa loe kaget?”
”Apa Veda ga cerita ke elo?”
“Terus hubungan gue sama loe apa?”
”Loe bego atau apa enggak ngerti bahasa manusia?”
”Harusnya loe ngerti untuk enggak deket-deket sama calonnya Vira, mereka
”Loe bego atau apa enggak ngerti bahasa manusia?”
”Harusnya loe ngerti untuk enggak deket-deket sama calonnya Vira, mereka
itu udah di
jodohin dari kecil”
“Gue sama Adel lakuin ini bukan karena kita pengen
nglabrak loe tapi cuma
kasih
peringatan loe aja untuk sadar siapa orang yang lagi loe deketin”
”Kalian salah orang, gue lagi enggak deketin Veda”
”Heh… orang bodoh mana sih yang enggak bilang kalian ada apa-apa,
”Kalian salah orang, gue lagi enggak deketin Veda”
”Heh… orang bodoh mana sih yang enggak bilang kalian ada apa-apa,
semua itu udah
keliatan dari mimik kalian kemarin, semua orang yang ada
di balai
kesenian kemaren juga tahu gimana mesranya kalian waktu final”
“Itu cuma sebates kerja sama buat tim puisi sekolah
gue, enggak lebih”
”Oke, gue pegang omongan loe dan jangan harap gue akan tinggal diem
”Oke, gue pegang omongan loe dan jangan harap gue akan tinggal diem
gitu aja!
karena gue akan terus mantau hubungan loe sama Veda”
Setelah
obrolan yang penuh dengan penekanan aku pun di turunkan di tengah jalan yang
sangat jauh dari rumah ku, kini aku baru tahu siapa Vira ternyata dia adalah
tunangan Veda yang di jodohkan dari kecil tapi kenapa saat perlombaan kemarin
sedikit pun Veda tidak mengahampiri Vira justru seperti orang yang tidak kenal,
sebetulnya ada apa dengan mereka, mengapa aku jadi terseret dalam persoalan
mereka, yang justru aku tidak mengerti sama sekali.
Pagi ini
Caci sangat emosi, rasanya ingin sekali bertemu dengan Veda apalagi coba kalau
bukan karena kejadian sore kemarin seusai pulang dari rumah sakit dan ketika
sampai kelas Caci tidak menemukan sesosok Veda padahal tasnya telah tergeletak
di atas meja, tempat Veda biasa duduk justru Caci malah menemukan Ado yang
sudah masuk sekolah padahal kemarin ibunya mengatakan lusa baru dapat keluar
dari rumah sakit namun kini ternyata lebih cepat.
Dengan nafas terengah-engah dan emosi yang
menggebu-gebu Caci pun bertanya pada Ado.
“Do, Veda mana?”
”Mana gue tahu, kenapa loe dateng-dateng nyariin dia, kemaren
”Mana gue tahu, kenapa loe dateng-dateng nyariin dia, kemaren
tuh anak lupa
bayar kopaja ya mangkanya loe nyariin dia?”
”Enggak lucu do, gue lagi serius!”
”Gue enggak tahu di perpus kali dia kan kutu buku, payah loe Ci dateng-
”Enggak lucu do, gue lagi serius!”
”Gue enggak tahu di perpus kali dia kan kutu buku, payah loe Ci dateng-
dateng malah
nyariin dia, bukannya tanya gimana kabar gue yang udah
bisa masuk
lebih cepet”
Caci tidak
menghiraukan Ado namun langsung berlari menuju perpustakaan sekolahnya dan
ternyata tepat dugaan Ado, Veda tengah membaca buku, karena keadaan
perpustakaan sekolah yang masih sepi mungkin karena masih pagi.
Caci pun segera menghampiri meja Veda dan langsung
berbicara dengan intonasi tinggi karena seolah-olah kemarahan yang ia tahan
dari kemarin sore tengah memuncak.
“Gue mau ngomong sama loe!
kasih tahu ya
sama tunangan loe itu untuk jaga etika sama orang yang
belum pernah
dia kenal sebelumnya”
“Maksud loe apa?”
”Enggak usah belaga pura-pura enggak tahu dech, kalau emang kalian
”Enggak usah belaga pura-pura enggak tahu dech, kalau emang kalian
punya masalah
pribadi, please…. selesain masalah kalian jangan bawa-
bawa gue yang
enggak tahu apa-apa!!!!”
“Heh… kalau kalian punya masalah pribadi tolong
selesain diluar jangan
disini, ini
perpustakaan bukan kantin” Sang penjaga perpustakaan berteriak kearah kami
karena suara Caci yang memarahi Veda dengan kencang.
“Maaf pak” setelah mengucapkan kata-kata maaf Veda
segera menarik tangan Caci ke luar agar dapat membicarakan lebih jelas lagi
permasalahan yang sebetulnya terjadi.
“Sekarang loe jelasin apa maksud ucapan loe tadi”
”Heh… jelasin apalagi sih… udah cukup jelas kan apa yang gue omongin
”Heh… jelasin apalagi sih… udah cukup jelas kan apa yang gue omongin
tadi”
Caci pun pergi meninggalkan Veda namun baru beberapa
langkah tiba-tiba Caci kembali menghampiri Veda.
“Satu lagi jangan bawa-bawa gue dalam permasalahan loe,
ngerti!!!!”
Caci pun
pergi meninggalkan Veda yang masih terdiam dan binggug dengan ucapan Caci.
Setelah
kejadian tadi pagi aku tidak sedikit pun bicara atau menoleh kearah Veda. Veda
pun seperti biasa terdiam tanpa kata-kata.
“Ci loe kenapa?” Fini bertanya kearah ku, seolah-olah
tengah mengerti akan keadaan ku yang selama tadi pagi gelisah dan terkadang
marah-marah tidak jelas.
“Enggak apa-apa ko Fin, gue cuma lagi BT dan kesel aja
sama orang”
“Siapa? cerita dong, siapa tahu dengan cerita ke gue
loe bisa lebih tenang”
Saat aku ingin bercerita tiba-tiba Ado
menarik rambut panjang ku yang kebetulan sedang aku ikat dan ini memang sudah
menjadi ke isengan dan ke jailan Ado
jika tengah belajar.
“Heh… cerita berduan aja, gue enggak di ajak-ajak”
“Ini woman
secret, mau tahu aja”
“Wah gitu besok gue pake rok dech biar boleh tahu”
”Do gue pegang ya omongan loe”
”Ah loe juga fik saraf, becanda di anggap serius”
”Do kalau loe pake rok, gue janji bakal jadi orang pertama yang ngetawain
”Do gue pegang ya omongan loe”
”Ah loe juga fik saraf, becanda di anggap serius”
”Do kalau loe pake rok, gue janji bakal jadi orang pertama yang ngetawain
loe”
“Wah Fin loe sama sarafnya kaya Fikri, eh Ci nanti
pulang bareng yuk?”
”Hem… tetep ya usaha” Ledek Fikri pada Ado
”Hem… tetep ya usaha” Ledek Fikri pada Ado
“Yeh… enggak apa-apa kali usaha dikit, kan enggak mungkin gue
anterin
loe pulang,
rumah aja sama sekolah tiggal gelinding juga nyape, kalau
gue anter Fini
juga enggak mungkin secara rumahnya beda arah sama gue
dan jauh
banget lagi, secara otomatis ya cuma Caci yang gue tawarin”
“Hum… ya-ya, masuk akal alesannya” Aku dan Fini hanya
dapat tertawa mendengar penjelasan Ado.
Pelajaran bahasa inggris pun telah selesai dan ini
saatnya untuk pulang para murid-murid pun kegirangan seolah-olah jam pulang
merupakan suatu kebebasan untuk mereka, namun jam pulang kali ini membuat ku
sedikit ganjil karena biasanya aku ke meja Veda atau Veda sendiri yang
menawarkan diri untuk pulang bersama tapi aku nyatakan mulai hari ini aku dan
dia bermusuhan tetapi jika Veda menyapa ku sebelum pulang mungkin akan ku
fikirkan lagi.
“Ci loe balik bareng Ado
kan?”
Caci hanya
mengangguk mendengar pertanyaan Fini,
“Ya udah gue cabut sekarang ya, Fik bareng ya ke
depannya”
”Ya udah cabut duluan ya” suara Fikri dan Fini bersamaan
”Ya udah cabut duluan ya” suara Fikri dan Fini bersamaan
Veda
beranjak dari kursinya aku berharap Veda akan berhenti di hadapan ku seperti
biasa dan menawari untuk pulang bersama, namun kali ini wajahnya sangat jutek
dan berlalu begitu saja, dasar manusia es pola fikirnya enggak pernah bisa di
tebak (dalam hati Caci)
“Ayo pulang”
Aku langsung mengajak Ado pulang.
“Em… bentar ya Ci gue mau tanya jadwal futsal dulu,
loe tunggu di parkiran
dulu aja,
sebentar ko”
Caci pun menunggu Ado di parkiran tepatnya
dekat dengan motor Ado yang di parkirkan di tempat parkir, Caci melirik jam
tangannya lumayan lama juga, padahal hanya menanyakan jadwal (suara hati Caci
mulai tidak sabar menunggu Ado)
Ketika Caci
tengah menunggu Ado tiba-tiba segerombolan
anak-anak pria datang ke parkiran, ternyata mereka adalah Ben dan teman-temanya
anak-anak brutal ada rasa takut karena mereka bergerombol berjalan ke arah ku,
sedangkan Ado
masih belum datang.
Caci
berusaha menyibukan diri dengan membaca buku agar Ben atau teman-temannya tidak
melihat Caci dan mengejeknya seperti yang mereka lakukan ketika melihat
anak-anak yang mereka anggap tidak sederajat dengan mereka, satu per satu anak
brutal itu mulai mengambil motornya dan meninggalkan parkiran dan ketika Ben
ingin menyalakn ninja merahnya
tiba-tiba kunci motornya terjatuh tidak jauh dari tempat Caci berdiri.
“Heh cewek tolong ambilin dong”
Suara Ben memanggil Caci untuk mengambil kunci motor
yang jatuh sedangkan Ben sendiri sudah bertengger di motor gedenya, Caci pun
mengambilkannya tetapi masih dengan buku yang menutupi wajahnya.
Tiba-tiba
setelah mendapatkan kunci motor yang jatuh Ben masih belum menyalakn mesinnya
dan sepertinya tengah menatap Caci
“Heh non… bukunya kebalik”
Ben langsung mengambil buku yang ternyata dari tadi di
baca Caci terbalik dan Ben terkejut ternyata wanita di balik buku itu adalah
Caci.
“Loe… jadi dari tadi loe disini?”
Caci hanya mengangguk dan menundukkan kepalanya karena malu dari tadi buku yang ada di hadapannya ternyata kebalik karena sebetulnya Caci memperhatikan agar Ben tidak melihatnya dan sedikit panik karena melihat segerombolan anak-anak brutal.
Caci hanya mengangguk dan menundukkan kepalanya karena malu dari tadi buku yang ada di hadapannya ternyata kebalik karena sebetulnya Caci memperhatikan agar Ben tidak melihatnya dan sedikit panik karena melihat segerombolan anak-anak brutal.
Tiba-tiba Ben yang telah duduk di atas motornya
mengangkat dagu ku yang tertunduk malu sehingga dengan jelas sekali kami dapat
saling tatap muka.
“Kebetulan ada loe disini, gue lagi cari loe” Caci
segera memalingkan wajahnya agar tidak sedekat ini.
“Memang ada perlu apa ka?”
”Loe lupa sama janji loe?”
”Janji apa?
”Loe lupa sama janji loe?”
”Janji apa?
Memang gue
pernah janji sama loe?”
”Wah bener-bener lupa ya?
”Wah bener-bener lupa ya?
waktu loe
telat gue kan
bilang suruh temuin gue setelah pulang sekolah
kenapa loe
enggak temuin gue???”
Caci berusaha mengingat, memang ketika telat Ben yang menjadi pahlawan kesiangan akan tetapi Caci tidak ingat sama sekali akan kata-kata Ben saat itu.
Caci berusaha mengingat, memang ketika telat Ben yang menjadi pahlawan kesiangan akan tetapi Caci tidak ingat sama sekali akan kata-kata Ben saat itu.
“Heh loe ngapain sahabat gue?
Ci loe enggak
kenapa-napa kan?”
