Kamis, 05 Juli 2012

suara hati

suara hati...
aku selalu di buat tak berdaya oleh mu
mungkin aku lemah dengan suara hati ini, namun ketahuilah kau yang sesalu membuat segalanya bimbang.
kau putar segalanya, kau abaikan suara hati ini menghempaskan aku hingga ke dasar laut terdalam dan tenggelam karena rasa bodoh ini, rasa kesedihan mendalam hingga tercabik hati ini, hancur, hingga berkeping-keping...

kini kau hadir lagi membawa sekotak perban dan menyesali ingin merawat hatiku agar terdengar lagi suara hati ku. mengertilah rasa itu telah tenggelam terkubur bersama rasa bodoh yang kau tenggelamkan...
saat kau hadir, aku hanya ingin membalas rasa yang hancur kepadamu agar kau tahu tentang suara hatiku

namun..
kini aku terjebak dengan suara hatiku sendiri, terjebak antara suara hati atau bayang-bayang balas dendam. apa sebetulnya misimu, apa sebetulnya yang ada difikiraan mu jika kau hadir kembali untuk membalut, lakukanlah dan obatilah aku agar suara hati ini bersambut jangan membuat suara hati ini bimbang...

  

Selasa, 03 Juli 2012

rasa ini..

hati ku kembali merasakan hal yang karam,
hal yang pernah hilang dan pergi
aku tidak pernah menyangka
namun bagaikan tersapu ombak...

hal yang dulu tidak pernah ku tahu
sesuatu yang mempertemukan kita lagi..
hal yang bukan aku
hal yang bukan kamu
tetapi menjadi kita
menjadi satu
dan selamanya kita menyatu...

#Firchi

Selasa, 22 Mei 2012

tentang dia

aku dipertemukan oleh waktu
waktu menghampiri dengan detik perlahan
aku bertanya apa yang sebenarnya dapat terjadi
lesu menahan ingin tahu yang tersimpan
beharap suatu saat nanti pertemuan menyapa kita
dan semoga waktu tidak memperpisahkan kita..

Senin, 02 April 2012


DUA
                                                        
“Mbak… satu pesanan di nomor dua”
“Ini Caci satu cappuccino ice dan satu lemon tea hangat”
  Dengan sigap Caci mengantarkan dua minuman itu ke pesannya yang berada di bangku nomor dua, karena hari ini tidak ada tugas apa pun dari sekolah maka setelah pulang sekolah Caci mampir ke cafe milik om Hans karena seperti biasa walau sudah memiliki 12 orang karyawan, tetap saja cafe mungil ini kebanjiran pelanggan, mau tidak mau Caci harus membantu om Hans karena tante bebie tengah menjaga si kembar Kiki dan Iki di rumah, Caci juga sudah akrab dan kenal betul dengan para pelayan di sini mereka semua sudah Caci anggap seperti bagian keluarganya sendiri karena dari kecil Caci telah tinggal dengan keluarga om Hans serta membantu di cafe dan ini sudah bukan hal yang baru. Nah pelayan di cafe ini ada paman Thomas sang koki handal pembut cake-cake enak yang telah bekerja dengan om Hans dari awal cafe ini hanya cafe kecil hingga sekeren ini, selain itu ada bibi Karin, bibi Karin juga sama seniornya di sini seperti paman Thomas hanya saja bibi Karin di sini adalah pembuat makanan-makanan lezat semua aneka masakan pasti dia bisa maka dari itu tempat ini menyediakan aneka makanan khas Nusantra serta yang paling terbaru bibi Karin tengah mempelajari membuat makanan-makanan dari benua Eropa sana seperti Italy, prancis, dan yang terbaru adalah makanan lezat dari Spanyol dan banyak lagi makanan yang cukup menggoyang lidah setiap pelanggan yang datang, mungkin inilah alasan kenapa cafe milik om Hans banyak di minati banyak orang karena kami menawarkan begitu banyak menu special.

Ketika mengantarkan minuman ke meja nomor dua Caci sedikit terkejut melihat siapa penghuni meja nomor dua, seorang wanita berbadan tinggi tegap, putih, langsing, serta memiliki kaki yang jenjang yang mengenakan long dress berwarna merah muda yang membuat long dress itu terlihat lucu dan manis, dan sedikit terbuka di bagian dada serta aksen pita di tengah bajunya tepatnya di antara belahan dadanya yang pasti menjadi pusat perhatian ketika semua orang melihatnya dan gaya wanita ini sedikit aneh pakaian yang di kenakan sangat lucu dan manis tetapi kepala wanita itu tertutup sebuah topi yang menutupi sebagian rambut panjangnya yang terurai dan wanita itu juga mengenakan kaca mata hitam seperti orang ingin ke pantai di tambah lagi di bagian dada yang terbuka wanita itu mengenakan sebuah syal, tentu dengan ramah Caci menyapa pelanggannya.

“Selamat siang mbak… ini pesanannya satu cappuccino ice dan lemon tea
  hangat”
“Terima kasih”
“Ada lagi yang bisa saya bantu?”
“Emmm… oya saya pesan satu salad dan cake cokelat” Ucap manis sang wanita itu
“Baik ada lagi?”
“Untuk sementara cukup itu aja”
“Baik kalau begitu tunggu sebentar ya mbak pesanannya akan segera
  datang” Caci tersenyum manis pada wanita itu sebelum pergi meninggalkan meja nomor dua, Caci sedikit aneh dengan wanita itu seolah wanita itu begitu familiyar tapi Caci tidak menggenali siapa wanita itu, Caci juga sedikit aneh wanita itu jelas-jelas duduk sendiri tapi mengapa memesan makanan dan miniman serba dua.
“Ada pesanan lagi Ci?” Sapa Catrin, Catrin adalah pelayan yang bekerja di cafe om Hans yang tepatnya lebih tua tiga tahun di banding Caci.
“Iya… Cat satu salad dan satu cake cokelat untuk meja nomor dua”
“Okeee… pesanan siap di antar”
“Wah.. tumben cepat sepertinya kamu lagi senang?”
“Hhee… iya Ci nanti sore mau di jemput abang”
“Cieee…. Kenalan kamu tempo lalu”
“Iya.., udah cepat diantar nanti pelanggan kita menunggu lama loh, kita
  gosipnya sambung di belakang saja ya”
“Haha okeee…”
     Di cafe ini aku memang dekat hanya dengan Catrin karena Catrin yang masih muda maka dari itu kami sangat nyambung jika bicara dan bertukar fikiran pasalnya sebagian besar pelayan disini telah menyandang status menikah jika pun ada paling hanya pelayan pria itu juga seumuran dengan Catrin.

     Ketika mengantar pesanan untuk meja nomor dua Caci melihat suasana yang berbeda karena saat ini sang wanita itu tidak sendiri di sebelahnya ada sesosok pria yang berbadan tinggi yang tidak berbeda jauh dengan sang wanita.
“Permisi mbak, mas… maaf lama menunggu ini pesanannya satu salad dan
  satu cake cokelat” sang pria yang duduk di samping sang wanita pun menoleh ke arah Caci karena mendengar suara Caci yang sedikit besar dan terdengar sedikit lembut namun alangkah terkejutnya Caci melihat pria itu adalah Ben, dan Ben pun sama terkejutnya dengan Caci namun Caci segera tersenyum kepada Ben dan wanita itu sebelum akhirnya meninggalkan meja nomor dua.
Siapa ya cewek yang ada di sebelah Ben itu, paling-paling juga ceweknya atau mungkin selingkuhannya tapi katanya orang kaya masa makan di cafe yang kecil ini atau mungkin tengah pengiritan karena harta ayahnya akan habis (Caci bicara sendiri di dalam hatinya).

***
     Sore ini aku bertugas menjaga Ima, Kiki dan Iki seperti yang kalian bayangkan betapa repotnya menjaga tiga anak kecil yang baru berusia 5 tahun dan 3 tahun tapi untungnya para sepupu ku ini tidak pernah merepotkan dan rewel mereka selalu menurut apa yang aku katakan dan menghormati ku jika ibu dan ayah mereka sedang di cafe seperti saat ini, bahkan sore ini mereka berlaku sangat manis pada ku dan mengajak mereka bertiga ke taman adalah kado terbaik untuk mereka yang hari ini tidak nakal dan berlaku sangat baik, sebelum pergi ke taman yang jaraknya dekat dengan rumah aku tidak lupa mengunci pintu rumah dan mengecek bahwa segala macam kompor dan air telah mati agar tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan, aku pun pergi ke taman dengan membawa makan dan air minum milik si kembar, si kembar telah siap menghuni kereta dorong milik mereka sabuk pengamannya pun telah terpasang dan tidak lupa aku membawa robot-robotan milik si kembar bahkan sore ini aku yang mendadani si kembar dengan piyama lucu dan mereka terlihat sangat menggemaskan, dengan mendorong kereta dorong serta menuntun Ima yang membawa teddy bear ke sayangannya yang sedikit lusu, kami berempat sampai juga di taman dekat rumah.

Ima sedang minum teh sore dengan teddy bearnya permainan yang khas anak prempuan dan aku menyuapi Kiki dan Kiki yang cukup menikmati suasana di taman sore ini bahkan si kembar sangat asik bermain dengan robot-robotan milik mereka sambil menyambut heli copter milik ku yang berisi satu sendok kecil bubur sereal rasa cokelat kesukaan keduanya,
Ketika Ima tengah asik dengan teddy bearnya dan aku tengah sibuk memperhatikan Kiki dan Iki tiba-tiba terdengar suara anak kecil tengah menangis memang terdengar samar-samar tidak jelas karena di taman ini juga banyak anak-anak kecil dengan para pengasuhnya tapi aku yakin sumber suara itu berasa dari balik pohon yang tidak jauh dari tempat kami duduk saat ini karena penasaran aku pun mencari sumber suara itu dengan mendorong kereta si kembar dan menuntun Ima, ternyata rasa penasaran kami terjawab karena yang menangis adalah makhluk menggemaskan dan lucu dengan pita manis di sebelah kiri.
“Adik manis kenapa nangis? Ibu kamu kemana?” anak kecil yang seumuran dengan Ima yang tadi menangis pun terhenti tangisnya walau belum berhenti sepenuhnya ketika aku bertanya anak kecil itu masih tersenga-senga sambil menunjuk sesuatu di atas pohon dan aku pun mengerti mengapa anak itu menangis ternyata balonnya tersangkut di atas pohon,
Aku pun menaiki pohon yang tidak terlau tinggi dan mengambilkan sebuah balon yang tersangkut di atas pohon dengan hati-hati agar balon berwarna pink itu tidak pecah aku pun mengambilnya dan memberikan pada anak kecil itu, kini ada senyum di wajah malaikat kecil itu.

“Sekarang jangan nangis lagi ya, kan balonnya udah kakak ambilin”
“Makasih ka” ucap manis anak kecil itu
“Nama kamu siapa?”
“Cha-Cha ka”
“Rumah kamu dimana?” anak kecil itu menunjuk rumah yang tidak terlalu jauh dari taman sepertinya dia tinggal di samping rumah ku karena rumah yang dekat dari taman dan terlihat dengan jelas adalah rumah ku dan rumah yang ada di sebelah rumah ku aku yakin anak kecil ini adalah adik dari cowok jutek itu atau tepatnya tetangga baru ku yang saat itu di ceritakan tante bebie tetangga baru yang memiliki anak kecil seumuran dengan Ima.

     Akhirnya Cha-cha dan Ima bermain bersama sepertinya terlihat jelas dari wajah Ima sangat senang memiliki teman baru dan si kembar sepertinya kekenyangan karena malaikat kecil yang manis dan imut ini tengah terlelap tidur di kereta dorong mereka dan ku lirik jam tangan ku ternyata sudah hampir tepat jam 5 sore itu artinya kami harus bergegas pulang tante akan sangat kaget jika pulang tidak ada orang.

“Ima pulang sekarang yuk udah sore”
“Tapi teh Ima masih mau main”
“Udah sore sayang kasian tuh adik kamu udah pada tidur kecapean
 mainnya besok lagi sama Cha-cha, Cha-cha juga pasti di cariin Ibunya kalau
 kesorean”
“Ya udah dch teh tapi beli ice crim dulu ya?” Ima menunjuk tukang ice cream yang di rubung para anak kecil yang seolah tengah di landa bencana
 kelaparan dan sangat ramai seperti pasar yang tengah menawarkan diskon besar.
“Ya udah tapi habis itu pulang ya! Emmm… Cha-cha mau ice crim juga”
   Cha-cha hanya mengangguk, dasar anak kecil fikir ku sendiri dalam hati untung aku bawa uang sebelum meninggalkan rumah, setelah mendapat dua ice ckrim rasa vanilla dan rasa strawberry dengan nikmat keduanya menikmati di bangku taman namun tiba-tiba kelezatan menikmati ice crim yang di jilat hingga belepotan khas anak usia 5 tahun itu harus terganggu karena ada seorang pria yang berlaku sedikit kasar pada Cha-cha dan membuat teman baru Ima itu menangis aku pun tidak dapat tinggal diam dan menegur pria itu yang berdiri sedikit membelakangi ku, aku pun menegurnya sambil memegang bahu pria itu.

“Hehh…. Jangan kasar dong sama anak kecil” dan pria itu menoleh kearah ku bukan pria itu yang terkejut melihat ku tetapi aku yang terkejut melihatnya ternyata pria itu adalah pria jutek yang ku tabrak saat ia baru pindah tempo lalu dan aku dapat melihatnya dengan jelas saat ini, aku yakin pria ini juga adalah anak baru di kelas ku yang tempo lalu dapat mengalahkan aku dalam membaca puisi saat pelajaran bahasa Indonesia.
“Elo… dari awal gue sudah yakin loe itu tetangga baru gue sekaligus teman
  satu kelas gue, loe kenapa kasar gitu sih… Cha-cha emang mau pulang ko
  jadi jangan di marahin gitu kasian kan dia ketakutan”
     Pria itu hanya menatap ku sinis dan pandangan seperti sok tahu sebelum pada akhirnya menarik tangan Cha-cha dengan kencang dan membuat ice crim rasa strawberry yang tadi ku belikan jatuh dan tumpah semua dan pria itu menggendong Cha-cha yang menangis untuk segera memasuki rumah mereka.
Dasar cowok aneh enggak jelas (gerutu Caci dalam hati)

     Pagi ini aku sampai di sekolah 15 menit sebelum bel berbunyi sepertinya pagi ini ada kemajuan karena pagi ini aku tidak telat ketika aku belum sampai di kelas Fini telah menungguku di depan pintu kelas dengan senyum yang paling manis yang Fini miliki tetapi terlihat pagi ini sepertinya ada yang berbeda dari Fini dia tidak membawa buku-buku tebal yang menjadi ciri khas teman sebangku ku yang mengenakan kaca mata tebal ini.
“Ada apa Fin kelihataannya seneng banget pagi ini?” Sapa Caci pada Fini yang telah menyambutku dengan senyumnya pagi ini
“Tebak dong Ci kenapa gue bisa seneng gini???”
“Ulangan fisika kemaren dapat cepe ya?”
“Lebih dari itu” Fini semakin membuat Caci penasaran
“Terus apa dong semakin penasaran nich, masa pagi-pagi udah ngajak main
  tebak-tebakan???”
“Pokoknya pagi ini lebih dari nilai-nilai gue yang udah biasa dapat seratus”
“Terus???” Tanya ku lagi dengan penuh penasaran dan tak sabar
“Loe tahu Ben kan?”
“Iya… kenapa dia?”
“Tadi pagi dia nyapa gue dan ngobrol sama gue”
“Yah… gitu doang gue fikir apa gitu”
“Yah… Caci masa gitu doang sich ekspresi loe” Fini meninju bahu ku dengan pelan karena ekspresi ku yang datar dan tidak menunjukan menarik sama sekali.
“Iya… Iya… terus apa???” Tanya ku berusaha antusias
“Loe tahu kan Ben dan kebanyakan orang disini enggak ada yang mau nyapa
 atau senyum sama kita mangkanya tadi pagi gue seneng banget”
“Emang dia ngapain loe sampai loe seneng banget?”
“Dia hanya senyum kearah gue”
“Ada apa hayo, kok di senyumin sampe seneng gitu???”
 “Maaf Ci tapi ini rahasia dan gue belum bisa cerita ke elo”
 “Kalau emang rahasia ngapain loe cerita ke gue” Caci meninggalkan Fini yang masih berdiri di depan pintu kelas dan Fini pun mengekor di belakang ku sampai akhirnya kami sampai di bangku kami di posisi dua dari belakang dan ku lihat anak baru itu telah duduk di samping bangkuku tepatnya diantara aku dan Fini, anak baru itu tidak memperhatikan aku dan Fini justru asik membaca buku, yang entah buku apa yang membuatnya serius membaca.
“Yah… Caci jangan ngambek dong, jangan marah” Ucapan Fini membuat ku kembali memperhatikannya kembali setelah tadi sempat menatap anak baru itu.
“Enggak gue enggak marah cuma kesel aja sama loe yang enggak jujur”
“Ya udah dch gue janji Ci kalau waktunya udah tepat gue bakal cerita”
  Caci menatap mata Fini lekat-lekat sepertinya ada sesuatu yang dapat Caci baca dari mata Fini atau tepatnya dari kaca mata tebalnya
“Loe kenapa natap gue kaya gitu Ci?”
“Kayanya ada yang aneh dari loe”
“Maksud loe?” Tiba-tiba wajah Fini memerah malu
“Loe lagi suka ya sama cowok?” Ucap Caci usil
“Ah dari mana loe tahu, ngaco aah” Wajah Fini semakin memerah
“Keliatan loh dari muka loe, atau mungkin cowok yang loe suka itu adalah
  Ben lagi?” Tiba-tiba Fini tidak menjawab namun wajahnya tertunduk malu
“Udah jujur aja Fin sama gue kaya sama siapa aja dech” Fini tidak menjawab hanya mengangguk pelan
“Tuh bener kan gue… hhhaaaa” Aku tertawa kecil seperti orang yang tengah menebak undian berhadiah sepuluh juta
“Tapi kok loe tahu sih?”
“Iya lah… Caci gitu” Caci berbangga diri
“Dari kapan loe suka sama dia?” Tanya Caci lagi pada Fini
“Sejak kelas satu dan loe orang pertama yang tahu hal ini”
“Kok loe enggak pernah cerita sih? Oke gue tahu kita emang temenan baru
 di kelas dua ini tapi masa udah nyaris mau satu semester loe enggak
 percaya juga sama gue?”
“Bukan gitu Ci gue malu ceritanya udah gitu gue cukup tahu lah siapa gue
 dan siapa Ben mana mau dia ngeliat gue yang cupu ini jangan kan dilihat,
 gue yakin dilirik aja dia enggak sudi apalagi ada Sisi bintang model yang
 terkenal dan di gosipin anak-anak satu sekolah adalah ceweknya Ben
 tambah minder lah gue punya saingan yang lebih dari gue segala-galanya
 mangkanya tadi gue seneng banget waktu dia senyumin gue”
“Hem… ya udah loe jangan minder gitu ah gue enggak suka dengernya
 mungkin tadi pagi ada titik terang supaya loe bisa deket dan kenal dia
 lebih deket”
“Makasih ya Ci, besok gue ajak loe ke rumah gue ya, gue mau tunjukin ke
 loe gimana gue suka banget sama dia”
 
     Sebelumnya aku enggak pernah membayangkan bahwa Fini teman sebangku-ku ternyata sama seperti anak wanita lain di sekolah ini yang menyukai seorang Ben bahkan anak berkaca mata yang kini naik pangkat jadi sahabat ku sangat menggilai seorang preman sekolah, aku fikir Fini tidak pernah tertarik dengan hal-hal seperti itu dan hanya tertarik dengan rumus-rumus fisika tapi ternyata dugaanku salah. Aku dan Fini memang baru mengenal saat kami sama-sama masuk Ipa sebagai jurusan yang kami ambil dan berteman karena kami merasa masuk di sekolah yang salah yang terjebak dengan sekumpulan anak-anak yang lebih mementingkan gaya dan seberapa mahal barang-barang yang mereka kenakan dan aku sedikit menemukan beberapa kesamaan dengan Fini hingga akhirnya kami berteman, sedang Ado aku telah mengenalnya dari kelas satu karena kami selalu sekelas dari kelas satu berbeda dengan Fikri yang sama seperti Fini yang baru ku kenal setelah kami sama-sama duduk di kelas dua.