“Heh santai bro, temen loe aman sama gue”
Saat Ben ingin pergi tiba-tiba Ben membisikan sesuatu
kepada ku
“Inget ya obrolan kita belum selesai dan loe masih
hutang budi sama gue!”
dan motor merah besar itu melaju kencang meninggalkan aku dan Ado di parkiran.
dan motor merah besar itu melaju kencang meninggalkan aku dan Ado di parkiran.
“Ci loe enggak di apa-apain kan sama Ben?”
”Gue enggak kenapa-napa, loe lama banget sih?”
”Maaf Ci maaf, tadi abis nanya jadwal, anak-anak rohis minta gue untuk isi
”Gue enggak kenapa-napa, loe lama banget sih?”
”Maaf Ci maaf, tadi abis nanya jadwal, anak-anak rohis minta gue untuk isi
acara mereka
pas perkumpulan rohis buat anak-anak kelas satu”
“Ya udah yuk balik”
Ado mulai
mengendarai motornya dengan tenang tetapi entah mengapa saat melewati tempat
tongkrongan Ben Ado melaju sangat kencang, seolah-olah ini merupakan sirkuit motoGP, aku yang terkejut segera memukul
pundak Ado.
“Loe gila ya Do, kenapa ngebut gitu?
loe tuh bawa
dua nyawa”
Ado segera meminggirkan motornya
“Maaf Ci, kalau loe kaget tadi”
***
“Tumben Ci udah lama banget kamu enggak ke sini?”
“Iya Cat, kemarin-kemarin aku sibuk banget, gimana cafe?”
“Seperti yang kamu lihat sekarang, oya kemarin paman
Thomas bilang kamu
menang lomba
puisi ya?”
”Iya ternyata orang-orang cafe udah tahu ya?”
”Iya ternyata orang-orang cafe udah tahu ya?”
“Iya selamat ya”
”Iya makasih”
”Iya makasih”
“Kamu kenal Anestasya enggak?”
”Siapa dia?”
”Ya ampun kemana aja sih kamu, masa enggak kenal sama Anestasya Putri
”Siapa dia?”
”Ya ampun kemana aja sih kamu, masa enggak kenal sama Anestasya Putri
Julius, anak
dari pengacara itu loh, dia kan
seorang model juga”
“Terus kenapa?”
”Dia sering makan di Cafe ini loh”
”Oh…”
”Dia sering makan di Cafe ini loh”
”Oh…”
“Loh kok Cuma Oh?”
”Bingung mau komentarin apa, aku kan jarang lihat TV juga”
”Bingung mau komentarin apa, aku kan jarang lihat TV juga”
“Dasar Sezhechi”
***
“Ada
rame-rame apa Fik?”
”Enggak tahu Ci ada apaan”
”Alah paling ada anak yang pada bikin ulah” Komentar singkat Fini, dan Ado tiba-tiba menghampiri kami dari luar kelas.
”Enggak tahu Ci ada apaan”
”Alah paling ada anak yang pada bikin ulah” Komentar singkat Fini, dan Ado tiba-tiba menghampiri kami dari luar kelas.
“Heh dari mana loe do?” Tanya Fikri kepada Ado
“Dari toilet”
”Loe tahu itu ada rame-rame apa?” Tanya Caci kepada Ado
”Loe tahu itu ada rame-rame apa?” Tanya Caci kepada Ado
Ado hanya terdiam dan Fikri yang menjawab pertanyaan Caci
“Gue tadi tanya cowok-cowok, katanya Ben ke geep ngerokok di toilet”
”Bener kan kata gue, paling juga ada yang berulah mangkanya ada rame-
”Bener kan kata gue, paling juga ada yang berulah mangkanya ada rame-
rame gitu,
tapi serius Fik itu Ben yang ketahuan ngerokok?” Fini bertanya dengan nada
sedikit cemas.
“Iya, tapi kenapa loe rada khawatir gitu?”
”Enggak kok, gue cuma mau tahu”
”Enggak kok, gue cuma mau tahu”
Caci hanya
melempar senyum kepada Fini dengan tanda meledeknya.
“Tapi siapa tuh yang berani ngadu sama guru BP,
kayanya nyari masalah
banget sama
Ben”
”Guys masuk kelas yuk jangan di luar gini” Ado meminta agar ke tiga temannya yang masih penasaran dengan keramaian yang di buat oleh Ben untuk segera masuk kelas.
”Guys masuk kelas yuk jangan di luar gini” Ado meminta agar ke tiga temannya yang masih penasaran dengan keramaian yang di buat oleh Ben untuk segera masuk kelas.
***
“Fik, Ado hari ini enggak masuk?”
“Dia sakit Ci?”
“Sakit lagi dia?”
”Sakit apa Fik?” Tanya Fini
”Sakit apa Fik?” Tanya Fini
“Gue enggak tahu tapi tadi pagi dia susah buat
ngomong”
”Sakit gigi mungkin” ledek Fini
”Sakit gigi mungkin” ledek Fini
“Bukan Fin dia sih ngomongnya dia dihajar orang”
“Haaa????
serius loe?”
“Iya Fin”
“Siapa yang hajar dia?”
”Gue enggak tahu Ci, dia bilang tadi pagi di telepon, cuma bilang dihajar
”Gue enggak tahu Ci, dia bilang tadi pagi di telepon, cuma bilang dihajar
orang dan gue
di suruh bilang ke loe berdua jagan panik, karena dia
enggak apa-apa
cuma susah aja buat ngomong”
LIMA
“Pah, kalau kaya gini terus mamah enggak kuat”
”Ya kita harus sabar mah, mungkin ini cobaan, kita harus tetap tawakal
”Ya kita harus sabar mah, mungkin ini cobaan, kita harus tetap tawakal
dan anak-anak
enggak boleh tahu mengenai krisis keuangan yang sedang
kita hadapi
saat ini”
Caci terbengong di balik pintu kamar om Hans dan tante
bebie karena tidak sengaja melewati kamar mereka, Caci sangat terkejut
mendengar percakapan tantenya dengan om Hans bahwa mereka tengah mengalami
krisis keuangan.
Ya tuhan aku baru tahu ternyata tante dan om tengah
mengalami krisis keuangan padahal cafe tengah banyak pengunjung bagaimana bisa
ini terjadi?
aku merasa bagai benalu yang tidak tahu diri (Batin
ku)
Pagi ini
aku termenung duduk di bangku ku, aku memikirkan apa yang ku dengar kemarin
malam di balik pintu kamar tante dan om, aku sungguh tidak tahu bahwa mereka
tengah kesulitan keuangan rasanya egois sekali jika aku meminta uang untuk
bayaran sekolah aku harus bagaimana untuk meringankan beban mereka, hal ini
yang terus aku fikirkan dari semalam setelah mendengar percakapan singkat itu,
jam dinding di kelas ku sudah menunjukan pukul 06.30 tetapi Fini dan Fikri
belum juga datang, Ado juga sudah bisa masuk atau belum ya, biasanya hanya ketiga
sahabat ku yang dapat menghibur dan memberikan masukan kepada ku.
“Pagi Ci”
“Pagi juga Fik”
”Fini mana Ci, belum dateng?”
”Enggak tahu kayanya gitu Fik, keadaan Ado gimana udah baikan belum?”
”Nyokapnya bilang udah mendingan tapi masih belum bisa untuk masuk
”Fini mana Ci, belum dateng?”
”Enggak tahu kayanya gitu Fik, keadaan Ado gimana udah baikan belum?”
”Nyokapnya bilang udah mendingan tapi masih belum bisa untuk masuk
sekolah”
“Gue penasaran Fik, emangnya siapa sih yang bikin Ado sampai kaya gitu?”
“Gue juga enggak tahu Ci, Ado belum cerita sama gue”
Obrolan
kami terhenti karena Fini datang dan langsung mengalihkan pembicaraan kami,
dengan jelas dapat dilihat dari rautnya Fini sangat gembira pagi ini.
“Hola teman-teman ku”
”Kenapa loe?” Fikri bertanya kepada Fini yang masih tersenyum gembira
”Kenapa loe?” Fikri bertanya kepada Fini yang masih tersenyum gembira
“Loe berdua tahu enggak gue lagi seneng banget nih?”
”Seneng kenapa sih Fin, cerita dong”
”Gini loh Ci, gue kepilih buat wakilin sekolah kita di ajang cerdas cermat
”Seneng kenapa sih Fin, cerita dong”
”Gini loh Ci, gue kepilih buat wakilin sekolah kita di ajang cerdas cermat
tingkat
nasional”
”Yang bener loe Fin?”
”Iya gue enggak bohong mangkanya hari ini rada telat masuk kelasnya
”Yang bener loe Fin?”
”Iya gue enggak bohong mangkanya hari ini rada telat masuk kelasnya
karena tadi
gue dipanggil sama kepsek buat ngomongin hal ini”
”Wah keren, terus lomba cerdas cermatnya mata pelajaran apa Fin?”
”Fisika dong Fik, mata pelajara favorit gue,hhee
”Wah keren, terus lomba cerdas cermatnya mata pelajaran apa Fin?”
”Fisika dong Fik, mata pelajara favorit gue,hhee
dan hadiah
utamanya dapet beasiswa kuliah di Singapur”
”Serius Fin???”
”Iya Ci, gue berharep banget bisa dapetin beasiswa itu”
”Ya ampun enak banget, selamat ya Fin dan semoga bisa menang”
”Iya Ci makasih”
Ya ampun bahagia banget jadi Fini bisa berkesempatan dapetin beasiswa itu, duh kenapa tiba-tiba gue jadi iri ya sama Fini?
”Serius Fin???”
”Iya Ci, gue berharep banget bisa dapetin beasiswa itu”
”Ya ampun enak banget, selamat ya Fin dan semoga bisa menang”
”Iya Ci makasih”
Ya ampun bahagia banget jadi Fini bisa berkesempatan dapetin beasiswa itu, duh kenapa tiba-tiba gue jadi iri ya sama Fini?
enggak… enggak boleh gini…, gue enggak boleh punya
fikiran kaya gitu gue harus seneng dengan pencapaian yang di raih sahabat gue
dan sebaiknya lain waktu aja gue cerita tentang masalah gue, kayanya Fini lagi
seneng banget gue takut merusak suasana hati Fini (dalam hati ku)
Jam
pelajaran terus bergulir tidak satu pun pelajaran yang dapat masuk ke otak ku
tetapi berbeda dengan Fini dari pagi hingga jam pulang seperti ini, Fini masih
tetap semangat mengikuti jam pelajaran, ketika waktu nyaris menunjukan jam
pulang tiba-tiba ada seorang murid yang mengetuk pintu kelas dan pelajaran
sempat tertunda sesaat.
“Misi pak, maaf ganggu Sezheci percia dipanggil guru
tata usaha pak”
“Sezheci silahkan keluar”
Aku langsung terbelangga dan segera keluar kelas,
fikir ku untuk apa orang tata usaha memanggil ku pasti menanyakan bayaran bulan
kemarin dan sekarang.
“Misi bu, ibu panggil saya?”
”Duduk kamu”
”Duduk kamu”
Serasa ruangan ber-AC di TU menjadi sangat panas pasti
aku akan di ceramahi oleh bendahara sekolah apalagi di sekolah ku orang TU
sangat terkenal galak jika menagih uang SPP
“Kamu tahu apa alasan kamu di panggil?”
Caci hanya
mengangkat bahu menunjukan tidak tahu apa-apa karena apa yang dia fikirkan
hanya lah sebuah pengandaian saja dan ternyata tepat apa yang Caci bayangkan,
dirinya di panggil karena belum membayar SPP selama dua bulan.
“Kamu pura-pura lupa?
Sezheci kamu itu belum bayar SPP selama 2 bulan jangan pura-pura lupa!”
Sezheci kamu itu belum bayar SPP selama 2 bulan jangan pura-pura lupa!”