  “Caci mau pulang bareng engga?” Sapa Ado kepada Caci yang tengah sibuk mencatat beberapa mata pelajaran yang tertinggal
“Enggak dech do catetan gue masih nanggung loe balik duluan aja”
“Yakin loe???”
“Iyaaa….”
“Yaudah nanti kalau udah sampai rumah kabarin gue ya!”
“Tumben loe perhatian???” Ado hanya tersenyum sebelum meninggalkan sahabatnya yang masih terduduk di mejanya yang penuh dengan buku-buku catatan. “Akhirnya selesai juga” ucap Caci senang dan Caci pun bersiap untuk segera pulang dan meninggalkan sekolah yang nyaris tidak berpenghuni karena seluruh penghuni sekolah telah pulang sejak tadi, ketika Caci sedang menunggu angkutan umum tiba-tiba Caci terkejut dengan kehadiran pria berpostur tinggi putih yang duduk di halte tepat di sebelah Caci karena halte ini juga sangat sepi hanya ada Caci dan pria berkulit putih bersih itu.

“Loh… loe baru pulang juga?” Sapa Caci kepada pria itu atau tepatnya anak baru di kelas Caci yang merupakan tetangga barunya, namun seperti biasa menyapa anak baru itu hanya akan membuat naik darah mau seberusaha apapun tetap saja anak baru itu tidak akan menjawab, Caci menatap pria tinggi di sebelahnya itu dan menatap sejumlah buku yang di bawanya sepertinya itu merupakan buku-buku pinjaman dari perpustakaan, mungkin inilah yang membuat anak baru ini, baru pulang dan dari sekian banyak buku yang di bawanya ada sebuah buku tulis yang di pasang lebel namanya dan Caci pun membacanya karena semenjak anak baru ini menjadi anak baru di kelas Caci, Caci sama sekali belum tahu siapa nama anak baru ini padahal merekakan satu kelas, mungkin karena Caci tidak pernah memperhatikan ketika guru memanggil atau mengabsen namanya apalagi ketika anak baru ini menjadi penghuni baru di kelas Caci justru Caci malah telat masuk kelas hingga Caci tidak tahu bagaimana makhluk dingin ini memperkenalkan namanya.
“M. Veda……….” Anak baru itu menoleh kearah Caci
“Oh… namanya M. veda, M-nya singkatan dari apa tuch?” Tanya Caci penasaran, tetap saja anak baru itu tidak menjawab pertanyaan Caci, Caci yang merasa di kacangin dan di cuekin pun merasa kesal dan mulai kehabisan kesabaran.

“Heh…!!! Loe itu makhluk dari mana sih kenapa diajak ngomong enggak
  pernah jawab gagu atau apa sih loe” anak baru itu atau Veda malah menatap Caci begitu tajam malah saat ini Caci yang merasa takut menatapnya.
“Gue enggak suka sama orang yang banyak nanya kaya loe” Veda pun memberhentikan kopaja arah rumah kami yang kebetulan berhenti di depan kami dan aku pun ikut naik, matahari di Jakarta semakin menyengat hingga terasa begitu dekat di kopaja yang penuh dan sesak ini dan keringat pun menempel jadi satu rasanya aku geli dan segera ingin mandi tapi harus bagaimana lagi namanya juga angkutan umum beginilah resikonya, karena kopaja yang aku tumpangi penuh maka aku harus berdiri tapi Veda dapat  tempat duduk dari tempat tidak terlalu jauh aku dapat melihat Veda dengan jelas tapi sangat terlihat jelas dari rautnya seperti orang tidak terbiasa naik angkutan umum bisa terlihat jelas ada rasa tidak nyaman dari rautnya, aku melihat ada seorang ibu-ibu rentan yang baru naik rasanya aku merasa kasihan karena jadi teringat dengan nenek di Bandung jika aku dapat tempat duduk pasti akan ku berikan agar ibu-ibu paruh baya ini dapat tempat duduk, adakah orang baik disini? tiba-tiba aku terkejut karena makhluk dingin itu bangkit dari tempat duduk dan sungguh tak disangka ia memberikan bangkunya kepada ibu-ibu rentan setengah baya itu, Veda pun berdiri tidak jauh dari tempat ku berdiri dan tiba-tiba sang supir mengerem mendadak dan bapak-bapak dengan pakaian sedikit dekil dan lebih terlihat seperti preman menabrak punggung belakang ku karena sang supir mengerem mendadak tapi setelah itu aku merasa tak nyaman dengan orang di belakang ku tadi, karena aku merasa orang ini terus memepet ku, aku merasa risih dan Veda yang berdiri tak jauh dari ku sepertinya membaca semua itu dari raut ku dan aku sungguh terkejut karena tiba-tiba Veda menarik tangan ku dengan kencang hingga aku berada tepat berdiri di depannya entah apa maksudnya tapi yang jelas aku merasa di lindungi karena veda ada di belakangku, hal ini membuat ku merasa sangat nyaman.

***
     Seperti janji Fini hari ini aku akan di ajak main ke rumahnya tapi hanya aku tanpa ada Ado dan Fikri.
“Ayo Ci jalan sekarang”
“Iya Fin” tapi ketika ingin pulang aku menoleh ke bangku Veda dan terlihat dia tengah sibuk merapihkan buku-bukunya kedalam tas
“Em… tapi tunggu sebentar Fin” Caci pun menghampiri meja Veda hanya ingin sekedar menyapanya atau ucapkan terima kasih atas kejadian kemarin
“em… hai… em… ma..ka..sih… makasih ya… buat yang kemarin” Caci berbicara dengan terbata-bata seperti biasa veda tidak menjawab namun kali ini dia hanya menatap Caci namun dengan tatapan sendu yang dapat membuat Caci tersenyum.

“Loe tadi ngobrol sama anak baru itu?” sapa Fini kepada Caci ketika mereka telah keluar dari kelas dan berjalan menuju parkiran sekolah tapi ketika melewati parkiran untuk menuju gerbang sekolah terlihat Ben, Edric dan sejumlah geng mereka
“Enggak ko… eh Ben senyum kearah sini tuh” Ucap Caci pada Fini
“Ya ampun gue jadi salting  nih Ci, tapi bener dia senyum kearah kita?”
“Ya loe lihat aja ada siapa lagi coba selain kita, gue yakin pasti dia senyum
  buat loe tuch, cieee….” Ledek Caci dan wajah Fini pun memerah


     Kami pun sampai di rumah Fini, sungguh alangkah terkejutnya ketika sampai di rumah Fini, jauh dari apa yang aku bayangkan, aku fikir rumah Fini tak jauh berbeda dari rumah ku atau rumah Fikri tapi rumah Fini bagai istana, gerbang rumahnya saja terlihat sangat megah dan otomatis terbuka sendiri tanpa di sentuh.
“Fin ini rumah loe?”
“Iya… loe tahu, loe orang pertama yang gue ajak main ke rumah gue
 sebelumnya gue enggak pernah ngajak teman sekolah untuk main ke
 rumah gue”
 Lagi-lagi aku di kejutkan ketika masuk kedalam rumah megah ini seluruh pelayan menyambut dengan hangat kedatangan aku dan Fini seolah-olah kami bagai tuan putri yang turun dari kereta kencana aku sangat tak habis fikir jika Fini berasal dari keluarga berada dan sama seperti anak-anak yang lain kenapa Fini tidak pernah cerita dan mengapa Fini mau berteman dengan aku, Ado dan Fikri.
“Ci jangan bengong gitu, kita langsung ke kamar gue aja ya” Fini buyarkan lamunan dan fikiran ku yang masih sangat-sangat terkejut.
“Fin gue mau tanya?”
”Apa Ci? Pasti loe mau tanya soal ini semua kan? Pasti loe heran ya?” aku hanya mengangguk karena seolah Fini telah membaca fikiran ku
“Nanti gue jelasin di kamar gue aja ya”
Ketika membuka kamar Fini aku kembali terkejut seluruh kamarnya di hiasi poster-poster bukan poster berbau ilmiah atau penyanyi atau para model yang tengah di gandrumi tetapi poster-poster itu bergambar wajah Ben dan banyak sekali foto-foto Ben yang entah dari mana di dapatnya dan kamar ini terlihat begitu cantik dan seperti kamar tuan putri di negeri dongeng dan lengkap dengan ensklopedi dan rumus-rumus fisika lainnya.

“Pasti loe kaget dan terus bertanya-tanya ya Ci?”
“Iya gue kaget Fin kenapa loe enggak pernah cerita akan kehidupan loe,
  rumah loe dan semua ini, dan kenapa juga loe mau temenan sama gue,
  Ado, dan Fikri padahal loe bisa temenan sama anak-anak yang lain yang
  gue rasa selevel sama loe”
“Ko loe ngomong gitu Ci? loe enggak mau temenan lagi sama gue setelah
  tahu sama semua ini”
“Bukan gitu Fin gue cuma kaget dan heran aja”
“Ci gue mau temenan sama kalian bertiga karena cuma kalian yang tulus
  temenan sama gue beda sama yang lain yang mandang gue aneh dan cupu,
  dan kenapa gue enggak jujur ke elo semua karena gue takut loe semua
  enggak mau temenan lagi sama gue setelah tahu semua ini”
“Terus masalah foto-foto Ben, bisa sebanyak ini loe dapet dari mana?”
“Waktu kelas satu gue sering ambil gambar dia secara sembunyi-sembunyi
  dan setelah gue sadar ternyata foto dia jadi sebanyak ini dan saat itu gue                                                                                                                       
  sadar ternyata gue jatuh cinta dan sangat menggilai dia”

     Ya Tuhan… aku sungguh tidak dapat menyangka ternyata anak berkaca mata ini sangat menyukai brandal sekolah bahkan begitu banyak foto milik Ben yang ia tempel sangat besar ukuran poster, bahkan Fini sama seperti anak wanita lain yang menyukai Ben, oh…tidak… bukan sama tapi memang seperti anak wanita lain yang terlahir dari keluarga kaya raya, tapi Fini tidak pernah menunjukan itu semua di hadapan kami malah terlihat sederhana tapi bagaimana aku menjelaskan kepada Ado dan Fikri sedangkan mereka berdua sangat benci dengan anak-anak yang suka memamerkan kekayaan tapi tidak dengan Fini, entahlah apakah mereka bisa menerima ini semua karena semakin Fini tidak jujur mereka akan semakin merasa di bohongi.
Dan satu hal lagi yang baru aku tahu akan Fini, ternyata Fini adalah anak tunggal pewaris salah satu hotel berbintang di Jakarta milik kakeknya mungkin ini juga alasan segala kemaun Fini dapat terpenuhi karena kedua orang tuanya tidak memiliki adik atau saudara lagi, aku semakin terkejut dan tercengang akan segala tentang Fini yang seutuhnya baru ku kenal hari ini.

“Bang es jeruk satu, loe pada mau pesan minum apa?” Fikri berteriak kepada penjual minuman di kantin sambil menoleh ke arah kami bertiga
“Loe pada pesan makan dan minum aja semaunya nanti gue yang bayar
 dech”
“Gila ada angin apa loe Fin mau teraktik kita-kita?”
“Angin ribut Do… hhhaaaa” Fini tertawa mencairkan suasana
“Udah dech Do jangan banyak tanya kan lumayan makan gratis, mau angin
  ribut atau angin duit sekalipun yang penting makan gratis”
“Yah loe Fik kalau makan aja paling doyan”
Semua tertawa mendengar celotehan Fikri tapi aku hanya menatap ke arah Fini dan aku tak merasa heran seperti keheranan Ado ke Fini


TIGA

“Caci tolong tante sebentar”
“Ada apa tante” Caci menghampiri tantenya yang berada di dapur
“Kamu tolong anter bolu kukus buatan tante ke rumah tante Tiwi”
“Ok tante” Dengan semangat Caci menerima sebuah piring kue besar yang berisi sebuah bolu yang masih sangat hangat buatan tantenya, harumnya pun sangat menggoda indra penciuman
“Caci kamu semangat banget, ada apa?”
“Enggak kenapa-kenapa ko tan”
“Aneh semangat kamu kaya semangat pejuang” Caci hanya tertawa mendengar tantenya agak bingung sebelum pada akhirnya berlalu dan menuju rumah bercat hijau muda no. 7 yang berada tepat di sebelah rumahnya.
     Ada apa ya dengan aku ini kenapa begitu bersemangat menuju rumah Veda padahal kan aku benci dengan sifat ke jutekkan dan sikap dinginnya terhadap ku (hati Caci terus bertanya-tanya).
     Caci pun menekan bel rumah bercat hijau muda bernomor tujuh milik Veda dan setelah menunggu beberapa menit penghuni rumah itu keluar dan membukakan pintu, tante Tiwi yang membukakannya, Caci pun
langsung tersenyum dengan senyum termanisnya dan memberikan apa yang Caci bawa dengan menunjukan wajah ketulusan, seolah-olah ia tengah menjadi Caci yang lain yang sedang menarik perhatian seorang calon mertua.

 Tante Tiwi sedikit bingung mungkin karena baru pertama kali bertemu dengan Caci.
“Emm… sore tan… mungkin sebelumnya kita belum kenal, perkenalin nama
 ku Caci, aku tinggal di sebelah dan ini ada kue bolu kukus dari tante bebie”
  Setelah Caci memperkenalkan diri wajah tante Tiwi tidak lagi bingung justru terlihat wajah keramahan yang terpancar dari wajahnya. Tante Tiwi jelas terlihat lebih tua di banding tante bebie, ini semua jelas terlihat dari wajahnya tapi entah apa yang membuat tante Tiwi dapat terlihat lebih muda dari umurnya, aku sendiri pun kaget karena tante Tiwi sangat jauh dari apa yang ku bayangkan kulit wajahnya terlihat bersih bercahaya serta sangat kencang seperti orang kaya yang sering melakukan perawatan tapi itu semua tidak terlihat dari gaya berpakaiannya yang sangat sederhana.

“Makasih ya, oya masuk dulu yuk, mampir ke rumah tante”
“Makasih tante” Caci tidak menyiakan kesempatan tanpa basa-basi lagi Caci segera masuk berharap bisa mengetahui banyak tentang Veda
“Caci mau minum apa?”
“Enggak usah repot tante, Caci cuma sebentar kok enggak lama”
“Tunggu sebentar ya tante buatin minuman dulu”
     Saat aku menolak dan ingin segera pulang tiba-tiba Veda keluar dari kamarnya sambil menuruni anak tangga dan menggendong Cha-cha.

“Mami susunya Cha-cha mana?” Veda begitu kaget melihat kedatangan ku dan Cha-cha segera berlari menghampiri tante Tiwi.
“Iya ini baru mau di buat, Veda kamu temenin Caci ngobrol bentar ya”
 Di ruang tamu yang tak jauh berbeda dari rumah tante bebie aku terduduk bersampingan dengan Veda dan kami sama-sama terdiam.

“Loe ngapain di rumah gue?” dengan ketus Veda memulai berbicara
“Sinis banget nanyanya, gue cuma anterin kue buat nyokap loe”
“Terus sekarang ngapain masih di sini, tunggu di usir?”
“Ya ampun sadis banget loe! Enggak usah di usir gue juga udah mau pulang”
“Bagus sekarang tunggu apa lagi?”
     Dengan kesal Caci segera bangkit dari sofa dan segera ingin pergi dari rumah Veda walau dalam hatinya caci berharap Veda akan memanggilnya untuk sedikit ramah atau ingin meminta maaf atas perbuatanya, namun baru saja tiga langkah Caci melangkah tiba-tiba Veda memanggil, Caci sangat terkejut.
“Eh kalau mau pulang jangan lupa tutup lagi ya pintunya!”
Dan kata-kata itu sungguh tak sesuai dengan apa yang Caci bayangkan dan sangat terlihat wajah kesal dari raut Caci yang tak dapat di sembunyikan.

***

     Mata coklat bulat nan teduh itu menerawang jauh ke langit sore, matanya jauh memandang langit-langit yang bergerak bagai tengah menunjukan betapa luas bumi yang di ciptakan sang kuasa, Caci bayangkan beberapa awan putih yang cerah melewati dirinya yang ia pandang di jendela cafe, terkadang bentuknya bagai angsa tapi terlihat seperti burung, entah lah tak jelas, tiba-tiba terlintas di fikirannya tentang kejadian seusai pulang sekolah.

“Kamu kenapa enggak cerita kalau kamu sekolah disini sekarang?”
“Buat apa aku cerita apa peduli kamu”
“Aku peduli… jangan kamu fikir karena masalah itu, kamu jadi anggap aku
 enggak peduli sama kamu, aku dan keluarga ku kaget banget”
“Kalau kamu kaget bagaimana sama aku, kemana aja kamu selama ini saat-
 saat aku butuh dukungan dari kamu, kamu malah tinggalin aku, dari mana
 kamu tahu tentang sekolah ku?”
“ enggak penting aku tahu dari mana, maaf kalau cara aku salah tapi aku
  berusaha hubungin kamu, tapi nomor kamu enggak aktif dan rumah kamu ,
  juga udah pindah, sekarang gimana kabar tante dan Cha-cha”
“Lebih baik kamu jangan cari tahu lagi dimana aku sekarang dan bagaimana
 keadaan keluarga ku”

“Selamat pagi anak-anak?”  Sapa guru bahasa Indonesia ku, pagi ini bu Wiwid terlihat begitu bersemangat
“Paaaaggggiiiii buuuu” jawab anak-anak kompak
“Sebelum kita lanjutkan pelajaran kita pada minggu lalu, ibu ingin
 memberitahukan pengumuman pada kalian semua, dengan bangga tahun
 ini sekolah kita terpilih dalam lomba karya seni tingkat nasional, dan
 ibu sudah memiliki wakil untuk lomba ini, yaitu Caci dan Veda dari kelas ini”
“Memangnya lomba apa bu?” Tanya Ado penasaran
“Pembacaan puisi karena ibu lihat Veda dan Caci sangat menjanjikan
 untuk mendapatkan sebuah mendali untuk sekolah kita ini, kalian berdua
 setuju kan?”
“Ibu curang saya kan juga berbakat masa Caci dipilih saya enggak” protes Ado
“Maaf Ado bukan ibu curang tapi dari setiap kelas hanya dipilih dua orang,
 kamu juga berbakat tapi yang nentuin bukan cuma ibu tapi sekolah yang
 nentuin”

  Terlihat betul raut kecewa dari Ado, karena aku tahu betul Ado sangat gemar membuat puisi dan tak jarang puisi-puisi yang Ado buat sangat romantis dan menyentuh tapi rasanya malas harus bekerja sama juga dengan manusia dingin dan jutek macam seperti Veda.