“Maaf bu, tante saya belum ada uang”
“Alah alesan lama paling juga uangnya kamu pake buat
jalan-jalan ke Mall
atau kamu pake
buat nonton”
”Astagfirulloh bu, saya enggak mungkin lakuin hal kaya gitu, kalau pun
”Astagfirulloh bu, saya enggak mungkin lakuin hal kaya gitu, kalau pun
uangnya udah
ada pasti langsung saya bayar”
”Ya udah secepatnya dong di lunasin sebentar lagi kan semesteran
”Ya udah secepatnya dong di lunasin sebentar lagi kan semesteran
kalau yang
ini aja kamu belum lunas gimana kamu mau lunasin
semesteran”
Tiba-tiba mata Caci berkaca-kaca dan nyaris air
matanya turun dengan nada sedih Caci berusaha memberikan pengertian pada
bendahara sekolah ini
“Iya bu saya tahu, secepatnya pasti akan saya lunasi”
”Ibu berharap itu semua bukan janji, sana kembali ke kelas”
”Ibu berharap itu semua bukan janji, sana kembali ke kelas”
Saat Caci
keluar dari ruang TU tiba-tiba ada Ben yang berdiri di balik pintu.
“Sezheci” Ben memanggil ku pasti dia telah mendengar
semua percakapan ku dengan bendahara sekolah dan pasti memanggil ku hanya ingin
mengejek atau mengolok-olok ku
“Ada
apa?”
“Sorry gue enggak sengaja denger pembicaraan loe sama bendahara”
”Terus kenapa?
”Terus kenapa?
loe mau ngejek
gue atau loe mau hina gue?” mata Caci semakin berkaca-kaca.
“Bukan gitu, dugaan loe salah gue sama sekali enggak
mau ngejek atau
mau menghina
loe”
”Terus apa???” Caci semakin jengkel
”Terus apa???” Caci semakin jengkel
“Gue bisa bantu loe”
”Bantu apa?”
”Bantu apa?”
Dari arah yang berlawanan tiba-tiba Edric datang dan
berjalan ke arah kami
“Emm… nanti aja gue jelasin, loe tunggu gue di halte
sekolah kalau loe
emang mau
tahu”
Saat aku
kembali ke kelas nyaris penghuni kelas telah sepi karena saat aku berbicara
dengan Ben, bel pulang telah berbunyi hanya Fikri dan Veda yang masih berada di
dalam kelas.
“Loe belum pulang Fik?”
”Gue tunggu loe Ci”
”Tunggu gue? terus Fini mana?”
”Sekarang setelah pulang Fini harus ikut jam tambahan buat lomba cerdas
”Gue tunggu loe Ci”
”Tunggu gue? terus Fini mana?”
”Sekarang setelah pulang Fini harus ikut jam tambahan buat lomba cerdas
cermatnya, loe
tadi kenapa di panggil TU?”
aku hanya tersenyum
aku hanya tersenyum
“Biasa lah Fik, yaudah yuk kita balik”
“Loe yakin enggak kenapa-napa?”
”Enggak apa-apa”
”Enggak apa-apa”
“Mau balik bareng enggak?”
Veda menyapa ku dan ini baru kali pertama setelah
kejadian saat itu rasanya ingin pulang bersama dan menceritakan semua hal yang
ku rasakan ini tapi aku teringat akan janji untuk menunggu Ben di halte
sekolah.
“Makasih, tapi loe duluan aja”
”Okeee” dan Veda pun berlalu
”Okeee” dan Veda pun berlalu
“Tumben loe, kenapa enggak bareng rumah kalian kan bertetangga?”
”Enggak apa-apa Fik gue ada urusan aja, yaudah gue duluan ya”
”Iya hati-hati Ci”
”Enggak apa-apa Fik gue ada urusan aja, yaudah gue duluan ya”
”Iya hati-hati Ci”
Nyaris lima
belas menit berlalu dan aku masih menunggu Ben di halte sekolah, aku berfikir
betapa bodohnya aku mau saja menggu Ben bisa saja dia hanya mempermainkan aku
dan berbohong atau dia akan datang dan membawa segerombolan teman-temanya untuk
mengejek ku, ketika aku ingin melangkahkan kaki ku dan ingin pulang tiba-tiba
sebuah Ninja merah berhenti di samping ku dan sesosok pria yang mengenakan helm
itu pun membukanya dan memangil nama ku
“Caci tunggu” dan Caci pun menoleh dan menghentikan
langkahnya
“Sorry gue telat, udah lama nunggunya?”
”Langsung aja dech, tadi mau ngomong apa?”
”Langsung aja dech, tadi mau ngomong apa?”
“Sabar dong jangan buru-buru gitu”
”Gue enggak punya banyak waktu”
”Okeee, tapi sebelumnya loe masih inget enggak punya hutang budi
”Gue enggak punya banyak waktu”
”Okeee, tapi sebelumnya loe masih inget enggak punya hutang budi
sama gue?”
“Iya gue lupa, soal loe minta ketemuan pas gue telat”
”Okeee, karena gue baik hati gue bakal maafin, dan soal yang tadi
”Okeee, karena gue baik hati gue bakal maafin, dan soal yang tadi
gue bisa bantu
loe”
”Bantu apa?”
”Loe pasti butuh uang kan buat lunasin SPP?
”Bantu apa?”
”Loe pasti butuh uang kan buat lunasin SPP?
dan gue punya
pekerjaan buat loe”
”Pekerjaan apa?
denger ya baik-baik walau gue butuh uang tapi gue enggak akan mau
”Pekerjaan apa?
denger ya baik-baik walau gue butuh uang tapi gue enggak akan mau
ngelakuin
pekerjaan yang enggak halal”
”Hey non, emang tampang gue keliatan bejat apa?
gue enggak mungkin kali ngejerumusin loe”
”Hey non, emang tampang gue keliatan bejat apa?
gue enggak mungkin kali ngejerumusin loe”
“Ya terus apa?”
”Pekerjaannya adalah jadi guru private, gampang kan?”
”Jadi guru private, buat siapa?”
”Buat gue lah”
”Pekerjaannya adalah jadi guru private, gampang kan?”
”Jadi guru private, buat siapa?”
”Buat gue lah”
“Buat loe????
Enggak
salah???”
”Ya enggak lah, mau enggak?”
”Privatenya dimana?”
”Ya di rumah gue setiap pulang sekolah”
”Di rumah loe???”
”Iya, gimana?”
”Gue enggak mau kalau cuma ada loe sama gue?”
”Heh oon, jangan GR dech, ya enggak mungkin lah cuma ada loe dan gue,
”Ya enggak lah, mau enggak?”
”Privatenya dimana?”
”Ya di rumah gue setiap pulang sekolah”
”Di rumah loe???”
”Iya, gimana?”
”Gue enggak mau kalau cuma ada loe sama gue?”
”Heh oon, jangan GR dech, ya enggak mungkin lah cuma ada loe dan gue,
dirumah gue
banyak pembantu kali dan ada kakak gue jadi jangan
berfikiran
negatif, mau enggak?”
“Tapi kenapa harus gue?
kayanya gue enggak bakat dech gue aja cuma peringkat dua setiap tahun,
kayanya gue enggak bakat dech gue aja cuma peringkat dua setiap tahun,
ada Fini yang
jago banget fisika dan peringkat satu lebih baik dia jangan
gue”
“Loe itu bener-bener ga bisa mikir apa, ngapain gue
tawarin dia jelas-jelas
yang lagi
butuh uang itu loe bukan dia”
“Tapi kenapa loe enggak les di luar aja yang lebih
bagus secara loe udah
kelas tiga
sekarang, nanti kalau enggak lulus gara-gara gue gimana?”
”Loe banyak mikir ya, ya gue pasti bakal les di tempat lain, loe itu cuma
”Loe banyak mikir ya, ya gue pasti bakal les di tempat lain, loe itu cuma
buat tambahan
pelajaran gue aja, karena setiap abis pulang les gue males
untuk ngulang
pelajaran”
”Tapi gue enggak bisa kasih jawaban sekarang”
”Ya udah loe fikirin lagi, jawaban loe gue tunggu besok, yang jelas gue
”Tapi gue enggak bisa kasih jawaban sekarang”
”Ya udah loe fikirin lagi, jawaban loe gue tunggu besok, yang jelas gue
cuma mau bantu
loe”
“Kok pulangnya sore banget teh”
Ima menyapa ku, ketika aku baru sampai rumah
“Iya tadi teteh abis belajar kelompok dulu” terpaksa
aku berbohong karena tidak mungkin aku ceritakan alasan ku yang sejujurnya
“Si kembar kemana Ma?”
”Lagi di mandiin sama ibu”
”Loh… Ibu udah pulang?”
”Lagi di mandiin sama ibu”
”Loh… Ibu udah pulang?”
“Iya teh”
“Eh… udah pulang Ci” tante Bebie keluar dari kamar
mandi dengan mengendong Criski yang masih di selimuti handuk tebal karena baru
saja selesai mandi sore.
“Kok sore banget?”
”Iya maaf tante, Caci telat pulangnya”
”Enggak apa-apa, sekarang kamu mandi abis itu makan ya”
Caci pun memasuki kamarnya yang ada di lantai dua, ketika matahari sore yang menyilaukan menyinari wajahnya dari jendela kamarnya yang terletak di lantai dua itu, atau tepatnya sangat jelas menghadap kamar Veda dan halaman rumah Veda, Caci melihat pria dingin yang penuh kejutan di antara sinar-sinar matahari sore yang menyilaukan, pria itu mengenakan kaos putih dengan celana jeans pendek dan memainkan gitarnya, bisa sedikit di dengar petikan gitarnya namun tidak jelas lagu apa yang tengah di mainkan.
”Iya maaf tante, Caci telat pulangnya”
”Enggak apa-apa, sekarang kamu mandi abis itu makan ya”
Caci pun memasuki kamarnya yang ada di lantai dua, ketika matahari sore yang menyilaukan menyinari wajahnya dari jendela kamarnya yang terletak di lantai dua itu, atau tepatnya sangat jelas menghadap kamar Veda dan halaman rumah Veda, Caci melihat pria dingin yang penuh kejutan di antara sinar-sinar matahari sore yang menyilaukan, pria itu mengenakan kaos putih dengan celana jeans pendek dan memainkan gitarnya, bisa sedikit di dengar petikan gitarnya namun tidak jelas lagu apa yang tengah di mainkan.
Rasanya aku
sangat merindukan pria yang selalu senang mengajak ku untuk pulang bahkan
selalu mendengarkan celotehan ku dan membela ku setiap ada orang-orang yang
dapat membahayakan ku tetapi sayang pria itu hingga saat ini belum juga ada
kabar bahkan sulit untuk di hubungi, entah mengapa jika segala masalah di
ceritakan oleh Ado serasa lebih tenang dan ringan karena Ado selalu memiliki
seribu jalan keluar tetapi aku tidak mungkin menceritakan masalah ku saat ini
karena hingga saat ini Ado belum juga bisa masuk kelas, Fini sangat sibuk
dengan perlombaan Fisika nyaris waktunya hanya di habiskan di perpustakaan.
Tiba-tiba aku terfikir akan sahabat ku yang satu lagi
siapa lagi kalau bukan Fikri walau Fikri cuek pasti setidaknya aku masih memiliki
teman bertukar fikiran, aku melihat tas Fikri telah ada di mejanya, kalau sudah
datang tetapi tidak ada di kelas pasti Fikri tengah di kantin
“Bang satu mangkok lagi ya buburnya”
“Ya ampun laper apa rakus, ini udah mangkok yang ke lima?”
”Biarin yang penting saya bayar”
”Biarin yang penting saya bayar”
Dan tepat dugaan ku Fikri tengah menikmati bubur di
kantin dan aku terkejut ketika sampai di meja kantin yang di duduki Fikri
karena Fikri telah menghabisi empat mangkuk bubur ayam pagi ini, aku hanya
dapat menggeleng-geleng kepala.
“Gila enggak makan berapa hari loe?”
”Hahaha, bisa aja loe Ci, ini persediaan sampe nanti siang”
”Hahaha, bisa aja loe Ci, ini persediaan sampe nanti siang”
“Bisa aja loe, paling juga jam sembilan udah laper
lagi loe”
”Hahahaaa, eh tumben loe pagi-pagi nyamperin gue di kantin ada apa?
”Hahahaaa, eh tumben loe pagi-pagi nyamperin gue di kantin ada apa?
mau ikutan
sarapan juga?”
”Enggak Fik gue mau tanya pendapat loe”
”Enggak Fik gue mau tanya pendapat loe”
Pembicaraan kami terpotong karena bubur pesanan Fikri
datang atau tepatnya mangkuk ke lima.
“Loe mau tanya pendapat gue apa Ci?”
Dengan gaya
tak pedulinya Fikri sangat menikmati bubur ayamnya tanpa peduli sekelilingnya
menatapnya dengan tatapan rakus atau anak kelaparan.