  Sejak pengumuman perlombaan itu sekolah ku sedikit sibuk dan sangat konsen pada perlombaan yang masih satu bulan lagi padahal masih sangat lama tetapi segalanya telah mulai di siapkan karena sekolah ku cukup banyak ambil bagian nyaris semua katagori di ikuti, seperti pementasan theater, drama musical, pertunjukan alat musik tradisional, tari-tarian daerah, paduan suara, dan terakhir pertunjukan puisi yang di bagi menjadi dua kelompok, satu kelompok yang terdiri dari 8-9 orang serta satu kelompok lagi berpasangan, dan hari ini latihan pertama ku di mulai. Latihan ini di pimpin oleh ibu Wiwid sendiri, tetapi aku sedikit terkejut karena tiba-tiba ada Ado sahabat ku yang mengekor di belakang bu Wiwid.

“Do loe ngapain disini?”
“Kaget ya?” Caci hanya mengangguk
“Gue udah mohon sama bu Wiwid buat ikut dan akhirnya kerja keras gue
  berhasil”
’’Tapi kenapa loe maksa banget supaya ikut, gue aja males Do musti pulang
  telat terus selama satu bulan ini”
“Gue enggak tenang kalau sahabat gue sendirian” obrolan kecil kami pun terhenti karena bu Wiwid memberikan intruksi.
“Harap tenang anak-anak, ibu mohon jangan ada suara lagi” Saat semuanya nyaris tenang bahkan tepatnya hening bu Wiwid segera melanjutkan pembicaraannya lagi.
“Sebelumnya ibu ucapkan terima kasih atas waktu kalian semua, tanpa
 membuang-buang waktu lagi kita akan mulai membagi kelompok, Feredi
 dengan Filma kalian bekerja sama di bait pertama, Ado dengan Titta di bait
 ke dua, dan bait selanjutnya Veda dengan Caci di bait ke tiga dan sisanya
 atau bait ke empat Vano dengan Dian” Sekali lagi mata ku terlongo tak percaya harus lagi dan lagi bekerja sama dengan seorang Veda dan sekali lagi pria dingin itu tidak berekspresi, bait pertama pun segera di bacakan.

SUNGAI CILIUWUNG YANG MISKIN

Sungai ciliwung yang miskin, tak kutahu dukamu
Duka yang coklat, merambat kota Jakarta yang padat
Apakah itu tangisan membasahi bumi resah ?
Tumpukkan nasib menjelujur kota gelisah.

 Sungai ciliwung yang miskin, tak kutahu dukamu
 Duka kekal tak sampai jangkauanmu; tangismu o tangismu
 Lahir disini kehidupan dewasa dan kesuburan bumi
Tonggak kesabaran merambat alur kali.

Adakah sampai disini kita bertemu dan berpisah
Dan kita hitung pita belitan yang meneliti kota berdebu
Pijar lampu mulai suram, sepi tiang membayang
Pelan melanggkah meninggalkan arus jaman

Sungai ciliwung yang miskin, tak kutahu dukamu
Duka yang coklat, merambati hidup lampau dan kini
Anak-anak jaman telah menyibak keruh dan ombak
Untuk kehidupan kota yang cerlang, kota yang diidamkan.
                                           
                                                                                             Slamet Sukirnanto
                                                                                               1967
               
“Ibu cukup puas dengan latihan pertama kita, semua punya camestri, tapi
  ada apa dengan Veda dan Caci kalian sangat bagus dan lantang membaca
  bait ke tiga tapi seolah-olah tidak ada komunikasi di antara kalian berdua”
Caci dan Veda sama-sama terdiam dan tidak saling tegur sapa.
“Baik anak-anak ibu membutuhkan dua orang lagi untuk membacakan puisi
  yang kedua dan ibu pilih Caci dan Veda untuk membacakan puisi kedua”
“Saya keberatan bu, satu puisi tadi aja ibu bilang saya enggak ada camestri
  gimana puisi yang kedua”
“Maka dari itu Caci kamu tunjukin kekompakkan kalian dan kenapa ibu pilih
  kalian berdua sebagai pasangan karena cuma kalian berdua yang bagus
  membacanya, lantang, intonasinya tepat, mimik muka kalian juga sangat
  menjiwai setiap bait”
Akhirnya tidak banyak protes dengan setengah hati Caci mengikuti kemauwan bu Wiwid.

Dengan Kasih Sayang

WS. Rendra
Dengan kasih sayang
Kita simpan bedil dan kelewang
Punahlah gairah pada darah.

Jangan!
Jangan dibunuh para lintah darat
Ciumlah mesra anak jadah tak berayah
Dan sumbatkan jarimu pada mulut
Peletupan
Kerna darah para bajak dan perompak
Akan mudah mendidih oleh pelor.
Mereka bukan tapir atau badak
Hatinya pun berurusan cinta kasih
Seperti jendela terbuka bagi angin sejuk!

Kita yang sering kehabisan cinta untuk mereka
Cuma membenci yang rompak.
Hati tak bisa berpelukan dengan nampak hati mereka.
Terlampau terbatas pada lahiriah masing pihak.
Lahiriah yang terlalu banyak meminta!

Terhadap sajak yang paling utopis
Bacalah dengan senyuman yang sabar.

Jangan dibenci kaum pembunuh.
Jangan dibiarkan anak bayi mati sendiri.
Kere-kere jangan mengemis lagi.
Dan terhadap penjahat yang paling laknat
Pandanglah dari jendela hati yang bersih.

 Saat bait terakhir Veda berhenti membaca dan tidak meneruskan bait puisinya lagi, wajah Veda pucat pasi teks puisi yang di pegangnya terjatuh selang beberapa detik kini gantian tubuhnya yang melemas dan nyaris Veda terjatuh ke lantai, tetapi dapat di tahan tangan Ado yang sigap, sontak keadaan ini membuat seluruh anak yang berkumpul diruang seni menjadi panik melihat Veda.

“Veda kamu kenapa?” Tanya bu Wiwid dengan panik, Veda yang tergeletak lemas di lantai hanya menggelengkan kepala seolah ingin menenangkan suasana yang panic.
“Kamu sakit?”
“Saya enggak kenapa-napa bu”
”Kamu yakin???
  kita lanjutin besok latihannya, kita masih punya banyak waktu untuk
  persiapan” Veda terdiam tidak menjawab.
“Veda, ibu rasa kamu harus istirahat, Ado kamu bawa Veda ke UKS sekolah”
  Aku sungguh tidak mengerti dengan manusia dingin ini, kenapa tubuhnya melemas ketika membaca bait terakhir dari puisi ini apa betul Veda sakit atau sebetulnya ia memiliki kenangan dengan puisi itu.
   Setelah beberapa menit dari kejadian itu sebelum pulang Caci menyempatkan diri untuk berkujung ke UKS sekolah hanya ingin melihat bagaimana kondisi Veda.

“Ado, Veda gimana keadaannya?”
“Masih diem kaya tadi”
“Sekarang Veda ada di mana?”
“Masih di dalam tuh” Ado mengarahkan matanya ke ruang UKS, seolah-olah ke dua bola matanya menjadi tangan yang dapat menunjuk ke arah Veda berada, dengan langkah pelan Caci melangkah menuju ranjang tempat Veda terduduk terdiam, Caci ikut duduk di samping Veda dan sama-sama terdiam, Caci memandang bola mata pria berkulit putih ini, wajahnya masih pucat.

“Kenapa masih di sini?” Veda mulai mengeluarkan suara tetapi kali ini suaranya lebih lembut dari biasanya mungkin karena kondisinya yang sedang tidak enak badan.
“Emm… udah mau pulang kok, cuma gue mau lihat kondisi loe dulu”
“Ya udah pulang sana, nanti ke sorean gue udah enggak kenapa-napa” Caci kaget sekali dengan ucapan Veda, Veda lebih ramah dan lembut nada bicaranya berbeda sekali dengan biasanya, tiba-tiba Veda bangkit dari ranjang UKS dan seolah-olah ingin membuktikan bahwa dia betul-betul tidak apa-apa.

“Loe mau kemana?”
“Ya pulang lah… loe mau nginep di UKS?” baru saja di puji lebih ramah ternyata sudah kambuh lagi juteknya.

***

“Bang somay dua, es teh manis empat, bakso satu, sama nasgornya satu”
“Tumben ya kita berempat bisa ngumpul gini”
“Iya…” Sambar Fini.
   Sore ini usai latihan puisi kami berempat, Ado, Fikri, Caci, dan Fini berkumpul bersama dan makan di kantin yang masih buka
“Gimana Ci latihannya?” Tanya Fini pada Caci
“Oya gue denger dari anak-anak loe pasangan puisi paling romantis ya
  sama Veda?”
Tiba-tiba Ado menggebrak meja kantin setelah Fikri mengomentari cara aku dan Veda dalam menyampaikan bait demi bait puisi.
“Haahhh…. Mana sih pesanan gue, lama banget…” setelah menggebrak meja Ado pergi meninggalkan meja  kami dan menuju penjual makanan yang tadi Ado pesan makanannya.

“Teman loe kenapa Fik?” Tanya Fini kepada Fikri dengan nada menyindir.
“Enggak tahu Fin, lagi bulanan kali mangkanya sensi”
Fini tertawa mendengar celotehan polos Fikri dan aku pun ikut tertawa, namun tiba-tiba ada sesuatu yang mengalihkan pandangan ku dan menghentikan tertawa ku, karena aku melihat Veda di tempat parkiran yang jelas terlihat dari bangku kantin yang aku duduki, dari kejauhan aku melihat Veda menghampiri seorang wanita yang asing bagi ku, aku tidak mengenal sesosok wanita yang tidak terlalu tinggi dan masih mengenakan seragam SMA, tapi dengan jelas aku tahu betul itu bukan seragam sekolah ku dan seketika Veda naik mobil milik wanita itu dan berlalu dari pandangan ku, jika di lihat-lihat sepertinya wanita itu adalah wanita yang tempo lalu ku lihat tengah bertengkar dengan Veda, aku semakin penasaran siapa wanita itu dan bagaimana masa lalu Veda.

***

Jangan dibenci kaum pembunuh.
Jangan dibiarkan anak bayi mati sendiri….

  Kembali lagi suara itu tertahan dan tak dapat di keluar kan seolah-olah saat bait itu di bacakan seluruh aliran darah dan mulut serta nadi yang berdenyut tertahan, seolah-olah ada yang terkunci dan entah kuncinya di buang di mana.

“Kamu masih belum sehat?” Bu Wiwid bertanya pada Veda
“Saya enggak kenapa-napa bu, emm… boleh saya minta waktu buat
  pelajarin bait ini lagi?”
”Oh silahkan kalau itu bisa membuat kamu lebih baik lagi dalam pelafalan
  puisi ini, baik anak-anak latihan kita lanjutin lusa seusai pulang sekolah”

 Ketika aku sedang bersiap-siap ingin pulang Veda menghampiri ku dan Ado,
“Mau pulang bareng enggak?”
“Enggak usah repot bro, Caci gue yang anter pulang”
  Setelah ajakan pulang bersamanya di tolak oleh Ado bukan Caci, Veda segera melanjutkan langkahnya untuk pulang sendiri tanpa Caci.

 “Ado sorry gue mau pulang bareng Veda aja, ada yang mau gue tanya”
“Yahhh tapi Ci?”
“Loe pulang bareng Fini aja dia masih di perpus, sorry ya Do”
   Tanpa memperdulikan Ado, Caci segera berlari mengejar langkah Veda yang sudah jauh meninggalkannya, ketika dari ke jauhan sudah melihat Veda, Caci segera memanggilnya agar Veda menghentikan langkahnya yang panjang.

“Vedaaaa…… Tunggggggguuuuuuu……..!” Veda pun menoleh dan Caci berlari kecil untuk mengejar Veda.
“Gila… loe jalan cepat banget sih” Caci berbicara dengan nafas terengah-engah, Veda hanya memandang Caci, lalu tidak memperdulikan Caci yang terengah-engah mengejarnya dan kembali melanjutkan langkahnya.
“Ihh… tungguin” rengek Caci
“Oya cewek yang kemaren siapa?
  Cewek loe atau mantan loe?” Veda terdiam tidak menjawab dan langkah panjangnya semakin cepat meninggalkan langkah Caci.
“Ko diem?
 Sorry dech kalau pertanyaan gue salah, gue mau tanya, kenapa loe
 enggak pernah bisa lanjutin bait puisi itu, atau loe punya kenangan buruk
 di puisi itu?”
Tiba-tiba langkah Veda terhenti dan menatap Caci dengan tajam,
“Denger ya baik-baik!!!
 gue ramah sama loe bukan karena gue berubah baik sama loe, dan denger
 ya gue enggak suka sama orang yang banyak nanya dan bawel kaya loe,
 kita emang satu tim buat wakilin sekolah kita tapi bukan berarti loe
 harus tahu semua tentang gue, ngerti loe!!!”

     Setelah membentak Caci, Veda segera meninggalkan Caci dan caci masih terdiam di bentak habis-habisan oleh Veda cowok jutek, dingin dan tak berperasaan macam seperti itu, Caci sangat kesal wajahnya berubah menjadi sangat-sangat BT.

“Pagi bu…”
“Pagi Veda, ada perlu apa, sampai pagi-pagi begini sudah
 mencari ibu”
“Saya mau membicarakan tentang latihan kemarin”
“Oh, ada apa?
  kalau kamu belum sehat lebih baik jangan di paksa”
“Bukan bu, saya sudah membaca puisi yang ke dua yang saya baca
 dengan Caci berulang kali tapi saya enggak bisa bu suara saya selalu
 tertahan di bait terakhir”
“Apa kamu punya kenangan buruk dengan puisi itu?”
“Tidak ada bu, tapi bait terakhir itu….” Mendadak mata Veda berkaca-kaca entah mengapa bagai ada beban begitu berat yang ingin keluar tapi tak dapat ia keluarkan.
“Veda kamu sakit lagi?
  Ibu tidak akan memaksa, karena pasti setiap orang pasti punya
  kenangan begitu juga dengan kamu, tapi siapa yang akan menggantikan
  kamu?”
“Aldo aja bu, saya yakin dia juga bagus”
“Padahal kamu sudah cocok sekali loh dengan Sezheci”
“Maaf bu kalau saya mengecewakan tapi saya sudah mencoba tetap saya
  enggak bisa”
“Iya ibu ngerti, nanti ibu lihat apakah Aldo sebaik kamu membacanya”
“Makasih bu atas pengertiaannya”

     Caci melewati koridor pagi ini sangat terburu bahkan bahayanya Caci melewati koridor sambil membaca buku pelajaran, namun tiba-tiba langkahnya terhenti tetapi Caci masih tertunduk sambil membaca dan tidak memandang siapa yang ada di hadapannya hanya sepatu orang yang ada di hadapannya yang terlihat, Caci melangkahkan kakinya ke kanan dan orang itu juga ke kanan dan Caci melangkahkan kakinya ke kiri orang yang ada dihadapannya juga ke kiri sebelum kesabarannya habis orang yang entah siapa yang ada di hadapan Caci segera mengambil buku yang dibaca Caci.
“Kalau jalan jangan sambil baca, bahaya loh” Sesosok pria itu tersenyum sambil menutup buku pelajaran yang di baca Caci dan mengembalikan pada Caci sebelum berlalu dari hadapan Caci.
Caci sangat terkejut karena yang bicara di hadapannya adalah Ben karena pria sok tajir itu mau menegurnya dengan ramah padahal selama ini dia paling anti dengan anak-anak yang sekolah bermodal beasiswa, mungkin tadi pagi salah makan kali ya (fikir Caci dalam hati).

“Ya ampun Veda loe itu keren banget sih”
“Iya gue sama Sisi sampai terpanah, terpaku lihat loe kemarin latihan”
“Tapi ya Pril gue enggak setuju kalau yang jadi pasangannya Caci
  lebih pantes juga sama gue, iya kan Pril?”
“Wah bener banget tuh si”        
   
    Caci sedikit terkejut melihat bangku Veda di penuhi oleh dua makhluk paling menjijikan di sekolahnya siapa lagi kalau bukan Sisi dan April, mereka berdua adalah teman sekelas yang paling rese sedunia mereka sering sekali mengejek Fini dan mengolok-olok tentang Fini yang cupu dan aku selalu membelanya dan sampai akhirnya malah aku yang di olok-olok juga dan banyak pria di sekolah ini yang mengejar-ngejar Sisi apalagi kalau bukan karena dia adalah bintang iklan atau tepatnya model yang tengah naik daun dan salah satu pria yang mengejar-ngejarnya adalah Ben maka dari sebab itu Fini sangat kecil hati untuk menyukai Ben tapi entah mengapa pagi ini Sisi dan April ada di meja Veda, sepertinya mereka terpaku melihat latihan kemarin memang semenjak aku dan Veda menjadi pasangan untuk lomba puisi banyak yang membicarakan kami terutama Veda menjadi incaran banyak wanita sampai kakak kelas sekali pun, coba mereka tahu kalau Veda tidak pernah bisa menyelesaikan bait terakhir yang di bacanya bersama ku.

“Kalian berdua bisa duduk di bangku kalian enggak sih!!!” Veda membentak April dan Sisi, sontak ini semua jadi sorotan anak-anak yang lain karena sebelumnya tidak ada yang berani membentak ke dua makhluk menjijikan ini.
“Heh… loe tahu enggak siapa yang lagi loe bentak, seorang Sisi Permitha
 seorang model apa loe mau berurusan sama Ben”
“Udah tenang Pril jangan emosi gitu, gue suka lagi sama cowok sok jual
  mahal kaya gini, mending kita duduk aja yuk”

     Mereka berdua segera duduk kembali di bangku mereka masing-masing rasanya ada senyum kemenangan dari Caci karena bukan dia saja yang pernah di bentak oleh Veda kedua makhluk itu juga kini sudah merasakan apa yang ku alami kemarin, tapi aku akui Veda berani juga membentak mereka berdua apa dia enggak takut akan berurusan dengan Ben karena Sisi paling suka ngadu ke Ben kalau dia kenapa-napa apalagi ini sampai di bentak kaya gitu di depan kelas pula.

“Assalammualikum…”
“Walaikum salam, eh teteh… bu teh Caci udah pulang nich” Ima menyapa ku sore ini begitu gembira, mungkin Ima rindu kepada ku karena semenjak sibuk latihan puisi aku jadi tidak memiliki waktu bermain dengan para sepupu ku.
“Tumben Ci jam segini udah pulang?”
”Iya tan hari ini enggak latihan”
“Oh ya sudah ganti baju dulu sana abis itu baru makan dan sholat”
“Iya tan”

     Caci segera naik ke kamarnya untuk mengganti baju seragamnya, ketika igin mengganti pakaian Caci memandang jendela kamarnya dan ternyata Caci baru tersadar bahwa jendela kamarnya tepat menghadap ke kamar Veda dan halaman dari rumah keluarga Veda, dan dari tempat Caci berdiri di sudut kamarnya dengan jelas ia dapat memandang Veda yang mengenakan kaos putih dan tengah memetik senar gitarnya dan Caci juga baru tahu bahwa Veda bisa bermain gitar, entah mengapa terlihat begitu keren dirinya dengan memainkan gitar, tiba-tiba kekagumannya terhadap Veda terhenti karena kedatangan tante Bebie yang mengejutkannya.

“Hayo lagi ngeliatin siapa tuh” tante ku bertanya usil
“Tante apa-apaan sih… dateng-dateng ngagetin nih…”
“Siapa yang ngagetin kamu, Tante udah ketuk pintu tapi kamu aja yang
  enggak dengar karena kamu sibuk memperhatikan anak tetangga
  mangkanya kamu enggak sadar tante dateng” muka Caci langsung memerah mendengar penjelasan tantenya.
“Kamu suka dia ya Ci?”
“Ah tante apaan sih, enggak tuh”
“Tante enggak ngelarang kok kalau kamu suka atau jadian sekali pun sama
  Veda atau sama cowok lainnya karena itu semua wajar kamu kan udah
  besar yang penting tante tahu cowok yang kaya gimana yang lagi deket
  sama kamu, tante kan juga pernah muda jadi tante tahu gimana perasaan
  kamu sekarang”
”Ah… tante sok tahu nih… Caci enggak mungkin suka sama Veda dia itu
  jutek tan”
“Hhaaa… masa sih… tapi menurut tante Veda anak yang baik”
“Tante aja yang belum kenal dia, dia itu ngalahin cewek yang lagi dapet
  galaknya”
“Mungkin kamu bawel kali, kan ada cowok yang benci sama cewek
  yang banyak tanya”
“Masa sih… Caci kan cuma nanya apa yang mau Caci tanya”
“Kamu fikirin sendiri aja dch, ayo jangan kelamaan tante tungguin di meja
  makan ya?”

Kita yang sering kehabisan cinta untuk mereka
Cuma membenci yang nampak rompak.
Hati tak bisa berpelukan dengan hati mereka.
Terlampau terbatas pada lahiriah masing pihak.
Lahiriah yang terlalu banyak meminta!

“Aduh Ado jangan lembek gitu dong bacanya, yang lantang, yang tegas”
      Hari ini latihan terasa begitu lama karena Ado tidak bisa-bisa membaca dengan baik bait puisi itu, hari ini partner ku Ado dan Veda resmi mengundurkan diri dari puisi yang kedua yang harusnya di bacanya bersama ku, pantas tadi setelah latihan puisi pertama Veda dan yang lain langsung pulang.
     Setelah di bentak bu Wiwid kini Ado membacanya dengan teriak-teriak karena tadi Ado tidak tegas dalam melafalannya, padahal biasanya pukul 15.00 aku sudah selesai tapi kini sampai pukul 15.30 belum selesai juga latihannya.

“Ado… jangan teriak-teriak juga bacanya, memang kamu fikir ibu budek?”
“Tadi kata ibu saya kurang lantang”
”Iya tapi enggak kaya gitu juga bacanya, kamu latihan sendiri dulu dirumah
  besok kita latihan lagi, kalau kamu enggak serius ibu bakal cari orang buat
  gantiin kamu”
“Jangan bu jangan”
“Mangkanya jangan main-main latihannya”

      Entah mengapa Veda meninggalkan posisinya dan menggantinya dengan Ado, apakah karena pertengkaranku lusa kemarin karena setelah itu aku dan Veda belum bertegur sapa atau mungkin ada sesuatu yang berhubungan dengannya yang bersangkutan dengan puisi itu, tetapi mengapa pula Ado sangat menginginkan poisi Veda padahal jelas-jelas dia tidak bisa, kenapa sangat memaksakan diri hingga berlatih keras seperti itu.

     Nyaris empat minggu sudah aku dan sejumlah anak-anak yang lainnya latihan puisi seusai pulang sekolah dan hari ini adalah hari terakhir latihan puisi, karena lombanya bertemakan kedaerahaan maka hari ini seusai latihan kami semua akan mencoba sejumlah kebaya dan para pria akan mengenakan pakaian ala abang none.
“Anak-anak ini pakaian yang ibu bawa adalah pakaian yang nantinya akan
  kalian kenakan saat lomba besok, silahkan di coba dulu ya”
     Setelah memilih kebaya entah mengapa hati ku langsung jatuh cinta pada kebaya berwarna ungu karena terlihat begitu simpel dan sepertinya begitu menarik untukku dan akhirnya pas sekali di tubuh ku memang betul selera ku tidak salah, aku keluar dari toilet dan bercermin saat ku bercermin aku meliahat kebaya yang di kenakan oleh Filma yang sedikit gendut dari ku sehingga terlihat seperti ibu-ibu mengenakan kebaya tetapi terlihat betul Filma sangat sesak dengan kebayanya, sedang Tita yang sedikit kurus justru kebesaran, Dian juga sangat pas dengan kebayanya tapi ia mengaku warna kuning kebayanya terlalu mencolok, dan kami sama-sama mengomentari kebaya masing-masing.

“Gimana Ci sama kebaya loe, pas enggak?”
“Iya pas banget”
“Wah kayanya loe doang ya yang enggak ada keluhan”
“Tapi loe kelihatan cocok banget Ci pakai kebaya ungu itu”
“Iya bagus” Caci tersenyum malu di depan cermin toilet mendengar pujian dari teman-temannya dan kami semua satu per satu mulai keluar dari  toilet dan tentu para teman-teman pria ku juga terlihat sangat berbeda mengenakan pakaian khas DKI Jakarta dan ada yang sedikit menarik perhatian ku siapa lagi kalau bukan manusia es itu (Veda), Veda terlihat begitu keren dan berbeda mengenakan pakaian ala abang none bahkan mata ku tak dapat berkedip melihat Veda yang sangat tampan dan sangat-sangat cocok tetapi ada sedikit gurat malu di wajahnya bahkan pipinya memerah seakan-akan dia tidak ada percaya diri mengenakannya.

“Bagaimana apa semua cocok dengan pakaian masing-masing?”
Ibu Wiwid bertanya pada kami semua, sontak langsung di sambut oleh teman-teman ku yang memiliki keluhan kebesaran dan sebagainya pada pakaian mereka masing-masing dan aku justru yang tidak memiliki keluhan apa pun masih tetap menatap Veda, Veda hanya tertunduk malu di hadapan ku, saat aku tengah terpaku menatap Veda tiba-tiba Ado keluar dari toilet.

“Bu ini gimana sih pakai kain sarung kecil yang setelah celananya?
  ko saya enggak bisa-bisa sih” Entah mengapa tiba-tiba semuanya menertawakan Ado mungkin karena raut wajahnya yang kebingungan yang menjadi pusat perhatian.

“Aduh Ado ada-ada aja, pantes dari tadi enggak keluar-keluar” Ucap Fredi dengan nada tertawa melihat Ado yang kebingungan, tiba-tiba Dian mengalihkan suasana tertawa kami menjadi suasana saling memperhatikan
“Oya ngomong-ngomong kok bisa ya kebetulan banget kebaya Caci senada
  warnanya sama sarung punya Veda”
“Iya Dian bener tuh, apalagi blangkonnya juga warna ungu” Titta menambahkan
Seakan tidak mau kalah Filma juga ikut menambahkan
“Wah kalian memang pasangan serasi seperti apa yang di omongin sama
  anak-anak satu sekolah, coba lihat cuma kalian yang warnanya
  sama, iya kan bu?” 
”Iya ibu setuju dengan kalian semua” kini muka Caci dan Veda sama-sama memerah kami sama-sama tertunduk malu mendengar pujian semua anak.
“Wah ibu curang harusnya saya juga sama kaya Caci warna bajunya kan
  bukan Veda aja yang jadi pasangan Caci, di puisi kedua saya juga
  berpasangan dengan Caci”
”Wah Ado iri aja ya” Ledek Vano
“Oh mungkin Ado cemburu kali ya sama Caci dan Veda” Fredi ikut menambahkan meledek Ado
“Wah… sorry sob gue enggak iri atau cemburu cuma perotes aja”
“Sudah-sudah jangan ribut, karena bajunya sudah pas semua ibu berharap
  besok pagi kita semua bisa menampilkan kerja keras kita semua dan ibu
  juga berharap kalian jangan mengecewakan ibu, besok kita berkumpul
  di ruang seni ini sebelum kita berangkat ke tempat perlombaan”

     Pagi ini sedikit berbeda untuk seluruh anak yang mengikuti perlombaan, terutama aku sudah tiba di sekolah lebih awal aku sampai pukul enam pagi, aku fikir aku yang paling pagi ternyata Filma dan Dian sudah tiba dari pukul setengah enam, kami memang para wanita di wajibkan datang lebih pagi karena kami semua harus di make-up agar terlihat cantik karena penampilan juga mempengaruhi penilaian.

Aku, Filma, Titta, dan Dian sudah mulai di make-up, mungkin ini kali pertama aku mengenakan bedak setebal 5cm, maskara, dan macam-macam make-up yang rasanya dapat membuat seluruh wajah ku terasa gatal.
     Beberapa jam kemudian kami semua selesai di make-up aku penasaran dengan hasilnya, karena apa saja yang telah di lakukan oleh para perias wajah ini terhadap wajah mulus ku, dan para perias-perias ini memang sengaja di datangkan oleh pihak sekolah ku, aku merasa seperti buku gambar putih yang bersih, yang telah di coret-coret dengan krayon dan pensil warna seperti apa yang sering di lakukan oleh Rizky dan Crisky kedua sepupu kembar ku yang hobi mewarnai di buku bergambar.

“Ya ampun gue kaya ondel-ondel?” Caci terkejut melihat wajahnya sendiri yang kedua pipinya memerah karena di pakaikan pemerah pipi, Filma justru tertawa melihat komentar Caci terhadap wajahnya
“Enggak ko Ci loe cantik, memang sebelumnya loe enggak pernah pake
  make-up sebanyak ini ya?”
“Hheee enggak pernah, mau kemana juga gue pake make-up” Tutur polos Caci yang membuat para wanita yang terbiasa oleh ke kayaan kedua orang tua mereka sedikit nyengir, bagaimana tidak kebanyakan wanita seumuran Caci pasti sudah mulai mengenal make-up dan sudah bisa bersolek diri tentu berbeda dengan Caci yang super cuek dengan penampilan.

“Oke anak-anak kalau sudah kumpul semua dan sudah selesai persiapannya
  silahkan masuk ke dalam bus yang telah di siapkan”
Bu Wiwid memberikan pengarahan namun saat bu Wiwid memberikan pengarahan Veda yang berdiri di samping ku menatap ku terus bahkan tidak berpaling sedikit pun aku yang mengenakan kebaya ungu dan jeans hitam mungkin sedikit berbeda dan menarik perhatiannya namun rasanya aku tidak nyaman dengan make-up ini tetapi Veda menatapnya bagai terpesona atau aku terlalu berlebihan mengartikan tatapan Veda.

“Caci loe beda banget loe tampil beda banget, serius cantik banget dech”
Justru Ado memuji ku habis-habisan, entah jujur atau apa pujian sahabat ku ini dan Ado pun melingkarkan tangannya di bahu ku dan tambah membuat ku tidak nyaman serta sekaligus menghentikan tatapan Veda ke arah ku.

Saat kami semua mau naik ke dalam bus tiba-tiba ada suara yang memanggil nama ku dan Ado ternyata suara itu berasal dari Fini dan Fikri mereka berlari mengejar aku yang mau menaiki anak tangga bus.
“Caciiii…… Addooooo…..”
“Fini, Fikri… kalian ngapain ke sini?” tanya Ado dan Caci kaget
“Kita berdua mau kasih dukungan lah buat loe, hari ini kan dua sahabat
  kita bakal berjuang”
“Semangat ya Ci fikri bakal berdoa terus biyar semua lancar, loe juga do
  jangan bikin malu Caci”
“Hahahaha… enggalah tenang aja lagi bro, serahin ke gue semua beres”
“Oya ci loe tampil beda banget, loe cantik pake kebaya dan rambut di
  sanggul gitu” pujian Fini membuat wajah Caci memerah
“Tuhkan bukan cuma gue yang bilang cantik, Fini aja bilang gitu”
“Ah apaan sih, biasa aja lagi” tiba-tiba obrolan kami terhenti karena bu Wiwid menegor kami berempat yang ke asikan mengobrol’’
“Ko masih di luar cepat masuk nanti kita bisa telat, dan kalian berdua
  kenapa di luar, pelajaran kan udah mulai dari tadi, cepat kembali ke kelas”
“Iya buuu” Jawab Fini dan Fikri pasrah.
“Ci, Do good lucky ya” Fini dan Fikri berteriak memberikan dukungannya kepada ku dan Ado, aku dan Ado hanya melambai karena sang supir telah meluncur membawa sang roda empat melesat.

     30 menit kemudian kami semua sampai dibalai latihan kesenian di daerah Jakarta barat, dengan sigap bu Wiwid mendaftarkan kelompok kami
Aku juga melihat persiapan dari berbagai sekolah yang terlihatnya sangat matang latihannya karena terlihat betul dari raut muka para peserta dari sekolah lain.

“Nak kita dapet nomor awal semua siap-siap ya”
“Memang kita dapet nomor peserta berapa bu?’’ tanya Vano
“nomor 7 (tujuh), dan puisi ke dua Caci dan Ado kalian dapat nomor
 17 (tujuh belas)”

     Karena masih sedikit lama kami semua menunggu di sebuah aula yang di siapkan oleh panitia untuk semua peserta, di aula ini juga banyak di manfaat kan para peserta lain untuk latihan, tetapi bu Wiwid tidak memaksa untuk latihan tetapi waktu luang ini di gunakan oleh bu Wiwid untuk berfoto-foto, mungkin untuk menghilangkan rasa tegang kami semua.
Dan semua berfose dengan gurat ketegangan bagaimana tidak lima menit sebelum tampil kami semua justru sedang narsis dan otak dari ini semua adalah bu Wiwid, kami semua menatap lensa kamera dan berpose.

     Setelah menunggu akhirnya tibalah waktu kami untuk memasuki sebuah ruangan besar yang tidak ada barang sedikit pun, di ruangan ini hanya ada meja panjang besar berisi tiga juri yang akan memberikan penilain
    
SUNGAI CILIUWUNG YANG MISKIN

Sungai ciliwung yang miskin, tak kutahu dukamu
Duka yang coklat, merambat kota Jakarta yang padat
Apakah itu tangisan membasahi bumi resah ?
Tumpukkan nasib menjelujur kota gelisah.

 Sungai ciliwung yang miskin, tak kutahu dukamu
 Duka kekal tak sampai jangkauanmu; tangismu o tangismu
 Lahir disini kehidupan dewasa dan kesuburan bumi
Tonggak kesabaran merambat alur kali.

Adakah sampai disini kita bertemu dan berpisah
Dan kita hitung pita belitan yang meneliti kota berdebu
Pijar lampu mulai suram, sepi tiang membayang
Pelan melanggkah meninggalkan arus jaman

Sungai ciliwung yang miskin, tak kutahu dukamu
Duka yang coklat, merambati hidup lampau dan kini
Anak-anak jaman telah menyibak keruh dan ombak
Untuk kehidupan kota yang cerlang, kota yang diidamkan.
                                          
                                                                                             Slamet Sukirnanto
                                                                                               1967

“Huhh… gila tegang gue udah selasai nih…”
“Iya tadi gue takut banget” komentar Filma dan Titta setelah masa-masa menegangkan untuk kami semua telah berlalu
“Gimana tadi ada yang salah enggak?” tanya bu Wiwid penasaran
“Lancar bu semua berjalan baik-baik saja” Ucap Fredy sombong padahal di antara kami semua saat berhadapan dengan juri wajahnya lah yang sangat terlihat pucat dan rasa tegang tidak dapat di sembunyikannya.
“Bu bagian Caci sama saya masih lama kan?”
“Memang ada apa Do?”
“Saya mau cari makan dulu laper bu”
“Oh ya udah sekalian aja bareng yuk, anak-anak kita makan dulu dari pagi
  pasti kalian laper”
 
  “Bang bakso 9 mangkok sama minumnya, hoy pada mau pesen apa
     minumnya?” Ado langsung berteriak untuk memesan, setelah makan dan minum di pesan kami semua menunggu dengan manis dan satu per satu pesanan kami segera di antar.
“De minumannya cuma lapan aja?” tanya abang penjual bakso kepada Ado dengan bingung
“Ya sembilan juga bang kan orangnya ada sembilan”
“Lah di pesenannya cuma ada lapan” dengan logat medok betawi asli sang abang bakso memberikan catetan pesanan yang di tulis oleh Ado.
“Ya ampun maaf bang saya yang belum pesen”
“Wow… dasar  pikun” Tentu Ado yang membuat sang abang bakso bingung jadi di sorakin anak-anak
“Terus mau pesen apa minumnya?” tanya sang abang bakso
“Es teh anget bang” dengan sigap penjual bakso itu ingin membuatkan pesanan Ado namun tiba-tiba sang penjual kembali lagi
“De kalau mesen yang jelas dong, mau es teh manis apa teh manis anget
 sih, saya jualnya es teh manis sama teh manis anget, saya enggak jual
 es teh manis anget!”
“Oh maaf bang maksud saya es teh manis” kami semua tertawa begitu kencang melihat Ado debat dengan sang penjual aku fikir Veda tidak akan tertawa ternyata Veda tersenyum dan aku belum pernah lihat senyum manisnya itu, ketika kami semua mulai melahap bakso yang ada di hadapan kami aku memperhatiakan Veda entah sadar atau tidak aku sedang memperhatikannya dan Veda seperti orang yang salah tingkah, sampai-sampai Veda menuangkan begitu banyak sambal di mangkuknya, aku sungguh terkejut tetapi saat bakso yang terlihat sangat pedas itu di lahap Veda wajahnya tidak merah atau tidak seperti ke pedasan wajahnya justru sangat tenang dan santai tentu hal ini semakin membuatku terus memperhatikannya, dan seolah tidak mau kalah atau tengah mencari perhatian juga, Ado juga mengikuti jejak Veda menuangkan sambal begitu banyak, Caci sedikit khawatir karena Ado tidak bisa memakan sambal dalam jumlah banyak.

“Do sambal loe enggak kebanyakan?”
“Enggak kok Ci ini mah enggak pedes”
“Jangan banyak-banyak, loe kan enggak bisa makan pedes, nanti sakit
  Perut loh!”
“Iya Do ingat tugas kamu belum selesai masih ada satu puisi lagi”
”Ibu tenang aja”.
  Kami semua berhasil menyapu bersih magkuk sang abang bakso tanpa tersisa sedikit pun.
“Anak-anak kita kembali ke aula ya untuk menunggu Caci dan Ado tampil
  nanti”
 Dan kami semua melangkah mengikuti langkah bu Wiwid tetapi langkah ku sedikit tertinggal karena aku mengikuti langkah santai Veda jauh di belakang bu Wiwid dan teman-teman ku lainnya.

“Good lucky” Veda mengucapkan kata-kata itu di samping Caci.
“Makasih” Caci tersenyum
“Maaf kalau hari ini bukan gue yang jadi rekan kerja sama loe, sorry gue lari
  dari tugas gue”
”Enggak apa-apa, gue ngerti kok”
     ketika kami tengah mengobrol tiba-tiba ada suara yang memanggil nama Veda, seorang laki-laki berkulit putih dan tingginya nyaris sama dengan Veda serta tatapan matanya yang sayu dan teduh, pria itu mengampiri ke arah kami tetapi untuk ku ini sosok yang asing.