“Menurut loe Fik kalau ada orang yang enggak deket
sama loe, nolongin loe
itu maksudnya
apa?”
”Ya mungkin dia beneran mau nolong loe, masa orang berbuat baik loe tolak
”Ya mungkin dia beneran mau nolong loe, masa orang berbuat baik loe tolak
dosa dong
namanya kalau gitu”
“Tapi gue rada ragu Fik karena enggak deket sama orang
itu”
”Kalau pekerjaan loe lakuin dengan keraguan sebaiknya jangan dari pada
”Kalau pekerjaan loe lakuin dengan keraguan sebaiknya jangan dari pada
loe enggak
ikhlas”
”Iya sih… tapi gue butuh bantuan dia, karena gue enggak tahu harus minta
”Iya sih… tapi gue butuh bantuan dia, karena gue enggak tahu harus minta
tolong sama
siapa, yang bikin gue ragu karena gue selama ini enggak
deket sama
orang itu”
”Ci apa sih maksud loe, langsung aja dech ke topik pembicaraannya
”Ci apa sih maksud loe, langsung aja dech ke topik pembicaraannya
jangan di bawa
muter-muter, bingung gue jadinya”
“Tapi gue belum bisa cerita sekarang Fik”
”Ya udah enggak apa-apa kalau loe belum bisa cerita sekarang, yang
”Ya udah enggak apa-apa kalau loe belum bisa cerita sekarang, yang
penting lakuin
aja apa kata hati loe dan menurut gue kerjaan apa aja
sah-sah aja
selama itu semua halal”
“Iya, thanks
ya Fik”
***
“Kalau pulang naik apa?”
”Kopaja”
”Ya ampun memang enggak panas ya, kan desek-desekan gitu”
”Kopaja”
”Ya ampun memang enggak panas ya, kan desek-desekan gitu”
Sebetulnya aku sangat muak dengan pemandangan seperti ini, siapa lagi
jika bukan cacing kepanasan yang sedang menggoda Veda, nama Veda semakin
terkenal saja di mata para wanita setelah istirahat saja ada seorang kakak
kelas yang datang dari kelas 12 IPS yang menantarkan bekal makanannya untuk
Veda dan sekarang Sisi yang tengah merayu pantas Veda sering di tatap sinis
dengan Ben dan kawan-kawan karena mungkin Ben merasa tersainggi, tetapi bukan
Veda namanya jika tidak cuek dan terlihat tidak tertarik sedikit pun pada
wanita-wanita yang kepanasan tak jelas jika berada di dekatnya. Ketika aku
berjalan semakin dekat dengan bangku Veda tingkah Sisi semakin tidak karuan
terlihat sekali pamer dan duduknya pun semakin dekat dengan Veda, entah mengapa
aku jadi merasa tidak suka melihat Sisi dekat-dekat dengan Veda apalagi sedekat
itu dan rasanya aku ingin menjambak rambut panjang Sisi.
“Oya nanti pulangnya enggak usah naik kopaja, kita
pulang bareng aja ya?”
Aku
semakin jijik melihat tingkah Sisi yang bermanja-manja dengan Veda, malah
sampai mengajak pulang bareng, tetapi ada apa dengan aku ini mengapa aku sangat
kesal dan emosi melihat Veda bersama Sisi, aku ingin segera duduk di kursi ku
namun tiba-tiba Ben memanggil ku dari luar pintu kelas, aku yang ingin duduk
pun sampai tidak jadi dan justru malah berdiri tepat diantara bangku Veda dan
Sisi
“Caci” Ben berlari kecil dan menghampiri Caci,
tiba-tiba Sisi bangkit dari kursinya dan menghampiri Ben.
“Ada
perlu apa Ben? Mau cari aku ya?”
”Enggak siapa yang mau cari loe, gue cuma ada perlu sama Caci”
”Apa???
”Enggak siapa yang mau cari loe, gue cuma ada perlu sama Caci”
”Apa???
enggak salah???
udah sakit kali
ya, masa ke kelas gue yang di cari Caci bukan gue?”
“Sorry beep
tapi perlunya sama Caci, Caci jangan lupa ya nanti pulang
sekolah gue
tunggu di parkiran, jangan sampe enggak dateng ya”
“Sejak kapan loe punya urusan sama anak bermodal
beasiswa ini?”
Aku sedikit emosi ketika Sisi meneriaki aku bermodal
beasiswa namun untung saja aku dapat meredamnya
“Hey jangan teriak-teriak kaya gitu”
”Ya ampun Ben jahat banget sih masa lebih belain dia di banding gue”
”Ya ampun Ben jahat banget sih masa lebih belain dia di banding gue”
“Enggak gitu kok”
”Buktinya perlunya sama Caci?”
”Abis kalau perlunya sama loe, gue takut ganggu kesibukan loe sama pacar
”Buktinya perlunya sama Caci?”
”Abis kalau perlunya sama loe, gue takut ganggu kesibukan loe sama pacar
baru loe”
”Hhe, oya lupa kenalin Ben ini yang namanya Veda”
”Oh Veda yang anak baru itu?”
”Hhe, oya lupa kenalin Ben ini yang namanya Veda”
”Oh Veda yang anak baru itu?”
“Iya dan Veda pasti loe tahu kan dia siapa, ini Ben”
“Kenalin gue Ben, Beni
Putra Julius”
Dengan sombong dan penuh percaya diri, Ben mengulurkan
tangannya dan memperkenalkan dirinya di depan Veda dengan embel-embel nama
ayahnya di belakang namanya namun Veda hanya terdiam, tetapi raut wajahnya
berubah saat mendengar nama lengkap Ben, wajah Veda menjadi pucat pasi seperti
saat perlombaan puisi, ketika Veda tidak dapat melanjutkan bait puisinya namun
yang berbeda adalah mata Veda, Veda menatap Ben dengan tatapan penuh kebencian
dan Veda pun masih terdiam dan tidak menyambut jabat tangan Ben.
“Oh jadi ini touh cowok yang lagi jadi idola disekolah
kita?
ternyata baru di depan gue aja udah enggak punya nyali”
ternyata baru di depan gue aja udah enggak punya nyali”
Teng…teng….teng…. dan bel istirahat pun berbunyi.
“Okeee… karena udah masuk gue harus cabut dulu ya”
Tiba-tiba sebelum keluar dari kelas ku Ben berteriak
begitu kencang dan sontak anak-anak yang baru masuk pun menjadi melihat ke arah
aku dan Ben.
“Caci jangan lupa pulang sekolah, gue tunggu jawaban
loe!!!”
Sontak para
wanita menjadi membicara kan ku, karena ini adalah hal yang langka dan jarang
terjadi seorang Ben mau berbicara dan memanggil nama ku, bukan hanya mereka
yang terkejut aku juga terkejut pasti mereka mengira aku dan Ben ada apa-apa,
untung saja tidak ada Fini pasti jika ada Fini, dia akan mengira aku dan Ben
apa-apa, tetapi aku harus menjelaskan semuanya agar nantinya tidak terjadi
salah paham.
“Ci… Caci?” Fini mengagetkan ku
“Iya Fin?”
”Loh kok bengong?
”Loh kok bengong?
eh Ci tadi gue
lihat Ben, dia dari kelas kita ya?”
“Iya”
”Habis ketemu Sisi ya?”
”Gue mau ngomong sama loe Fin”
”Habis ketemu Sisi ya?”
”Gue mau ngomong sama loe Fin”
“Mau ngomomg apa?
tapi Ci gue
sibuk banget, ini aja mau balik lagi ke perpus
loe tahu kan
perlombaan gue tinggal satu minggu lagi”
”Tapi setelah ini ada jam Matematika”
”Hari ini guru Matematika kita enggak masuk dan tadi gue juga udah
”Tapi setelah ini ada jam Matematika”
”Hari ini guru Matematika kita enggak masuk dan tadi gue juga udah
izin sama guru
piket gue mau ngumpul dan ngebahas lebih banyak lagi
soal-soal
Fisika sama anak-anak Club Fisika, Oya tadi loe mau cerita apa?”
“Enggak jadi dech, kayanya loe sibuk banget”
“Ya udah Ci nanti pulang sekolah gue telpon, eh enggak
dech nanti malem
aja, tapi
nanti malem, gue pulang lesnya malem, besok pagi aja dech
telponnya atau
enggak pas gue ada waktu pasti gue bakal telpon loe,
okeee”
Bagaimana
aku ingin menceritakan semuanya, lima
belas menit saja Fini tidak ada waktu untuk mendengarkan ku.
Ketika bel pulang telah berbunyi Ben telah menunggu ku
di parkiran di atas motor besarnya aku memang sengaja lebih lama untuk
menghampiri Ben, aku tidak ingin saja banyak mata memandang dan berfikiran macam-macam
tentang aku dan Ben.
“Kok lama turunnya?”
”Maaf ka tadi ada urusan bentar”
”Gimana?
”Maaf ka tadi ada urusan bentar”
”Gimana?
apa keputusan
loe?”
Caci terdiam rasanya keputusan yang akan diambilnya sangatlah berat dan beresiko.
Caci terdiam rasanya keputusan yang akan diambilnya sangatlah berat dan beresiko.
“Tapi selain loe mau bantu gue, alasan apa yang bikin
loe jadiin gue sebagai
guru les
sementara loe?”
“Hello… satu sekolah tahu kali, loe itu termasuk anak
yang di calonin
Kepsek buat
dapetin Beasiswa, alasan apa coba yang bikin pihak sekolah
milih loe kalau
loe enggak pinter dan loe itu selalu masuk tiga besarkan dari
kelas satu,
jadi gue juga enggak sembarangan milih orang”
”Tapi gue enggak yakin sama kemampuan gue”
”Tapi gue enggak yakin sama kemampuan gue”
“Ya udah jangan di anggap tegang juga, kalau nanti ada
soal-soal yang loe
enggak bisa
kita selesain bareng-bareng aja, gue maklum kok loe itu kan
adek kelas
gue, jadi apa keputusan loe?”
Caci terdiam dan berdoa dalam hati apa saja keputusan yang dia ambil semoga itu adalah keputusan yang terbaik.
Caci terdiam dan berdoa dalam hati apa saja keputusan yang dia ambil semoga itu adalah keputusan yang terbaik.
“Emm… ya udah gue mau coba tapi kalau dalam waktu dua
minggu loe
enggak ada
kemajuan gimana?”
”Ya enggak apa-apa, tapi kalau dalam dua minggu gue ada kemajuan
”Ya enggak apa-apa, tapi kalau dalam dua minggu gue ada kemajuan
giman?”
“Gue enggak tahu, itu seterah loe”
“Okeee… kita buat kesepakatan kalau dalam dua minggu
ke depan
gue ngalamin
kemajuan gue bakal kontrak loe jadi guru les gue
selama satu
bulan dan gue bakal bayar sekali pertemuan satu juta
gimana?”
“Haaa satu juta sekali pertemuan????”
”Iya, kenapa kurang memang loe mau tambah berapa?”
”Bu…bukan… itu kebanyakan, memang kita satu minggu mau berapa kali
”Iya, kenapa kurang memang loe mau tambah berapa?”
”Bu…bukan… itu kebanyakan, memang kita satu minggu mau berapa kali
pertemuan?”
“Seterah loe, kalau gue sih pengennya setiap hari biar
gue makin cepet
pinternya”
“Tapi loe yakin????”
”Kenapa memang?
”Kenapa memang?
jarang kan ada orang yang
semangat belajar?”
”Tapi gue ngerasa bayaran gue terlalu banyak”
”Terus loe maunya berapa?”
Caci terdiam dan Ben berusaha mencari jalan keluar
”Tapi gue ngerasa bayaran gue terlalu banyak”
”Terus loe maunya berapa?”
Caci terdiam dan Ben berusaha mencari jalan keluar
“Em… ya udah kita bikin pertemuan setiap minggu tiga
kali dalam satu
minggu tapi
kalau gue ada tugas dan loe gue minta tolong harus mau ya?”
“Ya udah kalau gitu, tapi….”
“Apa lagi sih Caci????”
”Masalah izin gimana?
”Masalah izin gimana?
apa kita
enggak perlu izin dulu sama sekolah?”
”Buat apa izin ke sekolah?”
”Buat apa izin ke sekolah?”
“Kalau enggak izin, alasan gue sama orang rumah
gimana?”