“Veda”
“Gilang” mereka saling memanggil nama masing-masing seperti orang yang sedang mengabsen.
“Ini bener loe kan, Veda”
“Iya ini gue” Veda dan pria yang di panggil Gilang itu seperti teman dekat yang sudah lama tidak bertemu itu semua jelas tergambar dari wajah rindu ke duanya dan wajah Veda berubah menjadi sumeringah.
“Loe apa kabar sob?”
“Seperti yang loe lihat sekarang”
“Loe kan janji sama kita semua untuk saling komunikasi tapi apa sekarang
  malah susah buat di hubungin” Veda hanya tersenyum dan mengalihkan pembicaraan
“Loe lagi lomba juga?”
“Iya, gue wakilan sekolah kita, eh maksud gue mantan sekolah loe, sorry”
”Enggak apa-apa, santai aja lagi”
”Coba loe belum pindah pasti yang wakilin sekolah kita, kita berempat
  bukan bertiga kaya sekarang” Veda kembali tersenyum dan tidak menanggapi komentar Gilang
“Terus anak-anak mana?” tiba-tiba Gilang memanggil kedua temannya yang merupakan seorang wanita
“Ini benaran Veda, Gil”
“Iya, berarti bener yang kita lihat tadi”
”Emang kalian lihat apa?”
“Kita tuh lihat loe dari tadi tapi takut salah orang abis loe beda pakai
  baju kaya gitu” seorang wanita yang merupakan teman Veda yang menggunakan kawat gigi serta tahi lalat di samping bibirnya ini terlihat manis dan rambutnya yang panjang juga menambah wanita ini terlihat sangat cantik, cantik yang alami tidak seperti Sisi si super model yang cantik karena make-up. Bagus sekali saat ini aku tengah terjebak di antara orang-orang yang mengenal Veda sedangkan aku tak mengenalnya (dalam hati Caci)
“Kalian juga rada beda pakai batik”mungkin karena perlombaan ini mengusung tema akan kebudayaan nusantara jadi semua peserta mengenakan pakaian adat kebudayaan milik bangsa tidak terkecuali dengan teman-teman Veda jadi semua orang tampak berbeda.
“Oya Ve ini siapa?”
     Seorang wanita yang memiliki rambut sebahu tetapi manis dan berwajah ramah, yang berdiri tepat di sebelah wanita berkawat gigi itu menunjuk ke arah ku.
”Oy kenalin ini Caci dia teman gue, dan Caci ini sahabat-sahabat gue di
  sekolah lama gue”
dan satu per satu mereka mulai mengenalkan diri
“Gue Gilang, Senna, Anggie”
Dan ternyata wanita cantik berkawat gigi itu bernama Senna dan wanita berambut sebahu berwajah manis dan ramah itu bernama Anggie, mereka semua terlihat sangat ramah pantas Veda mau berteman dengan mereka dan sepertinya Veda banyak bicara seperti merasa nyaman dan itu semua berbeda sekali jika melihat Veda yang pendiam dan dingin di sekolah.
“Oya Ve loe tahu enggak Vira kan juga ikut lomba di sini”
Tiba-tiba obrolan mereka terhenti dan Veda pun terdiam mendengar nama Vira, entahlah Vira itu siapa aku hanya jadi pendengar yang baik karena aku tidak mengerti tentang apa yang mereka bicarakan.

“Gue enggak mau tahu tentang dia lagi”
“Sorry kalau gue salah ngomong”
”Enggak apa-apa Gil”
”Tapi Ve kalau menurut gue kalian harus ketemu dan selesain apa yang
  belum selesai” Senna mencoba memberikan saran
“Dia udah tahu di mana gue sekolah sekarang dan menurut gue semua
  udah selesai”
“Udah dong guys jangan buat Veda jadi BT, kita kan jarang punya waktu
  kumpul gini” Anggie berusaha menenangkan teman-temannya, aku melirik jam tangan ku sepertinya aku sudah terlalu lama menghilang dari teman-teman yang lain.
“Veda gue ke aula lagi ya, takut di cariin bu Wiwid”
”Bareng aja ci, gue cabut duluan ya”
”Jangan lupa untuk hubungin kita dan lain waktu kita ngumpul bareng ya”
 Veda hanya mengangguk dan tersenyum pada sahabat-sahabatnya sebelum pergi dengan ku dan berlalu dari hadapan mereka.

     Alangkah terkejutnya sewaktu dalam perjalanan menuju aula karena bu Wiwid dan sejumlah teman-teman ku tengah berlari-lari panik.
“Ibu ada apa, kenapa lari-lari?”
”Untung ibu ketemu kalian, dari mana aja sih kalian”
”Maaf bu saya yang salah jangan salahin Caci” Veda berusaha membela Caci
“Udah enggak penting siapa yang salah, sekarang kamu Veda tolong gantiin
 Ado di puisi yang ke dua”
”Loh Ado memang kenapa bu?”
“Ado sakit perut karena ke banyakan makan sambal, sekarang Ado udah di
  bus mau di bawa ke rumah sakit oleh sebab itu kamu gantiin posisi Ado”
”Ta… tapi bu…”
”Jangan banyak tapi ini kondisi gawat, nanti setelah antar Ado ke rumah
  sakit ibu kesini lagi, kalian cepat kembali ke aula tadi nomor pesertanya
  udah nomor sepuluh”

     Dengan berat hati Veda mengikuti kemauan bu Wiwid karena ternyata semua teman-teman yang lain ikut mengantar Ado ke rumah sakit
“Gimana kalau gue enggak bisa, gimana kalau tiba-tiba puisinya enggak
  selesai lagi?”
”Loe tenang dong, jangan pesimis loe kan belum coba” Caci berusaha menenangkan Veda.
“Gue minta maaf kalau nantinya gue bikin kecewa”
”Iya enggak apa-apa kita coba dulu ya, tadi itu semuanya teman loe?”
”Iya, mereka semua sahabat gue”
”Gue boleh tanya enggak?”
”Mau tanya apa?”
”Gue boleh tahu enggak siapa Vira itu?”
”Emm… sekarang loe lihat ke kanan loe, ada cewek yang pake kebaya
  warnanya sama kaya loe dan rambut di sanggul juga?”
Aku mencari apa yang di maksud oleh Veda dan sepertinya wajahnya tidak asing bagi ku.
“Emm… kayanya gue pernah lihat dia, tapi dimana ya?”
“Iya dia cewek yang waktu itu datang dan ngobrol sama gue pas pulang
  sekolah”
“Oh… pantes ko kayanya gue pernah lihat, kalau gue boleh tahu dia siapa-
  nya loe?” Veda hanya terdiam saat pertanyaan itu aku lontarkan bahkan Veda masih terdiam sampai akhirnya nomor kami di panggil, saat memasuki ruangan untuk ke dua kalinya aku lebih tegang dari pada sebelumnya karena aku takut Veda tidak dapat menyelesaikan bait puisinya seperti latihan.

Dengan Kasih Sayang

WS. Rendra
Dengan kasih sayang
Kita simpan bedil dan kelewang
Punahlah gairah pada darah.

Jangan!
Jangan dibunuh para lintah darat
Ciumlah mesra anak jadah tak berayah
Dan sumbatkan jarimu pada mulut
Peletupan
Kerna darah para bajak dan perompak
Akan mudah mendidih oleh pelor.
Mereka bukan tapir atau badak
Hatinya pun berurusan cinta kasih
Seperti jendela terbuka bagi angin sejuk!

Kita yang sering kehabisan cinta untuk mereka
Cuma membenci yang rompak.
Hati tak bisa berpelukan dengan nampak hati mereka.
Terlampau terbatas pada lahiriah masing pihak.
Lahiriah yang terlalu banyak meminta!

Terhadap sajak yang paling utopis
Bacalah dengan senyuman yang sabar.

Jangan dibenci kaum pembunuh.
Jangan dibiarkan anak bayi mati sendiri.
Kere-kere jangan mengemis lagi.
Dan terhadap penjahat yang paling laknat
Pandanglah dari jendela hati yang bersih

 Ya tuhan lagi-lagi Veda terdiam di dua bait terakhir, bagaimana ini suasana sempat hening untuk beberapa detik, suara lantang itu tertahan seperti sulit untuk di keluarkan aku melihat keringat dingin itu bercucuran dari wajah Veda rasanya Veda terlalu memaksakan diri bahkan aku takut dia lemas dan jatuh pingsan, dan tiba-tiba Veda membaca dua bait terakhir tetapi entah mengapa tiba-tiba sambil membacakan puisi itu matanya mengeluarkan air mata dan Veda menangis sambil menyelesaikan puisi itu.
















EMPAT
“Gimana kabar loe?”
“Udah baik kok”
“Loe enggak operasi usus buntu aja harusnya udah bersyukur tahu”
“Iya Fikri…” Fikri, Caci, Veda, Fini dan Bu Wiwid, seusai pulang sekolah kami menjenguk Ado yang masuk rumah sakit karena saat perlombaan beberapa waktu lalu Ado kebanyakan memakan sambal alhasil perutnya yang tidak terbiasa memakan biji cabe justru mengakibatkan ususnya bermasalah
“Iya, bandel sih gue kan udah bilang jangan banyak-banyak sambelnya
  masih aja bandel”
“Iya…. Caci ku, lain waktu gue nurut dech sama semua omongan loe”
Ibunya Ado yang ada juga di ruang rawat pasien pun ikut tertawa melihat pola tingkah anaknya dan para sahabat terdekatnya.
“Eh Veda loe bawa apa tuch dari tadi?”
     Aku, Ibu Wiwid dan Veda jadi melupakan ingin menunjukkan apa yang dari tadi di bawa oleh Veda.
“Oh, ini piala kemenangan kita Do” Veda menjelaskan
“Lomba yang mana nih yang menang?”
”Sungai Ciliwung Yang Miskin”
“Seriussss loe, wah gila gue bangga banget kan disitu gue ikut andil juga”
     Ado seperti anak kecil kegirangan mendengar puisi yang kami semua bacakan ternyata menang dan menjadi juara pertama, tentu ini adalah perestasi yang membanggakan untuk kami semua dan juga untuk pihak sekolah.

“Ado… inget jangan banyak gerak, nanti sakit lagi perut kamu” Ibunya Ado berusaha mengingatkan putranya tetapi Ado tidak menghiraukan.
“Oy, terus puisi yang ke dua gimana?
  maaf ya ci gue jadi tinggalin tugas gue”
“Iya enggak apa-apa do”
“Terus menang juga enggak?”
     Caci tidak menjawab justru saling pandang memandang dengan Veda seperti ada sesuatu yang sulit di jelaskan, dan disini lah ibu Wiwid yang berusaha menjelaskan.

“Kamu enggak usah ngerasa bersalah gitu do, kamu tenang aja Veda
 menggantikan kamu dengan sangat baik, juri sangat terpukau dengan
 penghayatan Veda karena Veda sampai berkaca-kaca”
“Serius bu?
 Veda ko loe bisa sampai berkaca-kaca?
 gue aja enggak bisa paham sama maksud dari puisi itu”
      Seperti biasa jika di tanya Veda hanya terdiam mematung tidak menjawab dan hingga beberapa menit suasana di ruang rawat ini menjadi membisu, karena sebetulnya kami terpilih juga sebagai pasangan yang paling serasi dan selain mendapatkan piala untuk sekolah kami juga mendapatkan mendali serta julukan pasangan serasi mungkin karena penghayatan Veda yang sangat menjiwai. Fini berusaha mencairkan suasana yang hening karena pertanyaan Ado tidak dijawab oleh Veda.

“Tante kira-kira Ado kapan pulangnya tan?
”Lusa juga Ado udah boleh pulang kok”
”Loe kenapa Fin udah kangen sama gue ya?” ledek Ado kepada Fini
“Ih… enggak banget gue kangen sama loe do, mendingan jangan lama-lama
  disini tugas dan catetan udah nunggu loe, untuk cepet-cepet dikerjain”
”Yah… si Fini enggak bisa banget ngibur gue, udah pelajaran aja” Ado menarik nafas panjang seolah-olah tugas dan catetan adalah beban berat bagi Ado dan seluruh ruangan kembali tertawa melihat eksperi Ado yang berubah saat mendengar tugas sekolah dan saat itu juga suasana hening menjadi berubah kembali.
“Sorry do gue enggak bisa lama-lama, gue belum izin tadi”
”Yah jadi loe mau balik nih?”
”Iya takut kesoren”
“Terus loe balik sama siapa?”
”Iya ci nanti aja, gue sama Fini masih nanti pulangnya”
”Enggak apa-apa bareng gue aja” Veda menawarkan diri
 “Yaudah kalau gitu, Fin, Fik balik duluan ya?”
”Iya Ci hati-hati” Fini dan Fikri menjawab bersamaan
“Bu Wiwid, Tante caci pamit dulu ya?”
”Iya, Hati-hati ya!
  makasih ya Ci udah di tengokin Ado-nya”
“Iya sama-sama tante, Do cepet sembuh ya!”
”Iya, eh Veda jagain tuh sahabat gue”
     Veda hanya tersenyum, setelah berpamitan aku dan Veda pun segera bergegas untuk pulang.

Tiba-tiba langkah Veda terhenti.
“Ada apa kok berhenti?”
“Gue dapet sms dari nyokap”
“Terus?”
”Sorry gue enggak bisa bareng loe”
     Hanya kata-kata singkat itu, dan Veda pun meninggalkan ku seolah-olah urusannya itu sangat penting, dan aku pun pulang sendiri dengan menaiki ojek sekitar rumah sakit, tetapi ketika setengah perjalanan ojek ku di hadang oleh jaguar merah yang entah siapa penumpangnya.
Seorang pengemudi turun dari mobilnya, dan wanita yang memiliki tinggi tidak jauh berbeda dari ku menghampiri aku serta memberikan senyumnya.

“Gue udah cari-cari loe dari tadi, cepet naik mobil”
”Loe siapa?”
“Loe lupa sama gue?”
     Caci yang tidak mengenalinya berusaha mengingatnya dan sang abang ojek pun sama bengongnya dengan Caci yang tidak mengingat sama sekali wanita yang menghadangnya, karena Caci lama mengingatnya akhirnya tangan Caci di tarik paksa oleh wanita itu dan sang wanita asing itu memberikan lima puluh ribu kepada abang tukang ojek dan tanpa banyak tanya abang tukang ojek segera pergi

“Eh… kasar banget sih loe, gue tuh enggak kenal sama loe”
“Udah masuk mobil!!! Nanti juga loe tahu siapa gue” Wanita itu membentak Caci dan karena paksaan itu Caci pun terpaksa memasuki mobil mewah itu.

“Hey… Sezheci Percia masih inget sama gue enggak?”
     Mata Caci menerawang jauh mengingat siapa wanita yang memanggil namanya dan duduk di samping wanita yang mengemudi yang tadi memaksanya masuk ke dalam jaguar merah itu.
“Loe itu….” belum sempat Caci melanjutkan ucapannya wanita itu sudah memotongnya
“Iya gue Vira dan ini Adel, gue cukup salut sama penampilan loe beberapa
  waktu lalu di perlombaan puisi dan penghayatan loe serasi banget ya sama
  pasangan loe, enggak salah kalian dijulukin pasangan paling serasi”
”Maksud kalian itu apa sih, gue enggak ngerti sama kalian dan gue juga
  enggak kenal kalian”
”Wah… Vir perlu di jelasin nich kayanya”
“Sezheci percia, perlu loe tahu ya baik-baik gue ini tunangannya Veda!”
“Apa tunangan?”
”Iya kenapa loe kaget?”
”Apa Veda ga cerita ke elo?”
“Terus hubungan gue sama loe apa?”
”Loe bego atau apa enggak ngerti bahasa manusia?”
”Harusnya loe ngerti untuk enggak deket-deket sama calonnya Vira, mereka
  itu udah di jodohin dari kecil”
“Gue sama Adel lakuin ini bukan karena kita pengen nglabrak loe tapi cuma
  kasih peringatan loe aja untuk sadar siapa orang yang lagi loe deketin”
”Kalian salah orang, gue lagi enggak deketin Veda”
”Heh… orang bodoh mana sih yang enggak bilang kalian ada apa-apa,
  semua itu udah keliatan dari mimik kalian kemarin, semua orang yang ada
  di balai kesenian kemaren juga tahu gimana mesranya kalian waktu final”
“Itu cuma sebates kerja sama buat tim puisi sekolah gue, enggak lebih”
”Oke, gue pegang omongan loe dan jangan harap gue akan tinggal diem
  gitu aja! karena gue akan terus mantau hubungan loe sama Veda”

     Setelah obrolan yang penuh dengan penekanan aku pun di turunkan di tengah jalan yang sangat jauh dari rumah ku, kini aku baru tahu siapa Vira ternyata dia adalah tunangan Veda yang di jodohkan dari kecil tapi kenapa saat perlombaan kemarin sedikit pun Veda tidak mengahampiri Vira justru seperti orang yang tidak kenal, sebetulnya ada apa dengan mereka, mengapa aku jadi terseret dalam persoalan mereka, yang justru aku tidak mengerti sama sekali.

     Pagi ini Caci sangat emosi, rasanya ingin sekali bertemu dengan Veda apalagi coba kalau bukan karena kejadian sore kemarin seusai pulang dari rumah sakit dan ketika sampai kelas Caci tidak menemukan sesosok Veda padahal tasnya telah tergeletak di atas meja, tempat Veda biasa duduk justru Caci malah menemukan Ado yang sudah masuk sekolah padahal kemarin ibunya mengatakan lusa baru dapat keluar dari rumah sakit namun kini ternyata lebih cepat.
Dengan nafas terengah-engah dan emosi yang menggebu-gebu Caci pun bertanya pada Ado.

“Do, Veda mana?”
”Mana gue tahu, kenapa loe dateng-dateng nyariin dia, kemaren
  tuh anak lupa bayar kopaja ya mangkanya loe nyariin dia?”
”Enggak lucu do, gue lagi serius!”
”Gue enggak tahu di perpus kali dia kan kutu buku, payah loe Ci dateng-
  dateng malah nyariin dia, bukannya tanya gimana kabar gue yang udah
  bisa masuk lebih cepet”

     Caci tidak menghiraukan Ado namun langsung berlari menuju perpustakaan sekolahnya dan ternyata tepat dugaan Ado, Veda tengah membaca buku, karena keadaan perpustakaan sekolah yang masih sepi mungkin karena masih pagi.
Caci pun segera menghampiri meja Veda dan langsung berbicara dengan intonasi tinggi karena seolah-olah kemarahan yang ia tahan dari kemarin sore tengah memuncak.

“Gue mau ngomong sama loe!
  kasih tahu ya sama tunangan loe itu untuk jaga etika sama orang yang
  belum pernah dia kenal sebelumnya”
“Maksud loe apa?”
”Enggak usah belaga pura-pura enggak tahu dech, kalau emang kalian
  punya masalah pribadi, please…. selesain masalah kalian jangan bawa-
  bawa gue yang enggak tahu apa-apa!!!!”
“Heh… kalau kalian punya masalah pribadi tolong selesain diluar jangan
  disini, ini perpustakaan bukan kantin” Sang penjaga perpustakaan berteriak kearah kami karena suara Caci yang memarahi Veda dengan kencang.

“Maaf pak” setelah mengucapkan kata-kata maaf Veda segera menarik tangan Caci ke luar agar dapat membicarakan lebih jelas lagi permasalahan yang sebetulnya terjadi.

“Sekarang loe jelasin apa maksud ucapan loe tadi”
”Heh… jelasin apalagi sih… udah cukup jelas kan apa yang gue omongin
  tadi”         
Caci pun pergi meninggalkan Veda namun baru beberapa langkah tiba-tiba Caci kembali menghampiri Veda.
“Satu lagi jangan bawa-bawa gue dalam permasalahan loe, ngerti!!!!”
     Caci pun pergi meninggalkan Veda yang masih terdiam dan binggug dengan ucapan Caci.
     Setelah kejadian tadi pagi aku tidak sedikit pun bicara atau menoleh kearah Veda. Veda pun seperti biasa terdiam tanpa kata-kata.
“Ci loe kenapa?” Fini bertanya kearah ku, seolah-olah tengah mengerti akan keadaan ku yang selama tadi pagi gelisah dan terkadang marah-marah tidak jelas.
“Enggak apa-apa ko Fin, gue cuma lagi BT dan kesel aja sama orang”
“Siapa? cerita dong, siapa tahu dengan cerita ke gue loe bisa lebih tenang”
Saat aku ingin bercerita tiba-tiba Ado menarik rambut panjang ku yang kebetulan sedang aku ikat dan ini memang sudah menjadi ke isengan dan ke jailan Ado jika tengah belajar.
“Heh… cerita berduan aja, gue enggak di ajak-ajak”
“Ini woman secret, mau tahu aja”
“Wah gitu besok gue pake rok dech biar boleh tahu”
”Do gue pegang ya omongan loe”
”Ah loe juga fik saraf, becanda di anggap serius”
”Do kalau loe pake rok, gue janji bakal jadi orang pertama yang ngetawain
  loe”
“Wah Fin loe sama sarafnya kaya Fikri, eh Ci nanti pulang bareng yuk?”
”Hem… tetep ya usaha” Ledek Fikri pada Ado
“Yeh… enggak apa-apa kali usaha dikit, kan enggak mungkin gue anterin
  loe pulang, rumah aja sama sekolah tiggal gelinding juga nyape, kalau
  gue anter Fini juga enggak mungkin secara rumahnya beda arah sama gue
  dan jauh banget lagi, secara otomatis ya cuma Caci yang gue tawarin”
“Hum… ya-ya, masuk akal alesannya” Aku dan Fini hanya dapat tertawa  mendengar penjelasan Ado.
Pelajaran bahasa inggris pun telah selesai dan ini saatnya untuk pulang para murid-murid pun kegirangan seolah-olah jam pulang merupakan suatu kebebasan untuk mereka, namun jam pulang kali ini membuat ku sedikit ganjil karena biasanya aku ke meja Veda atau Veda sendiri yang menawarkan diri untuk pulang bersama tapi aku nyatakan mulai hari ini aku dan dia bermusuhan tetapi jika Veda menyapa ku sebelum pulang mungkin akan ku fikirkan lagi.
“Ci loe balik bareng Ado kan?”
 Caci hanya mengangguk mendengar pertanyaan Fini,
“Ya udah gue cabut sekarang ya, Fik bareng ya ke depannya”
”Ya udah cabut duluan ya” suara Fikri dan Fini bersamaan

     Veda beranjak dari kursinya aku berharap Veda akan berhenti di hadapan ku seperti biasa dan menawari untuk pulang bersama, namun kali ini wajahnya sangat jutek dan berlalu begitu saja, dasar manusia es pola fikirnya enggak pernah bisa di tebak (dalam hati Caci)
“Ayo pulang”
Aku langsung mengajak Ado pulang.
“Em… bentar ya Ci gue mau tanya jadwal futsal dulu, loe tunggu di parkiran
  dulu aja, sebentar ko”
        Caci pun menunggu Ado di parkiran tepatnya dekat dengan motor Ado yang di parkirkan di tempat parkir, Caci melirik jam tangannya lumayan lama juga, padahal hanya menanyakan jadwal (suara hati Caci mulai tidak sabar menunggu Ado)
     Ketika Caci tengah menunggu Ado tiba-tiba segerombolan anak-anak pria datang ke parkiran, ternyata mereka adalah Ben dan teman-temanya anak-anak brutal ada rasa takut karena mereka bergerombol berjalan ke arah ku, sedangkan Ado masih belum datang.

     Caci berusaha menyibukan diri dengan membaca buku agar Ben atau teman-temannya tidak melihat Caci dan mengejeknya seperti yang mereka lakukan ketika melihat anak-anak yang mereka anggap tidak sederajat dengan mereka, satu per satu anak brutal itu mulai mengambil motornya dan meninggalkan parkiran dan ketika Ben ingin menyalakn ninja merahnya tiba-tiba kunci motornya terjatuh tidak jauh dari tempat Caci berdiri.
“Heh cewek tolong ambilin dong”
Suara Ben memanggil Caci untuk mengambil kunci motor yang jatuh sedangkan Ben sendiri sudah bertengger di motor gedenya, Caci pun mengambilkannya tetapi masih dengan buku yang menutupi wajahnya.
     Tiba-tiba setelah mendapatkan kunci motor yang jatuh Ben masih belum menyalakn mesinnya dan sepertinya tengah menatap Caci
“Heh non… bukunya kebalik”
Ben langsung mengambil buku yang ternyata dari tadi di baca Caci terbalik dan Ben terkejut ternyata wanita di balik buku itu adalah Caci.
“Loe… jadi dari tadi loe disini?”
Caci hanya mengangguk dan menundukkan kepalanya karena malu dari tadi buku yang ada di hadapannya ternyata kebalik karena sebetulnya Caci memperhatikan agar Ben tidak melihatnya dan sedikit panik karena melihat segerombolan anak-anak brutal.

Tiba-tiba Ben yang telah duduk di atas motornya mengangkat dagu ku yang tertunduk malu sehingga dengan jelas sekali kami dapat saling tatap muka.
“Kebetulan ada loe disini, gue lagi cari loe” Caci segera memalingkan wajahnya agar tidak sedekat ini.
“Memang ada perlu apa ka?”
”Loe lupa sama janji loe?”
”Janji apa?
  Memang gue pernah janji sama loe?”
”Wah bener-bener lupa ya?
  waktu loe telat gue kan bilang suruh temuin gue setelah pulang sekolah
  kenapa loe enggak temuin gue???”
Caci berusaha mengingat, memang ketika telat Ben yang menjadi pahlawan kesiangan akan tetapi Caci tidak ingat sama sekali akan kata-kata Ben saat itu.
“Heh loe ngapain sahabat gue?
  Ci loe enggak kenapa-napa kan?”
“Heh santai bro, temen loe aman sama gue”
Saat Ben ingin pergi tiba-tiba Ben membisikan sesuatu kepada ku
“Inget ya obrolan kita belum selesai dan loe masih hutang budi sama gue!”
  dan motor merah besar itu melaju kencang meninggalkan aku dan Ado di parkiran.
“Ci loe enggak di apa-apain kan sama Ben?”
”Gue enggak kenapa-napa, loe lama banget sih?”
”Maaf Ci maaf, tadi abis nanya jadwal, anak-anak rohis minta gue untuk isi
 acara mereka pas perkumpulan rohis buat anak-anak kelas satu”
“Ya udah yuk balik”

     Ado mulai mengendarai motornya dengan tenang tetapi entah mengapa saat melewati tempat tongkrongan Ben Ado melaju sangat kencang, seolah-olah ini merupakan sirkuit motoGP, aku yang terkejut segera memukul pundak Ado.
“Loe gila ya Do, kenapa ngebut gitu?
  loe tuh bawa dua nyawa”
Ado segera meminggirkan motornya
“Maaf Ci, kalau loe kaget tadi”
***
“Tumben Ci udah lama banget kamu enggak ke sini?”
“Iya Cat, kemarin-kemarin aku sibuk banget, gimana cafe?”
“Seperti yang kamu lihat sekarang, oya kemarin paman Thomas bilang kamu
  menang lomba puisi ya?”
”Iya ternyata orang-orang cafe udah tahu ya?”
“Iya selamat ya”
”Iya makasih”
“Kamu kenal Anestasya enggak?”
”Siapa dia?”
”Ya ampun kemana aja sih kamu, masa enggak kenal sama Anestasya Putri
  Julius, anak dari pengacara itu loh, dia kan seorang model juga”
“Terus kenapa?”
”Dia sering makan di Cafe ini loh”
”Oh…”
“Loh kok Cuma Oh?”
”Bingung mau komentarin apa, aku kan jarang lihat TV juga”
“Dasar Sezhechi”
***
“Ada rame-rame apa Fik?”
”Enggak tahu Ci ada apaan”
”Alah paling ada anak yang pada bikin ulah” Komentar singkat Fini, dan Ado tiba-tiba menghampiri kami dari luar kelas.
“Heh dari mana loe do?” Tanya Fikri kepada Ado
“Dari toilet”
”Loe tahu itu ada rame-rame apa?” Tanya Caci kepada Ado
Ado hanya terdiam dan Fikri yang menjawab pertanyaan Caci
“Gue tadi tanya cowok-cowok, katanya Ben ke geep ngerokok di toilet”
”Bener kan kata gue, paling juga ada yang berulah mangkanya ada rame-
  rame gitu, tapi serius Fik itu Ben yang ketahuan ngerokok?” Fini bertanya dengan nada sedikit cemas.
“Iya, tapi kenapa loe rada khawatir gitu?”
”Enggak kok, gue cuma mau tahu”
    Caci hanya melempar senyum kepada Fini dengan tanda meledeknya.
“Tapi siapa tuh yang berani ngadu sama guru BP, kayanya nyari masalah
  banget sama Ben”
”Guys masuk kelas yuk jangan di luar gini” Ado meminta agar ke tiga temannya yang masih penasaran dengan keramaian yang di buat oleh Ben untuk segera masuk kelas.
***
“Fik, Ado hari ini enggak masuk?”
“Dia sakit Ci?”
“Sakit lagi dia?”
”Sakit apa Fik?” Tanya Fini
“Gue enggak tahu tapi tadi pagi dia susah buat ngomong”
”Sakit gigi mungkin” ledek Fini
“Bukan Fin dia sih ngomongnya dia dihajar orang”
“Haaa????
  serius loe?”
“Iya Fin”
“Siapa yang hajar dia?”
”Gue enggak tahu Ci, dia bilang tadi pagi di telepon, cuma bilang dihajar
  orang dan gue di suruh bilang ke loe berdua jagan panik, karena dia
  enggak apa-apa cuma susah aja buat ngomong”




























LIMA

“Pah, kalau kaya gini terus mamah enggak kuat”
”Ya kita harus sabar mah, mungkin ini cobaan, kita harus tetap tawakal
  dan anak-anak enggak boleh tahu mengenai krisis keuangan yang sedang
  kita hadapi saat ini”
Caci terbengong di balik pintu kamar om Hans dan tante bebie karena tidak sengaja melewati kamar mereka, Caci sangat terkejut mendengar percakapan tantenya dengan om Hans bahwa mereka tengah mengalami krisis keuangan.
Ya tuhan aku baru tahu ternyata tante dan om tengah mengalami krisis keuangan padahal cafe tengah banyak pengunjung bagaimana bisa ini terjadi?
aku merasa bagai benalu yang tidak tahu diri (Batin ku)

      Pagi ini aku termenung duduk di bangku ku, aku memikirkan apa yang ku dengar kemarin malam di balik pintu kamar tante dan om, aku sungguh tidak tahu bahwa mereka tengah kesulitan keuangan rasanya egois sekali jika aku meminta uang untuk bayaran sekolah aku harus bagaimana untuk meringankan beban mereka, hal ini yang terus aku fikirkan dari semalam setelah mendengar percakapan singkat itu, jam dinding di kelas ku sudah menunjukan pukul 06.30 tetapi Fini dan Fikri belum juga datang, Ado juga sudah bisa masuk atau belum ya, biasanya hanya ketiga sahabat ku yang dapat menghibur dan memberikan masukan kepada ku.

“Pagi Ci”
“Pagi juga Fik”
”Fini mana Ci, belum dateng?”
”Enggak tahu kayanya gitu Fik, keadaan Ado gimana udah baikan belum?”
”Nyokapnya bilang udah mendingan tapi masih belum bisa untuk masuk
  sekolah”
“Gue penasaran Fik, emangnya siapa sih yang bikin Ado sampai kaya gitu?”
“Gue juga enggak tahu Ci, Ado belum cerita sama gue”
     Obrolan kami terhenti karena Fini datang dan langsung mengalihkan pembicaraan kami, dengan jelas dapat dilihat dari rautnya Fini sangat gembira pagi ini.
“Hola teman-teman ku”
”Kenapa loe?” Fikri bertanya kepada Fini yang masih tersenyum gembira
“Loe berdua tahu enggak gue lagi seneng banget nih?”
”Seneng kenapa sih Fin, cerita dong”
”Gini loh Ci, gue kepilih buat wakilin sekolah kita di ajang cerdas cermat
  tingkat nasional”
”Yang bener loe Fin?”
”Iya gue enggak bohong mangkanya hari ini rada telat masuk kelasnya
  karena tadi gue dipanggil sama kepsek buat ngomongin hal ini”
”Wah keren, terus lomba cerdas cermatnya mata pelajaran apa Fin?”
”Fisika dong Fik, mata pelajara favorit gue,hhee
  dan hadiah utamanya dapet beasiswa kuliah di Singapur”
”Serius Fin???”
”Iya Ci, gue berharep banget bisa dapetin beasiswa itu”
”Ya ampun enak banget, selamat ya Fin dan semoga bisa menang”
”Iya Ci makasih”
     Ya ampun bahagia banget jadi Fini bisa berkesempatan dapetin beasiswa itu, duh kenapa tiba-tiba gue jadi iri ya sama Fini?
enggak… enggak boleh gini…, gue enggak boleh punya fikiran kaya gitu gue harus seneng dengan pencapaian yang di raih sahabat gue dan sebaiknya lain waktu aja gue cerita tentang masalah gue, kayanya Fini lagi seneng banget gue takut merusak suasana hati Fini (dalam hati ku)

     Jam pelajaran terus bergulir tidak satu pun pelajaran yang dapat masuk ke otak ku tetapi berbeda dengan Fini dari pagi hingga jam pulang seperti ini, Fini masih tetap semangat mengikuti jam pelajaran, ketika waktu nyaris menunjukan jam pulang tiba-tiba ada seorang murid yang mengetuk pintu kelas dan pelajaran sempat tertunda sesaat.
“Misi pak, maaf ganggu Sezheci percia dipanggil guru tata usaha pak”
“Sezheci silahkan keluar”
Aku langsung terbelangga dan segera keluar kelas, fikir ku untuk apa orang tata usaha memanggil ku pasti menanyakan bayaran bulan kemarin dan sekarang.

“Misi bu, ibu panggil saya?”
”Duduk kamu”
Serasa ruangan ber-AC di TU menjadi sangat panas pasti aku akan di ceramahi oleh bendahara sekolah apalagi di sekolah ku orang TU sangat terkenal galak jika menagih uang SPP

“Kamu tahu apa alasan kamu di panggil?”
 Caci hanya mengangkat bahu menunjukan tidak tahu apa-apa karena apa yang dia fikirkan hanya lah sebuah pengandaian saja dan ternyata tepat apa yang Caci bayangkan, dirinya di panggil karena belum membayar SPP selama dua bulan.

“Kamu pura-pura lupa?
 Sezheci kamu itu belum bayar SPP selama 2 bulan jangan pura-pura lupa!”
“Maaf bu, tante saya belum ada uang”
“Alah alesan lama paling juga uangnya kamu pake buat jalan-jalan ke Mall
  atau kamu pake buat nonton”
”Astagfirulloh bu, saya enggak mungkin lakuin hal kaya gitu, kalau pun
  uangnya udah ada pasti langsung saya bayar”
”Ya udah secepatnya dong di lunasin sebentar lagi kan semesteran    
   kalau yang ini aja kamu belum lunas gimana kamu mau lunasin
   semesteran”
Tiba-tiba mata Caci berkaca-kaca dan nyaris air matanya turun dengan nada sedih Caci berusaha memberikan pengertian pada bendahara sekolah ini
“Iya bu saya tahu, secepatnya pasti akan saya lunasi”
”Ibu berharap itu semua bukan janji, sana kembali ke kelas”
     Saat Caci keluar dari ruang TU tiba-tiba ada Ben yang berdiri di balik pintu.
“Sezheci” Ben memanggil ku pasti dia telah mendengar semua percakapan ku dengan bendahara sekolah dan pasti memanggil ku hanya ingin mengejek atau mengolok-olok ku
“Ada apa?”
“Sorry gue enggak sengaja denger pembicaraan loe sama bendahara”
”Terus kenapa?
  loe mau ngejek gue atau loe mau hina gue?” mata Caci semakin berkaca-kaca.
“Bukan gitu, dugaan loe salah gue sama sekali enggak mau ngejek atau
 mau menghina loe”
”Terus apa???” Caci semakin jengkel
“Gue bisa bantu loe”
”Bantu apa?”
Dari arah yang berlawanan tiba-tiba Edric datang dan berjalan ke arah kami
“Emm… nanti aja gue jelasin, loe tunggu gue di halte sekolah kalau loe
  emang mau tahu”

     Saat aku kembali ke kelas nyaris penghuni kelas telah sepi karena saat aku berbicara dengan Ben, bel pulang telah berbunyi hanya Fikri dan Veda yang masih berada di dalam kelas.
“Loe belum pulang Fik?”
”Gue tunggu loe Ci”
”Tunggu gue? terus Fini mana?”
”Sekarang setelah pulang Fini harus ikut jam tambahan buat lomba cerdas
  cermatnya, loe tadi kenapa di panggil TU?”
aku hanya tersenyum
“Biasa lah Fik, yaudah yuk kita balik”
“Loe yakin enggak kenapa-napa?”
”Enggak apa-apa”
“Mau balik bareng enggak?”
Veda menyapa ku dan ini baru kali pertama setelah kejadian saat itu rasanya ingin pulang bersama dan menceritakan semua hal yang ku rasakan ini tapi aku teringat akan janji untuk menunggu Ben di halte sekolah.
“Makasih, tapi loe duluan aja”
”Okeee” dan Veda pun berlalu
“Tumben loe, kenapa enggak bareng rumah kalian kan bertetangga?”
”Enggak apa-apa Fik gue ada urusan aja, yaudah gue duluan ya”
”Iya hati-hati Ci”

     Nyaris lima belas menit berlalu dan aku masih menunggu Ben di halte sekolah, aku berfikir betapa bodohnya aku mau saja menggu Ben bisa saja dia hanya mempermainkan aku dan berbohong atau dia akan datang dan membawa segerombolan teman-temanya untuk mengejek ku, ketika aku ingin melangkahkan kaki ku dan ingin pulang tiba-tiba sebuah Ninja merah berhenti di samping ku dan sesosok pria yang mengenakan helm itu pun membukanya dan memangil nama ku
“Caci tunggu” dan Caci pun menoleh dan menghentikan langkahnya
“Sorry gue telat, udah lama nunggunya?”
”Langsung aja dech, tadi mau ngomong apa?”
“Sabar dong jangan buru-buru gitu”
”Gue enggak punya banyak waktu”
”Okeee, tapi sebelumnya loe masih inget enggak punya hutang budi
  sama gue?”
“Iya gue lupa, soal loe minta ketemuan pas gue telat”
”Okeee, karena gue baik hati gue bakal maafin, dan soal yang tadi
  gue bisa bantu loe”
”Bantu apa?”
”Loe pasti butuh uang kan buat lunasin SPP?
 dan gue punya pekerjaan buat loe”
”Pekerjaan apa?
  denger ya baik-baik walau gue butuh uang tapi gue enggak akan mau
  ngelakuin pekerjaan yang enggak halal”
”Hey non, emang tampang gue keliatan bejat apa?
  gue enggak mungkin kali ngejerumusin loe”
“Ya terus apa?”
”Pekerjaannya adalah jadi guru private, gampang kan?”
”Jadi guru private, buat siapa?”
”Buat gue lah”
“Buat loe????
  Enggak salah???”
”Ya enggak lah, mau enggak?”
”Privatenya dimana?”
”Ya di rumah gue setiap pulang sekolah”
”Di rumah loe???”
”Iya, gimana?”
”Gue enggak mau kalau cuma ada loe sama gue?”
”Heh oon, jangan GR dech, ya enggak mungkin lah cuma ada loe dan gue,
 dirumah gue banyak pembantu kali dan ada kakak gue jadi jangan
 berfikiran negatif, mau enggak?”
“Tapi kenapa harus gue?
  kayanya gue enggak bakat dech gue aja cuma peringkat dua setiap tahun,
  ada Fini yang jago banget fisika dan peringkat satu lebih baik dia jangan
  gue”
“Loe itu bener-bener ga bisa mikir apa, ngapain gue tawarin dia jelas-jelas
  yang lagi butuh uang itu loe bukan dia”
“Tapi kenapa loe enggak les di luar aja yang lebih bagus secara loe udah
 kelas tiga sekarang, nanti kalau enggak lulus gara-gara gue gimana?”
”Loe banyak mikir ya, ya gue pasti bakal les di tempat lain, loe itu cuma
  buat tambahan pelajaran gue aja, karena setiap abis pulang les gue males
  untuk ngulang pelajaran”
”Tapi gue enggak bisa kasih jawaban sekarang”
”Ya udah loe fikirin lagi, jawaban loe gue tunggu besok, yang jelas gue                                                                    
  cuma mau bantu loe”
“Kok pulangnya sore banget teh”
Ima menyapa ku, ketika aku baru sampai rumah
“Iya tadi teteh abis belajar kelompok dulu” terpaksa aku berbohong karena tidak mungkin aku ceritakan alasan ku yang sejujurnya
“Si kembar kemana Ma?”
”Lagi di mandiin sama ibu”
”Loh… Ibu udah pulang?”
“Iya teh”
“Eh… udah pulang Ci” tante Bebie keluar dari kamar mandi dengan mengendong Criski yang masih di selimuti handuk tebal karena baru saja selesai mandi sore.
“Kok sore banget?”
”Iya maaf tante, Caci telat pulangnya”
”Enggak apa-apa, sekarang kamu mandi abis itu makan ya”
     Caci pun memasuki kamarnya yang ada di lantai dua, ketika matahari sore yang menyilaukan menyinari wajahnya dari jendela kamarnya yang terletak di lantai dua itu, atau tepatnya sangat jelas menghadap kamar Veda dan halaman rumah Veda, Caci melihat pria dingin yang penuh kejutan di antara sinar-sinar matahari sore yang menyilaukan, pria itu mengenakan kaos putih dengan celana jeans pendek dan memainkan gitarnya, bisa sedikit di dengar petikan gitarnya namun tidak jelas lagu apa yang tengah di mainkan.