”Ya udah masalah itu semua biar gue yang atur, pokoknya loe udah tahu
”Ya udah masalah itu semua biar gue yang atur, pokoknya loe udah tahu
beres”
“Oke dech kalau gitu”
”terus kapan kita mulai?”
”terus kapan kita mulai?”
“Seterah loe aja ka”
”Ya udah besok kita mulai”
”Oke”
”Ya udah besok kita mulai”
”Oke”
“Oya, loe enggak usah panggil gue kakak, loe enggak
usah kaku gitu lagi
sama gue,
panggil Ben aja Ci, key”
Caci
tersenyum dan dalam hatinya terus memohon semoga keputusan untuk membantu keuangan
tante dan om-nya adalah pilihan tepat dan semoga ini bukan keputusan yang
salah.
***
“Kok lama banget sih”
Aku sengaja lambat mengampiri Ben di halte sekolah,
karena aku menunggu seluruh anak-anak pulang atau tepatnya menunggu seluruh
penghuni sekolah sepi, karena aku tidak ingin ada satu orang pun tahu bahwa aku
menjadi guru private untuk Ben terlebih lagi jka ada yang melihat aku pulang
dengan Ben aku takut mereka akan berfikiran macam-macam
“Maaf ka gue telat”
”Tukan lupa lagi ya, kan udah gue bilang gak usah panggil gue kakak”
”Maaf Ben”
”Tukan lupa lagi ya, kan udah gue bilang gak usah panggil gue kakak”
”Maaf Ben”
“Okee, ayo naik”
Aku pun
menuruti Ben untuk naik motornya dan melaju menuju rumahnya bahkan aku tidak
tahu jalan menuju rumahnya karena jalan ini menurut ku sedikit asing, Ben
sedikit mengebut tetapi dapat aku siasati antara tubuhnya dan tubuh ku dengan
tas sekolah ku, dan lima belas menit kemudian aku sampai di rumah super mewah
dan sangat-sangat besar, bahkan pintu gerbangnya dapat otomatis terbuka, aku
sungguh takjub melihat kemegahan yang terjadi di depan rumahnya Ben, ini baru
saja halaman depan tetapi kau sudah di buat terkejut.
“Ci… Caci…”
“I…iiiyyyaaa…”
“Kok bengong, ayo masuk”
Aku mengekor di belakang Ben dan mengikuti langkah Ben
dan ketika seorang pelayan membukakan pintu untuk kami lagi-lagi aku di buat
terkejut bahkan terkejut ku melebihi saat aku di ajak Fini main ke rumahnya,
aku fikir rumah Fini yang paling besar ternyata ada lagi rumah Ben yang bagai
istana malah melebihi sebuah istana, ruang tamunya sangat besar, interiornya
terlihat seperti interior bergaya Eropa bahkan ada lampu kristal yang
menggantung di atas langit-langit yang sangat indah, aku dapat menyimpulkan
bahwa ruangan ini berinterior khas gaya Eropa karena aku sering melihat acara
televisi yang membahas rumah orang-orang terkaya di dunia dan rumah Ben dapat
masuk acara televisi yang sering aku lihat.
“Selamat siang tuan muda” Seorang pelayan yang
membukakan pintu untuk kami menyapa Ben, dan wanita setengah baya ini
melemparkan senyuman untuk ku.
“Siang ini tuan ingin di buatkan makan siang apa?”
”Nanti aja aku pesan dari atas, sekarang jangan ada yang ganggu aku,
”Nanti aja aku pesan dari atas, sekarang jangan ada yang ganggu aku,
karena aku
pengen fokus belajar di kamar”
“Baik tuan”
“Oya satu lagi, kalau ada yang telepon atau cari aku,
bilang aku lagi enggak
di rumah”
“Baik tuan”
Aku kembali mengikuti langkah Ben menaiki tangga
rumahnya menuju kamarnya yang ada di lantai dua, dan Ben mengeluarkan kunci
kamarnya dari saku celananya, tiba-tiba fikiran dan perasaan ku mulai tidak
enak, jika aku berada dalam kamar hanya berdua dengan Ben dan tidak ada satu
orang pun yang menganggu kami, bagaimana jika Ben macam-macam dengan ku, aku
saja belum mengenal sepenuhnya masa aku sudah di ajak ke kamarnya apa nanti
anggapan orang atau para pelayan di rumah ini, tidak aku harus mencegah Ben.
“Ben tunggu…” Ben menghentikan tangannya memutar kunci
kamarnya
“Ada
apa Ci???”
“Gue rasa kita belajar di ruang tengah aja, gue enggak
mau belajar di kamar
loe”
“Loh kenapa?”
“Gue enggak mau aja”
“Kamar gue nyaman banget kok dan enggak berisik kalau
di pake buat
belajar”
“Ya tetep aja gue enggak mau, gue enggak mau kita cuma
ber dua aja
dalam kamar
apa lagi gue sama loe bukan muhrim, apa nanti kata orang”
mendengar penjelasan ku justru Ben malah tertawa sangat
besar seolah-olah ada yang sangat lucu mengocok perutnya.
“Heh… kamar gue beda sama kamar biasa, mending loe
masuk dulu dan
lihat dalamnya
dan loe rasain nyaman atau enggak, kalau enggak nyaman
boleh dech kita
pindah”
Ben pun membuka kamarnya dari depan kamarnya terlihat
biasa dan sama seperti kamar tidur pada umumnya tetapi dalamnya, ya tuhan aku
terkejut kembali dan rasanya ingin pingsan berdiri, melihat kamar Ben yang
super luas karena kamarnya terdiri dari tiga ruangan, ruang pertama berisi sofa
dan televisi, radio tape, DVD dan perlengkapan sound sysitem lainnya bahkan di
perlengkap juga dengan fasilitas karaokean, ruang ke dua berisi dengan tempat
tidur yang empuk dan nyaman dan fasilitas komputer yang lengkap dan notebook
kecil serta ruang ke tiga baru kamar mandi, aku rasa jika aku yang menghuni kamar
tidur dengan segala fasilitas senyaman dan selengkap ini aku yakin aku tidak
akan keluar dari kamar ku seharian karena luas kamar ini 5 kali lipat luasnya
dari kamar tidur ku, bahkan luas kamar ku lebih kecil di banding dengan luas
kamar mandi yang ada di kamar ini.
“Hey kok diem aja sih?”
Ben memanggil ku seolah-olah Ben tahu aku terkejut
melihat kamarnya yang super luas dan besar ini.
“Kenapa kaget ya ngeliat kamar gue?”
”Iya kamar loe luas banget mungkin kalau gue yang tinggal di kamar ini
”Iya kamar loe luas banget mungkin kalau gue yang tinggal di kamar ini
seharian gue
enggak akan keluar kali dari kamar ini”
”hhheee, banyak yang bilang gitu”
”hhheee, banyak yang bilang gitu”
“Oya loe hobi karaoke ya?”
”Enggak juga, itu punya kak Anes”
”Enggak juga, itu punya kak Anes”
“Oh… loe punya kakak”
”Iya lah, masa loe enggak kenal kakak gue?”
”Emang siapa kakak loe?”
”Ya ampun loe beneran enggak kenal?”
”Enggak”
”Iya lah, masa loe enggak kenal kakak gue?”
”Emang siapa kakak loe?”
”Ya ampun loe beneran enggak kenal?”
”Enggak”
“Punya TV enggak sih di rumah”
”Hhhaaa, ya punya lah”
”Masa loe enggak kenal sama Anestasya Putri Julius”
”Hhhaaa, ya punya lah”
”Masa loe enggak kenal sama Anestasya Putri Julius”
“Yang model itu ya????”
”Iya…”
”Iya…”
“Serius dia kakak loe????”
”Iya, masa gue bohong” Tiba-tiba Ben tertawa geli kepada ku
”Iya, masa gue bohong” Tiba-tiba Ben tertawa geli kepada ku
“Kok ketawa emang ada yang lucu???”
”Loe yang lucu dan bikin gue ketawa”
”Loe yang lucu dan bikin gue ketawa”
“Gue kan
enggak ngelawak” tiba-tiba Ben mengusap lembut rambut ku sambil tertawa kecil
dan tersenyum ke arah ku dan aku pun merasa kikuk dan segera menjauhkan kepala
ku dengan tangan Ben.
“Kapan kita mau mulai belajar?”
“Ya udah tunggu bentar gue ganti baju dulu ya”
”Ben pintunya biarin ke buka ya?”
”Ben pintunya biarin ke buka ya?”
“Oh ya udah” Seolah Ben mengerti bahwa aku sedikit
takut hanya ber dua bersamanya di dalam kamarnya yang sangat luas.
Dan pelajaran pertama aku mulai yaitu pelajaran
biologi, aku hanya tinggal mengulang pelajaran yang telah di ajarkan di
tempatnya les dan pelajaran di sekolah, aku melihat buku-buku tugasnya ternyata
nilai-nilainya tidak seburuk yang aku bayangkan padahal Ben sangat terkenal brutal
dan suka bikin onar dan aku juga tidak mendapatkan kesulitan untuk memberikan
materi karena Ben sangat cepat tangkap, sebetulnya preman sekolah ini pintar
dan daya tangkapnya sangat cepat hanya saja sering membuat masalah dan malas
sehingga Ben terlihat sedikit bodoh tetapi sebetulnya dia tidak sebodoh yang
aku bayangkan.
“Laper enggak?” Ben bertanya kepada ku yang tengah
membaca buku-buku tugasnya.
“Kenapa loe laper?”
“Iya, makan dulu yuk nanti lanjutin lagi”
“Terserah loe aja”
“Loe mau pesen apa?”
“Terserah loe”
“Kok dari tadi terserah terus?
kalau gue lagi
pengen nasi goreng, spageti, dan orange jus, loe mau
sama juga?” aku
terdiam
“Ya udah gue samain aja ya?” Aku hanya menggoyangkan
kepala ku ke atas ke bawah.
Dan Ben menekan tombol putih kecil di sampingnya dan
memesan makanan yang tadi ia inginkan, sangat praktis di kamar ini bisa memesan
makan langsung dari kamar tanpa harus repot turun ke dapur atau
berteriar-teriak, jika aku seperti Ben mungkin aku bisa gemuk dengan lemak
menumpuk karena segalanya di rumah ini serba praktis dan tidak membuang-buang
energi.
***
“Caci kamu dari mana saja, jam segini baru pulang???”
“Maaf tante Caci ada jam tambahan di sekolah”
“Pantas saja akhir-akhir ini pulang sekolang selalu
telat”
“Iya maaf tante”
“Ya sudah setelah makan dan mandi kamu tolong jemput
Ima di tempat les-
nya ya?”
“Iya tan”
Maaf tante
untuk saat ini aku belum dapat mengatakan yang sejujurnya kepada tante, aku
terus berfikir bagaimana memberitahukan tante akan pekerjaan ku menjadi guru private
Ben.
Jika hari ini aku berbohong pasti aku akan selamanya
berbohong demi menutupi kebohongan ku di hari ini dan hari-hari selanjutnya.
Jam tangan ku menunjukan tepat pukul 16.30 dan aku pun
mulai berjalan untuk menjemput Ima di tempat les, ketika sampai di temapat
les-nya Ima aku melihat Veda tengah duduk di ruang tunggu yang banyak di huni
para baby sister atau orang tua dari para anak-anak mereka yang les di tempat
ini, terlihat betul ekspresi kaget dan sikap kikuk dari veda yang melihat
kedatangan Caci.
Caci berusaha menyapa Veda dengan ramah namun tidak
seperti biasa, Veda yang selalu dingin kali ini membalas sapaan Caci dengan
ramah.
“Sudah dari tadi di sini?”
”Iya, loe apa kabar?”
Aku sedikit tersentak kaget dengan pertanyaan Veda, aku rasa pertanyaan ini tidak seharusnya di jawab, bagaimana bisa Veda bertanya seperti itu, karena setiap hari di sekolah Veda sudah melihat ku apalagi setiap detik dapat bertemu di rumah.
”Iya, loe apa kabar?”
Aku sedikit tersentak kaget dengan pertanyaan Veda, aku rasa pertanyaan ini tidak seharusnya di jawab, bagaimana bisa Veda bertanya seperti itu, karena setiap hari di sekolah Veda sudah melihat ku apalagi setiap detik dapat bertemu di rumah.
“Baik, tapi kenapa loe nanya tentang kabar gue?”