     Rasanya aku sangat merindukan pria yang selalu senang mengajak ku untuk pulang bahkan selalu mendengarkan celotehan ku dan membela ku setiap ada orang-orang yang dapat membahayakan ku tetapi sayang pria itu hingga saat ini belum juga ada kabar bahkan sulit untuk di hubungi, entah mengapa jika segala masalah di ceritakan oleh Ado serasa lebih tenang dan ringan karena Ado selalu memiliki seribu jalan keluar tetapi aku tidak mungkin menceritakan masalah ku saat ini karena hingga saat ini Ado belum juga bisa masuk kelas, Fini sangat sibuk dengan perlombaan Fisika nyaris waktunya hanya di habiskan di perpustakaan.
Tiba-tiba aku terfikir akan sahabat ku yang satu lagi siapa lagi kalau bukan Fikri walau Fikri cuek pasti setidaknya aku masih memiliki teman bertukar fikiran, aku melihat tas Fikri telah ada di mejanya, kalau sudah datang tetapi tidak ada di kelas pasti Fikri tengah di kantin

“Bang satu mangkok lagi ya buburnya”
“Ya ampun laper apa rakus, ini udah mangkok yang ke lima?”
”Biarin yang penting saya bayar”

Dan tepat dugaan ku Fikri tengah menikmati bubur di kantin dan aku terkejut ketika sampai di meja kantin yang di duduki Fikri karena Fikri telah menghabisi empat mangkuk bubur ayam pagi ini, aku hanya dapat menggeleng-geleng kepala.
“Gila enggak makan berapa hari loe?”
”Hahaha, bisa aja loe Ci, ini persediaan sampe nanti siang”
“Bisa aja loe, paling juga jam sembilan udah laper lagi loe”
”Hahahaaa, eh tumben loe pagi-pagi nyamperin gue di kantin ada apa?
  mau ikutan sarapan juga?”
”Enggak Fik gue mau tanya pendapat loe”
Pembicaraan kami terpotong karena bubur pesanan Fikri datang atau tepatnya mangkuk ke lima.
“Loe mau tanya pendapat gue apa Ci?”
Dengan gaya tak pedulinya Fikri sangat menikmati bubur ayamnya tanpa peduli sekelilingnya menatapnya dengan tatapan rakus atau anak kelaparan.

“Menurut loe Fik kalau ada orang yang enggak deket sama loe, nolongin loe
  itu maksudnya apa?”
”Ya mungkin dia beneran mau nolong loe, masa orang berbuat baik loe tolak
  dosa dong namanya kalau gitu”
“Tapi gue rada ragu Fik karena enggak deket sama orang itu”
”Kalau pekerjaan loe lakuin dengan keraguan sebaiknya jangan dari pada
  loe enggak ikhlas”
”Iya sih… tapi gue butuh bantuan dia, karena gue enggak tahu harus minta
  tolong sama siapa, yang bikin gue ragu karena gue selama ini enggak
  deket sama orang itu”
”Ci apa sih maksud loe, langsung aja dech ke topik pembicaraannya
  jangan di bawa muter-muter, bingung gue jadinya”
“Tapi gue belum bisa cerita sekarang Fik”
”Ya udah enggak apa-apa kalau loe belum bisa cerita sekarang, yang
  penting lakuin aja apa kata hati loe dan menurut gue kerjaan apa aja
  sah-sah aja selama itu semua halal”
“Iya, thanks ya Fik”

***
“Kalau pulang naik apa?”
”Kopaja”
”Ya ampun memang enggak panas ya, kan desek-desekan gitu”
       Sebetulnya aku sangat muak dengan pemandangan seperti ini, siapa lagi jika bukan cacing kepanasan yang sedang menggoda Veda, nama Veda semakin terkenal saja di mata para wanita setelah istirahat saja ada seorang kakak kelas yang datang dari kelas 12 IPS yang menantarkan bekal makanannya untuk Veda dan sekarang Sisi yang tengah merayu pantas Veda sering di tatap sinis dengan Ben dan kawan-kawan karena mungkin Ben merasa tersainggi, tetapi bukan Veda namanya jika tidak cuek dan terlihat tidak tertarik sedikit pun pada wanita-wanita yang kepanasan tak jelas jika berada di dekatnya. Ketika aku berjalan semakin dekat dengan bangku Veda tingkah Sisi semakin tidak karuan terlihat sekali pamer dan duduknya pun semakin dekat dengan Veda, entah mengapa aku jadi merasa tidak suka melihat Sisi dekat-dekat dengan Veda apalagi sedekat itu dan rasanya aku ingin menjambak rambut panjang Sisi.

“Oya nanti pulangnya enggak usah naik kopaja, kita pulang bareng aja ya?”
       Aku semakin jijik melihat tingkah Sisi yang bermanja-manja dengan Veda, malah sampai mengajak pulang bareng, tetapi ada apa dengan aku ini mengapa aku sangat kesal dan emosi melihat Veda bersama Sisi, aku ingin segera duduk di kursi ku namun tiba-tiba Ben memanggil ku dari luar pintu kelas, aku yang ingin duduk pun sampai tidak jadi dan justru malah berdiri tepat diantara bangku Veda dan Sisi

“Caci” Ben berlari kecil dan menghampiri Caci, tiba-tiba Sisi bangkit dari kursinya dan menghampiri Ben.
“Ada perlu apa Ben? Mau cari aku ya?”
”Enggak siapa yang mau cari loe, gue cuma ada perlu sama Caci”
”Apa???
 enggak salah???
 udah sakit kali ya, masa ke kelas gue yang di cari Caci bukan gue?”
“Sorry beep tapi perlunya sama Caci, Caci jangan lupa ya nanti pulang
 sekolah gue tunggu di parkiran, jangan sampe enggak dateng ya”
“Sejak kapan loe punya urusan sama anak bermodal beasiswa ini?”
Aku sedikit emosi ketika Sisi meneriaki aku bermodal beasiswa namun untung saja aku dapat meredamnya
“Hey jangan teriak-teriak kaya gitu”
”Ya ampun Ben jahat banget sih masa lebih belain dia di banding gue”
“Enggak gitu kok”
”Buktinya perlunya sama Caci?”
”Abis kalau perlunya sama loe, gue takut ganggu kesibukan loe sama pacar
  baru loe”
”Hhe, oya lupa kenalin Ben ini yang namanya Veda”
”Oh Veda yang anak baru itu?”
“Iya dan Veda pasti loe tahu kan dia siapa, ini Ben”
“Kenalin gue Ben, Beni Putra Julius”
Dengan sombong dan penuh percaya diri, Ben mengulurkan tangannya dan memperkenalkan dirinya di depan Veda dengan embel-embel nama ayahnya di belakang namanya namun Veda hanya terdiam, tetapi raut wajahnya berubah saat mendengar nama lengkap Ben, wajah Veda menjadi pucat pasi seperti saat perlombaan puisi, ketika Veda tidak dapat melanjutkan bait puisinya namun yang berbeda adalah mata Veda, Veda menatap Ben dengan tatapan penuh kebencian dan Veda pun masih terdiam dan tidak menyambut jabat tangan Ben.

“Oh jadi ini touh cowok yang lagi jadi idola disekolah kita?
  ternyata baru di depan gue aja udah enggak punya nyali”
Teng…teng….teng…. dan bel istirahat pun berbunyi.
“Okeee… karena udah masuk gue harus cabut dulu ya”
Tiba-tiba sebelum keluar dari kelas ku Ben berteriak begitu kencang dan sontak anak-anak yang baru masuk pun menjadi melihat ke arah aku dan Ben.
“Caci jangan lupa pulang sekolah, gue tunggu jawaban loe!!!”

     Sontak para wanita menjadi membicara kan ku, karena ini adalah hal yang langka dan jarang terjadi seorang Ben mau berbicara dan memanggil nama ku, bukan hanya mereka yang terkejut aku juga terkejut pasti mereka mengira aku dan Ben ada apa-apa, untung saja tidak ada Fini pasti jika ada Fini, dia akan mengira aku dan Ben apa-apa, tetapi aku harus menjelaskan semuanya agar nantinya tidak terjadi salah paham.

“Ci… Caci?” Fini mengagetkan ku
“Iya Fin?”
”Loh kok bengong?
  eh Ci tadi gue lihat Ben, dia dari kelas kita ya?”
“Iya”
”Habis ketemu Sisi ya?”
”Gue mau ngomong sama loe Fin”
“Mau ngomomg apa?
 tapi Ci gue sibuk banget, ini aja mau balik lagi ke perpus
 loe tahu kan perlombaan gue tinggal satu minggu lagi”
”Tapi setelah ini ada jam Matematika”
”Hari ini guru Matematika kita enggak masuk dan tadi gue juga udah
 izin sama guru piket gue mau ngumpul dan ngebahas lebih banyak lagi
 soal-soal Fisika sama anak-anak Club Fisika, Oya tadi loe mau cerita apa?”
“Enggak jadi dech, kayanya loe sibuk banget”
“Ya udah Ci nanti pulang sekolah gue telpon, eh enggak dech nanti malem
  aja, tapi nanti malem, gue pulang lesnya malem, besok pagi aja dech
  telponnya atau enggak pas gue ada waktu pasti gue bakal telpon loe,
  okeee”

     Bagaimana aku ingin menceritakan semuanya, lima belas menit saja Fini tidak ada waktu untuk mendengarkan ku.
Ketika bel pulang telah berbunyi Ben telah menunggu ku di parkiran di atas motor besarnya aku memang sengaja lebih lama untuk menghampiri Ben, aku tidak ingin saja banyak mata memandang dan berfikiran macam-macam  
tentang aku dan Ben.

“Kok lama turunnya?”
”Maaf ka tadi ada urusan bentar”
”Gimana?
  apa keputusan loe?”
Caci terdiam rasanya keputusan yang akan diambilnya sangatlah berat dan beresiko.
“Tapi selain loe mau bantu gue, alasan apa yang bikin loe jadiin gue sebagai
  guru les sementara loe?”
“Hello… satu sekolah tahu kali, loe itu termasuk anak yang di calonin
 Kepsek buat dapetin Beasiswa, alasan apa coba yang bikin pihak sekolah
 milih loe kalau loe enggak pinter dan loe itu selalu masuk tiga besarkan dari
 kelas satu, jadi gue juga enggak sembarangan milih orang”
”Tapi gue enggak yakin sama kemampuan gue”
“Ya udah jangan di anggap tegang juga, kalau nanti ada soal-soal yang loe
  enggak bisa kita selesain bareng-bareng aja, gue maklum kok loe itu kan
  adek kelas gue, jadi apa keputusan loe?”
Caci terdiam dan berdoa dalam hati apa saja keputusan yang dia ambil semoga itu adalah keputusan yang terbaik.

“Emm… ya udah gue mau coba tapi kalau dalam waktu dua minggu loe
  enggak ada kemajuan gimana?”
”Ya enggak apa-apa, tapi kalau dalam dua minggu gue ada kemajuan
   giman?”
“Gue enggak tahu, itu seterah loe”
“Okeee… kita buat kesepakatan kalau dalam dua minggu ke depan
  gue ngalamin kemajuan gue bakal kontrak loe jadi guru les gue
  selama satu bulan dan gue bakal bayar sekali pertemuan satu juta
  gimana?”
“Haaa satu juta sekali pertemuan????”
”Iya, kenapa kurang memang loe mau tambah berapa?”
”Bu…bukan… itu kebanyakan, memang kita satu minggu mau berapa kali
  pertemuan?”
“Seterah loe, kalau gue sih pengennya setiap hari biar gue makin cepet
  pinternya”
“Tapi loe yakin????”
”Kenapa memang?
 jarang kan ada orang yang semangat belajar?”
”Tapi gue ngerasa bayaran gue terlalu banyak”
”Terus loe maunya berapa?”
  Caci terdiam dan Ben berusaha mencari jalan keluar
“Em… ya udah kita bikin pertemuan setiap minggu tiga kali dalam satu
  minggu tapi kalau gue ada tugas dan loe gue minta tolong harus mau ya?”
“Ya udah kalau gitu, tapi….”
“Apa lagi sih Caci????”
”Masalah izin gimana?
  apa kita enggak perlu izin dulu sama sekolah?”
”Buat apa izin ke sekolah?”
“Kalau enggak izin, alasan gue sama orang rumah gimana?”
”Ya udah masalah itu semua biar gue yang atur, pokoknya loe udah tahu
   beres”
“Oke dech kalau gitu”
”terus kapan kita mulai?”
“Seterah loe aja ka”
”Ya udah besok kita mulai”
”Oke”
“Oya, loe enggak usah panggil gue kakak, loe enggak usah kaku gitu lagi
  sama gue, panggil Ben aja Ci, key”

     Caci tersenyum dan dalam hatinya terus memohon semoga keputusan untuk membantu keuangan tante dan om-nya adalah pilihan tepat dan semoga ini bukan keputusan yang salah.

***
“Kok lama banget sih”
Aku sengaja lambat mengampiri Ben di halte sekolah, karena aku menunggu seluruh anak-anak pulang atau tepatnya menunggu seluruh penghuni sekolah sepi, karena aku tidak ingin ada satu orang pun tahu bahwa aku menjadi guru private untuk Ben terlebih lagi jka ada yang melihat aku pulang dengan Ben aku takut mereka akan berfikiran macam-macam

“Maaf ka gue telat”
”Tukan lupa lagi ya, kan udah gue bilang gak usah panggil gue kakak”
”Maaf Ben”
“Okee, ayo naik”
    
     Aku pun menuruti Ben untuk naik motornya dan melaju menuju rumahnya bahkan aku tidak tahu jalan menuju rumahnya karena jalan ini menurut ku sedikit asing, Ben sedikit mengebut tetapi dapat aku siasati antara tubuhnya dan tubuh ku dengan tas sekolah ku, dan lima belas menit kemudian aku sampai di rumah super mewah dan sangat-sangat besar, bahkan pintu gerbangnya dapat otomatis terbuka, aku sungguh takjub melihat kemegahan yang terjadi di depan rumahnya Ben, ini baru saja halaman depan tetapi kau sudah di buat terkejut.

“Ci… Caci…”
“I…iiiyyyaaa…”
“Kok bengong, ayo masuk”
Aku mengekor di belakang Ben dan mengikuti langkah Ben dan ketika seorang pelayan membukakan pintu untuk kami lagi-lagi aku di buat terkejut bahkan terkejut ku melebihi saat aku di ajak Fini main ke rumahnya, aku fikir rumah Fini yang paling besar ternyata ada lagi rumah Ben yang bagai istana malah melebihi sebuah istana, ruang tamunya sangat besar, interiornya terlihat seperti interior bergaya Eropa bahkan ada lampu kristal yang menggantung di atas langit-langit yang sangat indah, aku dapat menyimpulkan bahwa ruangan ini berinterior khas gaya Eropa karena aku sering melihat acara televisi yang membahas rumah orang-orang terkaya di dunia dan rumah Ben dapat masuk acara televisi yang sering aku lihat.

“Selamat siang tuan muda” Seorang pelayan yang membukakan pintu untuk kami menyapa Ben, dan wanita setengah baya ini melemparkan senyuman untuk ku.
“Siang ini tuan ingin di buatkan makan siang apa?”
”Nanti aja aku pesan dari atas, sekarang jangan ada yang ganggu aku,
  karena aku pengen fokus belajar di kamar”
“Baik tuan”
“Oya satu lagi, kalau ada yang telepon atau cari aku, bilang aku lagi enggak
  di rumah”
“Baik tuan”

Aku kembali mengikuti langkah Ben menaiki tangga rumahnya menuju kamarnya yang ada di lantai dua, dan Ben mengeluarkan kunci kamarnya dari saku celananya, tiba-tiba fikiran dan perasaan ku mulai tidak enak, jika aku berada dalam kamar hanya berdua dengan Ben dan tidak ada satu orang pun yang menganggu kami, bagaimana jika Ben macam-macam dengan ku, aku saja belum mengenal sepenuhnya masa aku sudah di ajak ke kamarnya apa nanti anggapan orang atau para pelayan di rumah ini, tidak aku harus mencegah Ben.
“Ben tunggu…” Ben menghentikan tangannya memutar kunci kamarnya
“Ada apa Ci???”
“Gue rasa kita belajar di ruang tengah aja, gue enggak mau belajar di kamar
  loe”
“Loh kenapa?”
“Gue enggak mau aja”
“Kamar gue nyaman banget kok dan enggak berisik kalau di pake buat
  belajar”
“Ya tetep aja gue enggak mau, gue enggak mau kita cuma ber dua aja
  dalam kamar apa lagi gue sama loe bukan muhrim, apa nanti kata orang”
mendengar penjelasan ku justru Ben malah tertawa sangat besar seolah-olah ada yang sangat lucu mengocok perutnya.
“Heh… kamar gue beda sama kamar biasa, mending loe masuk dulu dan
 lihat dalamnya dan loe rasain nyaman atau enggak, kalau enggak nyaman
 boleh dech kita pindah”

Ben pun membuka kamarnya dari depan kamarnya terlihat biasa dan sama seperti kamar tidur pada umumnya tetapi dalamnya, ya tuhan aku terkejut kembali dan rasanya ingin pingsan berdiri, melihat kamar Ben yang super luas karena kamarnya terdiri dari tiga ruangan, ruang pertama berisi sofa dan televisi, radio tape, DVD dan perlengkapan sound sysitem lainnya bahkan di perlengkap juga dengan fasilitas karaokean, ruang ke dua berisi dengan tempat tidur yang empuk dan nyaman dan fasilitas komputer yang lengkap dan notebook kecil serta ruang ke tiga baru kamar mandi, aku rasa jika aku yang menghuni kamar tidur dengan segala fasilitas senyaman dan selengkap ini aku yakin aku tidak akan keluar dari kamar ku seharian karena luas kamar ini 5 kali lipat luasnya dari kamar tidur ku, bahkan luas kamar ku lebih kecil di banding dengan luas kamar mandi yang ada di kamar ini.