”Memang salah?”
”Memang salah?”
“Iya enggak salah, tapi kan di sekolah dan di rumah kita sudah
sering
ketemu dan
seperti yang loe lihat sekarang gue baik-baik aja”
“Iya gue tahu itu kok, gue nanya kabar loe cuma mau
mastiin aja kabar loe
dari loe
sendiri, karena sudah lama juga kita enggak pulang bareng”
“Oh… loe kangen ya, karena sudah lama enggak pulang
bareng gue?”
“Heh enggak usah ke PD-an gue malah seneng enggak
pulang bareng loe,
baru di tanya
gitu aja sudah ke GR-an”
Tidak
terasa sudah tiga minggu berjalan, dan rahasia ini hanya aku dan Ben yang tahu,
tante ku sudah mengerti bahwa aku memiliki jam tambahan, tetapi tante ku tidak
pernah bertanya apa dan dimana jam tambahan itu berlangsung, namun aku merasa
jauh dengan para sahabat ku, Fini masih sangat sibuk dengan perlombaan fisika,
Ado juga sama sibuknya dengan latihan futsal dan kegiatan keagamaan di sekolah
ku.
“Haahhh….” Fikri menarik nafas
“Loe kenapa Fik?”
”Gue sangat-sangat bosan”
”Gue sangat-sangat bosan”
“Bosan kenapa?”
”Coba aja loe fikir dua jam terakhir ini kosong, Fini sibuk persiapan lomba
”Coba aja loe fikir dua jam terakhir ini kosong, Fini sibuk persiapan lomba
Fisika, eh
sekarang di tambah lagi Ado
sok sibuk”
“Udah Fik harap maklum aja, kan masih ada gue”
“Loe???
loe juga mulai
enggak asik Ci, sekarang kalau pulang main ngilang enggak
jelas”
“Maaf dech Fik”
“Memang Cafe om loe lagi rame terus ya?”
Maaf Fik gue enggak bisa jelasin alasannya sekarang gue yakin loe semua enggak akan setuju dengan keputusan yang gue ambil, tapi gue terpaksa lakuin ini semua.
Maaf Fik gue enggak bisa jelasin alasannya sekarang gue yakin loe semua enggak akan setuju dengan keputusan yang gue ambil, tapi gue terpaksa lakuin ini semua.
“Caci pulang bareng yuk?”
Ado mengajak Caci pulang ketika bel pulang sudah berbunyi
“Maaf Ado, gue enggak bisa”
”Kenapa Ci?”
”Kenapa Ci?”
“Gue mau mampir ke Cafe”
“Yaudah gue anterin aja, bukannya dari sekolah lebih
deket ke Cafe
om loe?”
”Tapi Do gue mau mampir ke mini market belanja kebutuhan Cafe”
”Tapi Do gue mau mampir ke mini market belanja kebutuhan Cafe”
“Yaudah gue anterin aja ya?”
“Tapi ada kebutuhan wanita yang mau gue beli, gue malu
kalau belinya
sama cowok,
sorry banget ya do”
“Oke kalau itu alasan loe lain waktu aja dech”
“Iyaaa… kali ini maaf banget ya Do”
“Enggak apa-apa kok Ci, gue cabut duluan ya, kalau ada
apa-apa
telepon gue
ya”
Maaf Do gue
bohong lagi, sama loe dan Fikri tapi gue janji secepatnya akan cerita sama loe
semua.
Ketika Caci
tenggah menunggu Ben di halte ternyata ada Veda yang belum pulang dan masih
menunggu kendaraan umum.
“Lagi tunggu angkot ya?” Caci bertanya kepada Veda
yang tengah serius membaca buku di halte yang sepi.
Dengan sok seriusnya membaca buku tanpa menghiraukan
Caci, justru Veda hanya menjawab
“Loe ngomong sama siapa???”
”Sama buku yang loe baca!”
”Sama buku yang loe baca!”
Dengan gaya so-cool Veda tidak
menghiraukan Caci dan terus membaca seolah-olah buku yang tengah di bacanya
lebih menarik di bandingkan seorang wanita berambut panjang yang tengah berdiri
di hadapannya.
“Vedaaaaaaaaaaaa……….!”
Caci berteriak kencang dan tepat di samping gendang
telinga Veda, dan membuat pria itu memperhatikan wanita yang berteriak di
hadapannya.
“Mau loe apa sih?
selalu aja ganggu gue”
“Heh… loe duluan yang nyolot gue kan ngomong sama loe kenapa
di cuekin???”
“Heh… sejak kapan loe ngomong sama gue?
tadikan loe
bilang ngomomg sama buku gue, ya udah ngomomg
aja nih sama
buku gue!!!”
“Sumpah ya loe itu cowok paling nyebelin yang pernah
gue temuin”
Ketika
kami tengah bertengkar tiba-tiba sebuah mobil berhenti di hadapan kami dan
seorang pria yang mengendarai mobil berwarna silver itu memunculkan kepalanya
dari kaca mobil miliknya , dan sepertinya aku mengenali pria yang mengendarai
mobil itu dan ternyata pria itu adalah Gilang sahabatnya Veda yang sempat di
kenalkan kepada ku ketika mengikuti perlombaan puisi dibalai kesenian, dan dari
raut Gilang sangat terlihat bingung melihat aku dan Veda bertengkar serta
berteriak-teriak, Veda pun langsung pergi menaiki mobil Gilang dengan tatapan
tajam kepada Caci dan melesat entah kemana meninggalkan Caci di halte.
“Caci kita mau belajar di sini atau di kamar?”
“Emmm… di sini aja Ben”
“Oke, sambil tunggu bibi buat minuman gue ganti baju
dulu ya”
Caci duduk
seorang diri di ruang tamu yamg memiliki ukuran sangat luas, bahkan lebih luas
dua kali lipat di banding ruang tamunya,
Caci melihat-lihat pajangan serta lukisan-lukisan yang
terpajang di dinding rumah Ben, serta pernak-pernik lampu yang terlihat mahal
dan antik.
Aku merundukkan tubuhku dan melihat satu per satu
foto-foto yang terpajang di ruangan ini dan terlihat foto Ben yang sangat mesra
dan dekat dengan seorang wanita yang wajahnya begitu familiyar,
Caci pun memmperhatikan wajah wanita cantik yang
berpose dengan Ben di sejumlah foto, tiba-tiba ada yang menepuk pundak Caci.
“Kamu temenya Ben ya?”
“I…iyaaa…” Caci terbata-bata
“Maaf aku enggak sopan lihat-lihat foto ini”
”Enggak apa-apa, aku Anestasya Putri Julius”
”Enggak apa-apa, aku Anestasya Putri Julius”
Wanita itu mengulurkan
tanganya dan Caci menyambut hangat jabat tangan itu dan aku teringat akan nama
itu, ternyata wanita itu adalah seorang bintang model pantas saja wajahnya
tidak begitu asing.
“Sezheci percia, kakak model yang sering muncul di televisi
kan?”
“Tidak terlalu sering juga kok” suara lembut itu
merendahkan hati
“Kamu Caci kan?”
“Loh kok kakak tahu nama panggilan aku?”
”Ben sering cerita tentang kamu”
”Tentang aku???”
”Tentang aku???”
“Iya, apa kamu sedikit kaget melihat foto-foto ini?”
“Iya, sepertinya kakak dan Ben begitu dekat dan akrab,
tapi yang aku
binggung Ben
sering cerita apa tentang aku?”
Tiba-tiba
obrolan kami terhenti oleh kedatangan ben yang telah berganti pakaian dan
membawa segelas jus.
“Hayo lagi ngomongin aku ya?”
“GR kamu de”
“hehe, oy Caci ini di minum dulu”
“Makasih Ben”
“Oya caci kamu masih inget enggak pertemuan sama kakak
pertama kali?”
“Maaf kak memang sebelumnya kita pernah ketemu ya?”
“Itu loh Ci loe inget enggak yang beberapa waktu lalu
ada gue pas makan
di cafe, inget
gak?”
Caci
berusaha mengingat-ingat dan kini Caci mulai mengingatnya, Anes itu adalah
wanita yang datang ke Cafenya dengan dandanan sedikit aneh yang mengenakan long
dress dengan syal di leher dan kaca mata hitam.
“Iya sekarang aku inget!
kakak itu yang
waktu itu makan di cafe ya?”
“Iya, oya Ben tadi Davi telepon kakak katanya PSP
pesenan kamu yang
paling baru
udah ada, kamu suruh ambil sekarang di lokasi syutingnya”
“Sekarang?”
“Iya”
“Tapi kak… aku”
“Sudah enggak apa-apa, biar kakak yang neminin Caci
ngobrol”
Akhirnya
Ben pun pergi meninggalkan aku hanya dengan kakaknya serta pelajaran hari ini
pun tertunda.
“Caci biasa ikut pelajaran tambahan dimana?”
“Aku enggak pernah ikut pelajaran tambahan kak, aku
belajar sendiri aja”
“Wah hebat ya bisa pinter gini dan kakak denger dari
Ben kamu selalu
masuk tiga
besar ya?”
“Ah enggak juga kok kak, aku enggak sepinter itu” Caci
berusaha tidak sombong dengan merendah.
“Beda banget sama Ben yang paling males di suruh
belajar, dan kakak
sedikit kaget
sewaktu dia mau pakai jasa private”
Aku hanya
tersenyum mendengar ucapan kak Anes, Wanita lembut, tinggi, putih, dan manis
ini kembali bertanya kepada ku
“Oya memang Ben kalau di sekolah terkenal bandel dan
suka bikin
onar ya?”
“Wah bukan terkenal lagi kak, tapi satu sekolah sudah
hafal sama sifat
Ben yang suka
malak, bolos, tukang telat, suka tawuran dan bikin
masalah”
Tiba-tiba
wanita manis di hadapan ku hanya tertegun mendengar Caci membeberkan kelakuan
negative adiknya dengan semangat pejuang.
“Oopss maaf kak aku enggak ada maksud menjelek-jelekin
Ben”
“Enggak apa-apa kakak sudah tahu semuanya kok tanpa
harus kamu
ceritain”
Kak Anes tersenyum manis kepada Caci dan wanita manis
itu mengambil sebuah foto berbingkai kecil yang terdapat dirinya dan Ben.
“Orang ini yang kamu bilang tukang bikin onar dan
masalah sebetulnya
adalah orang
baik yang hanya kekurang cinta dan kasih saying” Anestasya menunjuk Ben yang
terdapat di foto itu
“Maaf kak kalau ucapan aku membuat kakak tersinggung”
“Bukan Caci, bukan seperti yang kamu fikir kakak hanya
mau tunjukin ke
kamu siapa Ben
yang sebenarnya”
“Maksud kakak apa?”
“Ben bukan anak yang terlihat dari luarnya, bukan anak
yang bandel dan
Pembangkang,
tetapi Ben itu anak baik hanya saja dari kecil Ben kurang
mendapatkan
kasih sayang yang utuh dari kedua orang tua yang komplit
seperti
anak-anak pada umumnya. Dari kecil Ben dan aku sudah terlalu
sering di
tinggal papi dan mami yang sama-sama sibuk, sampai akhirnya
sewaktu Ben
baru kelas 1 SD dan aku kelas 3 SD, kedua orang tua kami
resmi bercerai
karena papi menuduh mami memiliki pria selain papi, Ben
yang masih
kecil bagaikan seorang malaikat suci berubah menjadi setan
kecil yang
menyebalkan karena saat-saat pertumbuhannya tidak ada
sesosok ibu
yang menyayanginya dan melarangnya serta tidak ada seorang
ibu yang
memberitahu mana yang baik dan mana yang salah, dan betul
selang satu
tahun setelah perceraian itu, mami menikah dan menetap
dengan pria
Italy, sungguh sejak saat itu kami membenci mami dan tidak
ingin
mengenalnya lagi karena mami tidak pernah ada ketika masa-masa
sulit yang aku
dan Ben lewati”
Kini aku
mengerti mengapa Ben begitu tempra mental dan brutal karena dari kecil Ben
telah kehilangan sesosok ibu.
“Maaf ya Caci kakak jadi cerita masalah pribadi,
padahal kan
kita
baru kenal”
“Enggak apa-apa, aku seneng kok kalau kakak anggap aku
sebagai
teman curhat”
“Teman curhat?
kamu mau jadi
teman kakak?”
“Iya kalau kakak enggak merasa keberatan”
“Tentu, justru kakak seneng punya teman baru, oya Caci
beberapa minggu
lagi kakak
akan bertunangan dengan Davi Danova”
“Iya kak aku sempat dengar beritanya”
“Iya acara itu akan dilaksanakan di Madrid tempat kakek dan nenek Davi
menetap dan
acara itu bertepatan dengan hari ulang tahun kakak dan
kakak berharap
kamu bisa hadir”
”Wah jauh banget kak, walau aku enggak hadir aku tetap kok kirimin doa
”Wah jauh banget kak, walau aku enggak hadir aku tetap kok kirimin doa
untuk kakak
dan ka Davi”
“Makasih ya Caci”
***
“Gil maksud loe apa?
loe bilang ada
acara kumpul bareng anak-anak”
“Kenapa Ve kamu kaget?”
Ternyata maksud Gilang menjemput Veda disekolah hanya
ingin mempertemukan antara Veda dengan Vira wanita yang sekaligus tunangan
Veda.
“Jadi kalian sudah susun rencana untuk pertemuan ini?’
“Veda aku mohon jangan marah sama Gilang, ini semua
aku yang atur”
“Bro gue enggak ada maksud apa-apa, gue cuma pengen
kalian selesain
masalah kalian
secara baik-baik, gue tinggal supaya kalian lebih leluasa”
“Apa lagi yang harus di selesain Vir?” suara dingin itu menyapa sang wanita yang
berharap suatu kelunakan sikap dari Veda
“Kok kamu nanya kaya gitu, aku pengen kita kaya dulu
lagi”
“Enggak akan bisa Vir, saat orang tua kamu malu dengan
keluarga ku, aku
fikir mulai
saat itu semuanya sudah berakhir dan aku yakin ke dua orang
tua kamu enggak
akan setuju”
“Aku sudah bicara dengan mami dan dady dan mereka
setuju”
“Maaf Vir mulai saat itu aku sudah cukup kecewa dan di
hati aku sudah
enggak ada
ruang untuk kamu, aku anggap semuanya sudah selesai”
“Veda aku mohon dengerin aku, saat itu siapa coba yang
enggak kaget
dengan berita
itu dan keluarga ku pasti malu punya calon besan….”
Tiba-tiba ucapan Vira terhenti karena Veda histeris
dan berteriak mengatakan
“Cukup……..!!!”
Seolah Veda tidak menghiraukan Cafe di bilangan Kemang
yang cukup ramai sore ini.
“Cukup Vir jangan di terusin lagi aku enggak mau
denger lagi!!!
jangan pernah
kamu cari aku lagi, dan jangan pernah libatin orang lain
dalam masalah
kita, karena sekarang masalah kita sudah selesai jadi
kamu jangan
pernah cari-cari aku lagi, ngerti!!!”
Veda
meninggalkan Vira yang menangis sendirian di meja cafe.
***
“Heh… kaca mata kuda, maksud loe apa tadi kaya gitu!
loe mau cari
muka di depan guru BP?”
Pagi ini
Sisi telah menggeplak meja Fini dengan kencang dan memaki Fini habis-habisan di
depan anak-anak satu kelas yang telah datang.
“Heh… cupu!!!
loe enggak akan
bisa bersaing dengan gue!
ngaca dong loe,
loe itu siapa!!!
loe itu enggak
lebih dari orang miskin yang sekolah dengan beasiswa,
jadi loe enggak
pantes cari muka di depan gue, sekali cupu ya tetap aja
cupu!!!!”
Caci yang baru datang melihat sahabatnya di hina
seperti itu tentu Caci tidak tinggal diam dan langsung membentak Sisi.
“Heh jaga dong omongan loe, enggak seharusnya loe hina
Fini kaya gitu”
“Wo… owh… ada pahlawan kesiangan dari mana nih!
datang-datang
langsung jadi pahlawan”
“Heh… kita memang miskin tapi enggak seharusnya loe
hina kita terus-
terusan, loe
enggak akan tahu gimananya rasanya cari uang dan serba
kekurangan
karena loe selalu ngandelin uang dari orang tua loe”
“Wow… hebat banget ya, ada penceramah ternyata di
kelas kita.
heh Sezheci
Percia sudah bercermin pagi ini?
loe sadar
enggak lagi bicara dengan siapa?
dan apa loe
enggak takut berurusan dengan gue?
enggak takut
juga kalau nanti gue aduin ke Ben?”
“Gue sudah bercermin kok pagi ini nona Sisi Permitha
yang terhormat,
dan gue sama
sekali enggak takut mau loe aduin ke siapa pun,
ayo Fin kita
duduk di bngku kita”
“Ada
apa sih?”
Fikri dan Ado
yang baru datang sedikit bingung dengan keadaan kelas mereka yang ramai
“Fin ada apa?
gue denger Caci
abis ribut sama Sisi,
loe enggak
kenapa-napa Ci?”
“Gue baik-baik aja do”
“Caci tadi kenapa loe belain gue, padahal loe baru
datang dan enggak
tahu apa-apa”
“Fin… loe itu sahabat gue, enggak mungkin kan gue biarin loe di
hina
atau di maki
kaya gitu”
“Makasih banyak Ci, loe masih peduli sama gue”
Fini pun memberikan pelukan hangatnya kepada Caci, dan
kedua sahabat itu saling berpelukan.
***
Sudah satu
bulan aku menjadi guru private Ben rasanya begitu cepat dan hari ini aku memiki
banyak waktu untuk datang ke cafe membantu om dan tante.
“Tumben hari ini kesini?”
”Ya aku lagi enggak ada pelajaran tambahan tan”
”Ya aku lagi enggak ada pelajaran tambahan tan”
“Ya sudah kamu ganti baju gih, bantuin Caterin di
belakang”
“Oke tan”
Aku memasuki dapur yang merupakan tempat terciptanya
makanan-makanan lezat dan merupakn kunci dari kesuksesan om Hans
“Hallo paman Thomas”
Aku menyapa paman Thomas yang tengah menghias cakenya
dengan crim cake putih
“Hey Caci, apa kabar?”
”Baik paman, wah cakenya makin cantik aja”
”Baik paman, wah cakenya makin cantik aja”
“Tentu, kamu juga boleh mencobanya nanti”
“Wow makasih paman,
Hallo bibi
Karin”
“Hallo Caci tumben kamu kesini?”
”Iya bi aku lagi ada waktu senggang”
”Iya bi aku lagi ada waktu senggang”
Paman Thomas dan bibi Karin sudah seperti keluarga ku
sendiri mereka seperti paman dan bibi ku sungguhan jika aku main ke cafe mereka
sangat menyambut ku dengan baik.
“Hey Cat butuh bantuan enggak?”
“Wah Caci datang di waktu yang tepat, hayo sini
bantuin aku rapihin
piring-piring
kotor ini”
“Ok, aku ganti baju dulu ya sebentar”
15 menit kemudian
aku siap membantu Caterin dengan seragam kebanggaan milik cafe.
“Kamu kemana saja baru kelihatan?”
“Enggak kemana-mana cuma lagi banyak urusan jadi baru
sempet kesini”
Aku dan Caterin saling mengobrol sambil mengelap pring
dan gelas-gelas yang baru saja di cuci, tiba-tiba tante ku datang dan
membanting pintu dapur begitu kencang tetapi tidak terlihat dari wajahnya bahwa
tante Bebie tengah marah justru wajahnya sangat senang.
“Tante ada apa?
sampai banting
pintu sekencang itu?”
“Caci kamu tahu siapa yang datang?”
“Enggak tahu, Caci kan dari tadi di sini”
“Ada
teman kamu dan dia cari kamu”
“Teman aku? siapa? Ado atau Fikri?”
“Bukan… lebih penting dari mereka”
“Siapa tan, jangan bikin aku penasaran deh???”
“Beni Putra Julius”
“Hah??? Serius???” Aku dan Caterin sama terkejutnya
“Iya dia cari kamu, sekarang kamu cepat temuin dia”
“Tapi tan”
“Sudah sekarang kamu temuin saja Ben, tante juga sudah
tahu
kenapa kamu
sering pulang telat, Ben sudah cerita semuanya”
”Tadi tante ngobrol sama dia?”
”Iya dan tante setuju kok”
”Tadi tante ngobrol sama dia?”
”Iya dan tante setuju kok”
“Maksud tante setuju apa?”
”Sudah kamu temuin Ben sekarang jangan banyak nanya!”
”Sudah kamu temuin Ben sekarang jangan banyak nanya!”
Akhirnya
aku pun menuju meja yang di huni oleh pria yang berpostur tinggi yang duduk
sendiri sambil menikmati secangkir capucino hangat.
“Ben kamu ngapain?”
”Hey… kenapa memang enggak boleh ke sini ya?”
”Hey… kenapa memang enggak boleh ke sini ya?”
“Bukan gitu aneh aja dan bukannya kontrak kerja sama
kita sudah
selesai?”
“Iya memang sudah selesai tapi aku butuh bantuan kamu”
“Bantuan apa?”
“Kamu tahu kan ka
Anes mau tunangan di Madrid?
nah aku pengen
kamu bantu aku untuk cari kado buat pertunangan ka
Anes dan ka
Davi, gimana?”
“Tapi Ben aku lagi kerja sekarang”
”Iya aku tahu dan aku sudah minta izin dengan pemilik cafe ini dan mereka
”Iya aku tahu dan aku sudah minta izin dengan pemilik cafe ini dan mereka
setuju”
jelas saja
setuju bagaimana tidak pemilik cafe ini kan adalah tante ku, akhirnya aku
menuruti untuk membantu Ben memilih kado yang akan di berikan kepada ka Anes.
Ketika belum jauh dari cafe Ben menepikan motor
besarnya itu.
“Ada
apa Ben?”
“Bensin gue tiris, loe tunggu dulu ya disini gue mau
isi bensin sebentar”
Akhirnya aku pun menunggu di sebuah halte, ketika aku
tengah menunggu Ben di halte yang sepi, tiba-tiba sesosok wanita yang tidak
asing bagi ku menepuk pundak ku dan wanita itu ternyata Fini wanita berkaca
mata yang sangat ku kenal.
“Caci loe ngapain sendirian disini?”
“Fini…” Caci sangat terkejut di sapa oleh Fini rasanya
ingin langsung menjelaskan kepada Fini agar tidak terjadi kesalah pahaman.
“Loe sendiri mau kemana Fin?”
“Gue mau ke tempat les, loe sendiri mau kemana?”
”Gue… mau ke cafe”
”Gue… mau ke cafe”
“Loh kok rapih banget ya kaya orang mau pergi???”
Caci terlihat sedikit gugup dan bingung menjawab
pertanyaan dari Fini.
“Emm… em… gu… gue… tadi ada perlu dan ini mau mampir
ke cafe”
Caci terlihat gugup dan tidak yakin dengan jawabannya
sendiri
“Oh… ya udah gue mau pergi les dulu ya, salam aja dech
buat tante Bebie
dan om Hans
ya”
“Iya nanti gue sampein”
Untung saja
Fini segera pergi dan tidak banyak tanya, maaf Fin akan ketidak jujuran aku
ini, tapi aku janji secepatnya akan segera menceritakan dan jujur kepada Fini,
serta para sahabat ku.
“Maaf ya Caci sedikit lama”
”Oh enggak apa-apa, udah selesai?”
”Oh enggak apa-apa, udah selesai?”
“Iya, ya udah cabut yu”
Kami pun
tiba di sebuah Mall yang cukup ramai dan sepertinya para pengunjung Mall ini
hanya terisi oleh mereka orang-orang yang sangat mudah membuang uang mereka
demi kepuasan semata, jika aku pergi ke Mall ini tidak bersama dengan Ben
mungkin aku akan sangat minder berada diantara kalangan sosialita yang hanya
memandang tinggi diri mereka dan menganggap orang lain kecil di mata mereka.
“Caci kita mau nonton atau mau makan dulu?”
“Loh… bukannya kita mau cari kado?”
“Iya sih tapi kamu mau nonton atau makan dulu enggak
apa-apa kok”
“Enggak usah, kita cari kado aja dulu, kalau makan atau
nonton nanti bisa
kemaleman
pulangnya”
“Oh ya udah seterah kamu aja deh”
Caci pun sedikit bingung dengan perubahan sikap Ben
hari ini dan terlihat sedikit manis kepada ku, mungkin karena Ben sedang
membutuhkan pertolongan ku sehingga hari ini sikapnya sedikit manis, fikir Caci
polos.
Ketika kami berjalan menyusuri toko-toko untuk mencari
kado pertunangan untuk ka Anes, tiba-tiba Ben menarik tangan Caci.
“Caci tunggu, jangan jalan cepet-cepet, kita mampir ke
toko olahraga
dulu ya”
Belum sempat Caci berkata-kata tangan Caci sudah di
tarik lagi dengan sigap oleh tangan Ben untuk memilih tumpukan barbell yang
bersusun, beratnya dari yang paling enteng sampai yang paling berat.
Setelah itu Ben ke toko khusus pakaian pria, dari kemeja
lengan pendek sampai kemeja lengan panjang, dan sebuah blue jeans belel, serta
tidak ketinggalan dua kaos polo rebook.
Ini cewek atau cowok sih?
Ternyata Ben shopaholic
juga bahkan barang belanjaanya lebih banyak di bandingkan tante ku yang sangat
gemar berbelanja, sampai tidak terasa di tangan kanan dan kiri ku terdapat tiga
kantung belanjaan.
“Ben katanya kita ke sini mau cari kado”
Caci berusaha mengingatkan Ben akan tujuan awal
mereka.
Dan Ben melihat Caci keberatan menenteng seluruh tas
tentengan yang isinya barang-barang belanjaan Ben, Ben pun mengambil tiga
kantung belanjaan dari tangan kiri Caci.
“Sabar ya Caci aku juga lagi cari kado mana yang mau
aku kasih”
“Ben sadar enggak sih dari tadi tuh kamu belanja bukan
cari kado”
Caci mulai bosan menemani dan membawakan barang-barang
belanjaan Ben.
“Maaf ya caci, kamu mulai bosen ya?”
“Jadi loe ngajak gue hari ini cuma untuk bawain
belanjaan loe?”
“Yah… jangan marah dong ci, ya udah sekarang juga kita
cari kadonya ya”
Ben pun menarik tangan Caci ke sebuah toko periasan
yang berisi berlian mahal, para berlian dan mutiara ini sangat terlihat mahal
dan bersinar dan membuat mata siapa saja yang melihatnya menjadi silau dan
takjub.
“Caci kalung mutiara ini bagus enggak?”
Ben menunjuk sebuah kalung mutiara yang sangat indah
“Wah bagus banget Ben”
“Emm.. aku boleh pinjam leher kamu sebentar?”
“Untuk apa?’’
“Mau lihat aja ini pantas atau enggak kalau di pake
sama kamu, jadi aku
bisa bayangin
gimana kalau nanti di pakai oleh ka Anes”
Ben pun mulai membantu Caci untuk memakai kalung
mutiara itu dan Caci sangat cantik dengan kalaung mutiara itu, kalung mutiara
yang indah dan paling mahal di toko itu sangat cocok di kenakan di leher Caci.
“Bagaimana???”
”Bagus banget ci, ya udah mas tolong kalung mutiara ini di bungkus
”Bagus banget ci, ya udah mas tolong kalung mutiara ini di bungkus
rapih saya
ambil satu ya”
“Baik mas”
Ketika Ben
tengah membayar kalung mutiara itu Caci pun melihat-lihat periasan-periasan
yang ada di toko berlian dan matanya tersihir kagum pada sebuah gelang emas
putih dengan taburan berlian yang sangat cantik
“Gelang itu cantik ya?” Ben bertanya kepada Caci yang
sangat serius memperhatikan gelang berlian itu sehingga tidak menyadari akan
kedatangan Ben.
“Iya cantik banget” Caci menjawab pertanyaan Ben tanpa
menyadari kehadiran Ben
“Kamu mau???”
“Ah… enggak ko, sejak kapan kamu di situ?”
”Sejak kamu merhatiin gelang itu”
”Kamu udah bayar?”
”Sejak kamu merhatiin gelang itu”
”Kamu udah bayar?”
“Udah ko, kenapa Ci kamu mau gelang itu”
”Enggak kok aku cuma suka aja ngeliat gelang itu”
”Enggak kok aku cuma suka aja ngeliat gelang itu”
“Ya udah kalau kamu suka ambil aja, biar aku yang
beliin buat kamu”
“Enggak Ben, udah aku bilang aku enggak mau, memang
mau aku pakai
kemana coba
gelang mahal kaya gitu”
“Udah enggak apa-apa aku yang beliin ko buat kamu”
“Enggak usah Ben, gelang itu hanya akan ngancam nyawa
aku aja,
setiap
hari-kan aku harus naik-turun kopaja dan bajai, bahaya-kan!!!”
“Ya di pakainya saat pergi ke acara-acara penting aja”
Ben terus mendesak untuk membelikan Caci sebuah gelang
berlian itu, dan Caci pun terus mencari alasan agar Ben tidak perlu membelikan
gelang mahal itu.
“Enggak perlu Ben lagi pula aku sedikit alergi dengan
periasan yang melekat
di tubuh ku”
Caci sedikit tidak yakin dengan alasannya.
Ben terdiam mendengar alasan Caci dan tiba-tiba Ben
tertawa sangat puas mendengar alasan Caci, seolah-olah Caci adalah badut di
hadapannya yang sedang melawak.
“Kenapa Ben ada yang lucu?”
“Dasar orang kecil pakai periasan mahal aja pakai
alergi segala”
Tentu mendengar dirinya disindir seperti itu membuat
Caci tidak dapat menerimanya bahkan Caci kesal sekali mendengar ledekan dari
Ben, Caci menjatuhkan tiga kantung belanjaan milik Ben ke lantai karena sangat
kesal, dan meninggalkan Ben di toko berlian itu.
“Caci… Caci… tungguuuu…!”
Ben berusaha mengejar Caci sebelum akhirnya mengambil
dengan sigap tiga kantung belanjaan yang di jatuhkan Caci, dan Ben dapat meraih
tangan Caci yang kecil dan larinya tidak begitu kencang.
“Caci gue minta maaf, gue minta maaf kalau loe
tersinggung dengan
ucapan gue
tadi”
“Ben gue fikir loe berubah, tapi sifat sombong loe
masih aja”
“Okeee… gue ngaku salah dan gue minta maaf, please jangan marah lagi”
“Udah ah gue capek sama loe gue mau pulang aja”
“Jangan pulang sekarang, yaudah kita makan aja deh
biar loe enggak Bete,
kita makan
ya?”
Caci pun tidak tertarik dengan ajakan makan dari Ben walau makan di restoran paling mahal sekali pun.
Caci pun tidak tertarik dengan ajakan makan dari Ben walau makan di restoran paling mahal sekali pun.
“Enggak!!! Gue mau pulang!!!”
“Jangan pulang sekarang, gue beliin loe ice cream
cokelat ya?
pasti loe
enggak akan bisa nolak”
“Loe tahu dari mana kalau gue suka ice cream cokelat?”
“Ada deh, ya udah sekarang jangan marah lagi ya, kita
baikan”
Pasti Tante yang memberi tahu tentang kesukaan ku
kepada ice cream.
Dan Caci pun memaaf kan Ben karena melihat kesungguhan Ben
merayu dan meminta maaf kepada Caci.
Lidah merah itu terus menjilat magnum almond dan tidak membiarkan sedikit pun ice cream cokelat
itu menetes atau meleleh, dengan cueknya Caci terus menjilat ice creamnya di
sebuah bangku dengan tiga kantung belanjaan di pangkuannya, dan Ben sendiri
entah menghilang kemana, hanya menyuruh Caci untuk menunggunya. Sesaat kemudian
Ben muncul dengan sekantung tentengan kecil.
“Dari mana Ben, habis belanja lagi ya?”
“Enggak kok tadi cuma mampir, eh loe beneran enggak
mau beli baju?
gue yang
bayarin loh???”
“Huhhh… dasar pemborosan, sok banyak uang nich”
”Enggak gitu kok, ya udah kalau loe enggak mau tapi gue punya
”Enggak gitu kok, ya udah kalau loe enggak mau tapi gue punya
hadiah buat
loe”
“Hadiah??? Kenapa??? Gue kan lagi enggak ulang tahun?”
”Loh memang hanya orang yang ulang tahun aja yang dapat hadiah?
”Loh memang hanya orang yang ulang tahun aja yang dapat hadiah?
gue kasih
hadiah karena hari ini loe udah mau nemenin gue”
Ben pun menyodorkan tentengan kecil yang sedari tadi
dibawanya.
“Parfum???”
Sebuah parfum Yves Saint Laurent di berikan kepada Caci
“Gimana suka enggak?
tapi loe tenang
aja harganya enggak mahal kok dan di jamin enggak
bakal bikin loe
alergi”
“Maksudnya loe nyindir gue nih?”
Ben hanya menyengir kecut mendengar Caci merasa
tersendir.
Sebelum pulang Ben mengajak ku makan di sebuah
lestoran yang cukup mewah dan terlihat sekali ini adalah sebuah restoran mahal,
ada rasa canggung dari raut ku, aku merasa tidak nyaman makan di tempat semewah
ini.
Disela-sela acara makan malam ini Ben memberiku sebuah
cek.
“Caci ini sisa bayaran loe sebagai guru private gue”
Selembar cek berjumlah dua juta rupiah di sodorkan-nya
kepada Caci
“Ben cek yang kemarin aja belum gue cairin, dan gue
rasa uang yang
kemarin udah
cukup banget Ben untuk bayar SPP dan semesteran gue”
“Udah terima aja Caci, anggap aja ini adalah tanda
makasih gue atas
jasa-jasa loe
selama ini jadi guru private gue”
“Hhaaa… Hiperbola banget sih Ben”
“hheee ya udah di terima ya, kalau loe tolak nanti gue
marah loh”
Akhirnya Caci mengambil selembar cek itu.
Kami pun mulai berbincang-bincang mengenai banyak hal
dari yang ringan hingga paling gombal sekali pun.
“Gue bener-bener enggak sangka bisa disini dan makan
bareng sama
loe, padahal
di sekolah kita enggak pernah ngobrol, kok bisa ya?”
“Ya bisa lah, apa sih yang enggak bisa?
gue bisa ajak
siapa aja untuk makan bareng sama gue”
Seperti biasa Ben berbicara dengan kesombongannya.
“Sumpah ya Ben loe itu manusia paling sombong sedunia
yang pernah
gue kenal”
“Dan loe cewek paling polos, cepet marah, cepet
tersinggung,tapi
cepet senyum
lagi pokoknya susah untuk di tebak”
“hhhaaa masa sih?”
“Iya dan loe itu kalau tersenyum manis banget”
“Apa sih Ben gombal banget deh, coba bilang sama gue,
gue cewek
keberapa yang loe bilang kaya gitu?”
“Pertama”
“Udah ah… bohong banget, oya kenapa hari ini loe
ngajak gue?
kan loe bisa gitu ajak
Sisi gue yakin selera dia lebih tinggi”
“Enggak ah riber kalu ajak dia, Sisi itu manja banget,
gue enggak
suka cewek
manja dan bawel kaya dia, lagi pula gue kan
pengennya ngajak
loe bukan dia”
Malam semakin
larut lampu-lampu penerangan telah bernyinari kota
Jakarta sedari tadi dan ini bagai ciri khas kota Jakarta
di antara kehidupan malam di Jakarta. Para bintang pun telah bertaburan
menghiasi langit dengan di temani rembulan yang tengah menampakkan dirinya dan
cahaya terangnya, aku dan Ben telah bergegas untuk pulang.
“Caci sebelum pulang gue mau ucapin sesuatu”
“Apa Ben?”
Caci berdiri di hadapan Ben yang telah duduk di atas
motor Ninja merah-nya, tiba-tiba Ben meraih tangan Caci dan sulit di duga Ben
mengecup pipi kanan caci.
“Makasih banget ya Caci untuk hari indah ini”
Caci diam mematung, jantungnya berdebar begitu
kencang, perutnya memiliki rasa sakit yang aneh dan seluruh aliran darahnya
seperti tersumbat dan berhenti mengalir, ada rasa aneh dan tidak biasa yang
sulit dijelaskan.
“Hey kok bengong???
ayo naik
katanya enggak mau kemaleman kan
pulangnya”
Caci menaiki motor Ben namun masih terdiam dan memegang
pipi kanannya, dan Caci masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi
pada dirinya.
Langganan:
Postingan (Atom)