“Hey kok diem aja sih?”
Ben memanggil ku seolah-olah Ben tahu aku terkejut melihat kamarnya yang super luas dan besar ini.
“Kenapa kaget ya ngeliat kamar gue?”
”Iya kamar loe luas banget mungkin kalau gue yang tinggal di kamar ini
  seharian gue enggak akan keluar kali dari kamar ini”
”hhheee, banyak yang bilang gitu”
“Oya loe hobi karaoke ya?”
”Enggak juga, itu punya kak Anes”
“Oh… loe punya kakak”
”Iya lah, masa loe enggak kenal kakak gue?”
”Emang siapa kakak loe?”
”Ya ampun loe beneran enggak kenal?”
”Enggak”
“Punya TV enggak sih di rumah”
”Hhhaaa, ya punya lah”
”Masa loe enggak kenal sama Anestasya Putri Julius”
“Yang model itu ya????”
”Iya…”
“Serius dia kakak loe????”
”Iya, masa gue bohong” Tiba-tiba Ben tertawa geli kepada ku
“Kok ketawa emang ada yang lucu???”
”Loe yang lucu dan bikin gue ketawa”
“Gue kan enggak ngelawak” tiba-tiba Ben mengusap lembut rambut ku sambil tertawa kecil dan tersenyum ke arah ku dan aku pun merasa kikuk dan segera menjauhkan kepala ku dengan tangan Ben.

“Kapan kita mau mulai belajar?”
“Ya udah tunggu bentar gue ganti baju dulu ya”
”Ben pintunya biarin ke buka ya?”
“Oh ya udah” Seolah Ben mengerti bahwa aku sedikit takut hanya ber dua bersamanya di dalam kamarnya yang sangat luas.

Dan pelajaran pertama aku mulai yaitu pelajaran biologi, aku hanya tinggal mengulang pelajaran yang telah di ajarkan di tempatnya les dan pelajaran di sekolah, aku melihat buku-buku tugasnya ternyata nilai-nilainya tidak seburuk yang aku bayangkan padahal Ben sangat terkenal brutal dan suka bikin onar dan aku juga tidak mendapatkan kesulitan untuk memberikan materi karena Ben sangat cepat tangkap, sebetulnya preman sekolah ini pintar dan daya tangkapnya sangat cepat hanya saja sering membuat masalah dan malas sehingga Ben terlihat sedikit bodoh tetapi sebetulnya dia tidak sebodoh yang aku bayangkan.

“Laper enggak?” Ben bertanya kepada ku yang tengah membaca buku-buku tugasnya.
“Kenapa loe laper?”
“Iya, makan dulu yuk nanti lanjutin lagi”
“Terserah loe aja”
“Loe mau pesen apa?”
“Terserah loe”
“Kok dari tadi terserah terus?
 kalau gue lagi pengen nasi goreng, spageti, dan orange jus, loe mau
 sama juga?” aku terdiam
“Ya udah gue samain aja ya?” Aku hanya menggoyangkan kepala ku ke atas ke bawah.
Dan Ben menekan tombol putih kecil di sampingnya dan memesan makanan yang tadi ia inginkan, sangat praktis di kamar ini bisa memesan makan langsung dari kamar tanpa harus repot turun ke dapur atau berteriar-teriak, jika aku seperti Ben mungkin aku bisa gemuk dengan lemak menumpuk karena segalanya di rumah ini serba praktis dan tidak membuang-buang energi.
***     
“Caci kamu dari mana saja, jam segini baru pulang???”
“Maaf tante Caci ada jam tambahan di sekolah”
“Pantas saja akhir-akhir ini pulang sekolang selalu telat”
“Iya maaf tante”
“Ya sudah setelah makan dan mandi kamu tolong jemput Ima di tempat les-
  nya ya?”
“Iya tan”
     Maaf tante untuk saat ini aku belum dapat mengatakan yang sejujurnya kepada tante, aku terus berfikir bagaimana memberitahukan tante akan pekerjaan ku menjadi guru private Ben.
Jika hari ini aku berbohong pasti aku akan selamanya berbohong demi menutupi kebohongan ku di hari ini dan hari-hari selanjutnya.

Jam tangan ku menunjukan tepat pukul 16.30 dan aku pun mulai berjalan untuk menjemput Ima di tempat les, ketika sampai di temapat les-nya Ima aku melihat Veda tengah duduk di ruang tunggu yang banyak di huni para baby sister atau orang tua dari para anak-anak mereka yang les di tempat ini, terlihat betul ekspresi kaget dan sikap kikuk dari veda yang melihat kedatangan Caci.
Caci berusaha menyapa Veda dengan ramah namun tidak seperti biasa, Veda yang selalu dingin kali ini membalas sapaan Caci dengan ramah.

“Sudah dari tadi di sini?”
”Iya, loe apa kabar?”
Aku sedikit tersentak kaget dengan pertanyaan Veda, aku rasa pertanyaan ini tidak seharusnya di jawab, bagaimana bisa Veda bertanya seperti itu, karena setiap hari di sekolah Veda sudah melihat ku apalagi setiap detik dapat bertemu di rumah.
“Baik, tapi kenapa loe nanya tentang kabar gue?”
”Memang salah?”
“Iya enggak salah, tapi kan di sekolah dan di rumah kita sudah sering
  ketemu dan seperti yang loe lihat sekarang gue baik-baik aja”
“Iya gue tahu itu kok, gue nanya kabar loe cuma mau mastiin aja kabar loe
  dari loe sendiri, karena sudah lama juga kita enggak pulang bareng”
“Oh… loe kangen ya, karena sudah lama enggak pulang bareng gue?”
“Heh enggak usah ke PD-an gue malah seneng enggak pulang bareng loe,
  baru di tanya gitu aja sudah ke GR-an”

      Tidak terasa sudah tiga minggu berjalan, dan rahasia ini hanya aku dan Ben yang tahu, tante ku sudah mengerti bahwa aku memiliki jam tambahan, tetapi tante ku tidak pernah bertanya apa dan dimana jam tambahan itu berlangsung, namun aku merasa jauh dengan para sahabat ku, Fini masih sangat sibuk dengan perlombaan fisika, Ado juga sama sibuknya dengan latihan futsal dan kegiatan keagamaan di sekolah ku.
“Haahhh….” Fikri menarik nafas
“Loe kenapa Fik?”
”Gue sangat-sangat bosan”
“Bosan kenapa?”
”Coba aja loe fikir dua jam terakhir ini kosong, Fini sibuk persiapan lomba
  Fisika, eh sekarang di tambah lagi Ado sok sibuk”
“Udah Fik harap maklum aja, kan masih ada gue”
“Loe???
 loe juga mulai enggak asik Ci, sekarang kalau pulang main ngilang enggak
 jelas”
“Maaf dech Fik”
“Memang Cafe om loe lagi rame terus ya?”
     Maaf Fik gue enggak bisa jelasin alasannya sekarang gue yakin loe semua enggak akan setuju dengan keputusan yang gue ambil, tapi gue terpaksa lakuin ini semua.

“Caci pulang bareng yuk?”
Ado mengajak Caci pulang ketika bel pulang sudah berbunyi
“Maaf Ado, gue enggak bisa”
”Kenapa Ci?”
“Gue mau mampir ke Cafe”
“Yaudah gue anterin aja, bukannya dari sekolah lebih deket ke Cafe
  om loe?”
”Tapi Do gue mau mampir ke mini market belanja kebutuhan Cafe”
“Yaudah gue anterin aja ya?”
“Tapi ada kebutuhan wanita yang mau gue beli, gue malu kalau belinya
  sama cowok, sorry banget ya do”
“Oke kalau itu alasan loe lain waktu aja dech”
“Iyaaa… kali ini maaf banget ya Do”
“Enggak apa-apa kok Ci, gue cabut duluan ya, kalau ada apa-apa
  telepon gue ya”
     Maaf Do gue bohong lagi, sama loe dan Fikri tapi gue janji secepatnya akan cerita sama loe semua.
     Ketika Caci tenggah menunggu Ben di halte ternyata ada Veda yang belum pulang dan masih menunggu kendaraan umum.
“Lagi tunggu angkot ya?” Caci bertanya kepada Veda yang tengah serius membaca buku di halte yang sepi.
Dengan sok seriusnya membaca buku tanpa menghiraukan Caci, justru Veda hanya menjawab
“Loe ngomong sama siapa???”
”Sama buku yang loe baca!”
     Dengan gaya so-cool  Veda tidak menghiraukan Caci dan terus membaca seolah-olah buku yang tengah di bacanya lebih menarik di bandingkan seorang wanita berambut panjang yang tengah berdiri di hadapannya.
“Vedaaaaaaaaaaaa……….!”
Caci berteriak kencang dan tepat di samping gendang telinga Veda, dan membuat pria itu memperhatikan wanita yang berteriak di hadapannya.
“Mau loe apa sih?
  selalu aja ganggu gue”
“Heh… loe duluan yang nyolot gue kan ngomong sama loe kenapa
  di cuekin???”
“Heh… sejak kapan loe ngomong sama gue?
 tadikan loe bilang ngomomg sama buku gue, ya udah ngomomg
 aja nih sama buku gue!!!”
“Sumpah ya loe itu cowok paling nyebelin yang pernah gue temuin”
      Ketika kami tengah bertengkar tiba-tiba sebuah mobil berhenti di hadapan kami dan seorang pria yang mengendarai mobil berwarna silver itu memunculkan kepalanya dari kaca mobil miliknya , dan sepertinya aku mengenali pria yang mengendarai mobil itu dan ternyata pria itu adalah Gilang sahabatnya Veda yang sempat di kenalkan kepada ku ketika mengikuti perlombaan puisi dibalai kesenian, dan dari raut Gilang sangat terlihat bingung melihat aku dan Veda bertengkar serta berteriak-teriak, Veda pun langsung pergi menaiki mobil Gilang dengan tatapan tajam kepada Caci dan melesat entah kemana meninggalkan Caci di halte.

“Caci kita mau belajar di sini atau di kamar?”
“Emmm… di sini aja Ben”
“Oke, sambil tunggu bibi buat minuman gue ganti baju dulu ya”
     Caci duduk seorang diri di ruang tamu yamg memiliki ukuran sangat luas, bahkan lebih luas dua kali lipat di banding ruang tamunya,
Caci melihat-lihat pajangan serta lukisan-lukisan yang terpajang di dinding rumah Ben, serta pernak-pernik lampu yang terlihat mahal dan antik.
Aku merundukkan tubuhku dan melihat satu per satu foto-foto yang terpajang di ruangan ini dan terlihat foto Ben yang sangat mesra dan dekat dengan seorang wanita yang wajahnya begitu familiyar,
Caci pun memmperhatikan wajah wanita cantik yang berpose dengan Ben di sejumlah foto, tiba-tiba ada yang menepuk pundak Caci.

“Kamu temenya Ben ya?”
“I…iyaaa…” Caci terbata-bata
“Maaf aku enggak sopan lihat-lihat foto ini”
”Enggak apa-apa, aku Anestasya Putri Julius”
     Wanita itu mengulurkan tanganya dan Caci menyambut hangat jabat tangan itu dan aku teringat akan nama itu, ternyata wanita itu adalah seorang bintang model pantas saja wajahnya tidak begitu asing.
“Sezheci percia, kakak model yang sering muncul di televisi kan?”
“Tidak terlalu sering juga kok” suara lembut itu merendahkan hati
“Kamu Caci kan?”
“Loh kok kakak tahu nama panggilan aku?”
”Ben sering cerita tentang kamu”
”Tentang aku???”
“Iya, apa kamu sedikit kaget melihat foto-foto ini?”
“Iya, sepertinya kakak dan Ben begitu dekat dan akrab, tapi yang aku
  binggung Ben sering cerita apa tentang aku?”
     Tiba-tiba obrolan kami terhenti oleh kedatangan ben yang telah berganti pakaian dan membawa segelas jus.

“Hayo lagi ngomongin aku ya?”
“GR kamu de”
“hehe, oy Caci ini di minum dulu”
“Makasih Ben”
“Oya caci kamu masih inget enggak pertemuan sama kakak pertama kali?”
“Maaf kak memang sebelumnya kita pernah ketemu ya?”
“Itu loh Ci loe inget enggak yang beberapa waktu lalu ada gue pas makan
  di cafe, inget gak?”
     Caci berusaha mengingat-ingat dan kini Caci mulai mengingatnya, Anes itu adalah wanita yang datang ke Cafenya dengan dandanan sedikit aneh yang mengenakan long dress dengan syal di leher dan kaca mata hitam.
“Iya sekarang aku inget!
  kakak itu yang waktu itu makan di cafe ya?”
“Iya, oya Ben tadi Davi telepon kakak katanya PSP pesenan kamu yang
  paling baru udah ada, kamu suruh ambil sekarang di lokasi syutingnya”
“Sekarang?”
“Iya”
“Tapi kak… aku”
“Sudah enggak apa-apa, biar kakak yang neminin Caci ngobrol”

     Akhirnya Ben pun pergi meninggalkan aku hanya dengan kakaknya serta pelajaran hari ini pun tertunda.
“Caci biasa ikut pelajaran tambahan dimana?”
“Aku enggak pernah ikut pelajaran tambahan kak, aku belajar sendiri aja”
“Wah hebat ya bisa pinter gini dan kakak denger dari Ben kamu selalu
  masuk tiga besar ya?”
“Ah enggak juga kok kak, aku enggak sepinter itu” Caci berusaha tidak sombong dengan merendah.
“Beda banget sama Ben yang paling males di suruh belajar, dan kakak
  sedikit kaget sewaktu dia mau pakai jasa private”

     Aku hanya tersenyum mendengar ucapan kak Anes, Wanita lembut, tinggi, putih, dan manis ini kembali bertanya kepada ku
“Oya memang Ben kalau di sekolah terkenal bandel dan suka bikin
  onar ya?”
“Wah bukan terkenal lagi kak, tapi satu sekolah sudah hafal sama sifat
  Ben yang suka malak, bolos, tukang telat, suka tawuran dan bikin
  masalah”

     Tiba-tiba wanita manis di hadapan ku hanya tertegun mendengar Caci membeberkan kelakuan negative adiknya dengan semangat pejuang.
“Oopss maaf kak aku enggak ada maksud menjelek-jelekin Ben” 
“Enggak apa-apa kakak sudah tahu semuanya kok tanpa harus kamu
  ceritain”
Kak Anes tersenyum manis kepada Caci dan wanita manis itu mengambil sebuah foto berbingkai kecil yang terdapat dirinya dan Ben.
“Orang ini yang kamu bilang tukang bikin onar dan masalah sebetulnya
  adalah orang baik yang hanya kekurang cinta dan kasih saying” Anestasya menunjuk Ben yang terdapat di foto itu
“Maaf kak kalau ucapan aku membuat kakak tersinggung”
“Bukan Caci, bukan seperti yang kamu fikir kakak hanya mau tunjukin ke
  kamu siapa Ben yang sebenarnya”
“Maksud kakak apa?”
“Ben bukan anak yang terlihat dari luarnya, bukan anak yang bandel dan
  Pembangkang, tetapi Ben itu anak baik hanya saja dari kecil Ben kurang
  mendapatkan kasih sayang yang utuh dari kedua orang tua yang komplit
  seperti anak-anak pada umumnya. Dari kecil Ben dan aku sudah terlalu
  sering di tinggal papi dan mami yang sama-sama sibuk, sampai akhirnya
  sewaktu Ben baru kelas 1 SD dan aku kelas 3 SD, kedua orang tua kami
  resmi bercerai karena papi menuduh mami memiliki pria selain papi, Ben
  yang masih kecil bagaikan seorang malaikat suci berubah menjadi setan
  kecil yang menyebalkan karena saat-saat pertumbuhannya tidak ada
  sesosok ibu yang menyayanginya dan melarangnya serta tidak ada seorang
  ibu yang memberitahu mana yang baik dan mana yang salah, dan betul
  selang satu tahun setelah perceraian itu, mami menikah dan menetap
  dengan pria Italy, sungguh sejak saat itu kami membenci mami dan tidak
  ingin mengenalnya lagi karena mami tidak pernah ada ketika masa-masa
  sulit yang aku dan Ben lewati”

     Kini aku mengerti mengapa Ben begitu tempra mental dan brutal karena dari kecil Ben telah kehilangan sesosok ibu.
“Maaf ya Caci kakak jadi cerita masalah pribadi, padahal kan kita
  baru kenal”
“Enggak apa-apa, aku seneng kok kalau kakak anggap aku sebagai
  teman curhat”
“Teman curhat?
  kamu mau jadi teman kakak?”
“Iya kalau kakak enggak merasa keberatan”
“Tentu, justru kakak seneng punya teman baru, oya Caci beberapa minggu
  lagi kakak akan bertunangan dengan Davi Danova”
“Iya kak aku sempat dengar beritanya”
“Iya acara itu akan dilaksanakan di Madrid tempat kakek dan nenek Davi
  menetap dan acara itu bertepatan dengan hari ulang tahun kakak dan
  kakak berharap kamu bisa hadir”
”Wah jauh banget kak, walau aku enggak hadir aku tetap kok kirimin doa
  untuk kakak dan ka Davi”
“Makasih ya Caci”
***
“Gil maksud loe apa?
  loe bilang ada acara kumpul bareng anak-anak”
“Kenapa Ve kamu kaget?”
Ternyata maksud Gilang menjemput Veda disekolah hanya ingin mempertemukan antara Veda dengan Vira wanita yang sekaligus tunangan Veda.
“Jadi kalian sudah susun rencana untuk pertemuan ini?’
“Veda aku mohon jangan marah sama Gilang, ini semua aku yang atur”
“Bro gue enggak ada maksud apa-apa, gue cuma pengen kalian selesain
  masalah kalian secara baik-baik, gue tinggal supaya kalian lebih leluasa”
“Apa lagi yang harus di selesain Vir?”  suara dingin itu menyapa sang wanita yang berharap suatu kelunakan sikap dari Veda
“Kok kamu nanya kaya gitu, aku pengen kita kaya dulu lagi”
“Enggak akan bisa Vir, saat orang tua kamu malu dengan keluarga ku, aku
 fikir mulai saat itu semuanya sudah berakhir dan aku yakin ke dua orang
 tua kamu enggak akan setuju”
“Aku sudah bicara dengan mami dan dady dan mereka setuju”
“Maaf Vir mulai saat itu aku sudah cukup kecewa dan di hati aku sudah
  enggak ada ruang untuk kamu, aku anggap semuanya sudah selesai”
“Veda aku mohon dengerin aku, saat itu siapa coba yang enggak kaget
  dengan berita itu dan keluarga ku pasti malu punya calon besan….”
Tiba-tiba ucapan Vira terhenti karena Veda histeris dan berteriak mengatakan
“Cukup……..!!!”
Seolah Veda tidak menghiraukan Cafe di bilangan Kemang yang cukup ramai sore ini.
“Cukup Vir jangan di terusin lagi aku enggak mau denger lagi!!!
 jangan pernah kamu cari aku lagi, dan jangan pernah libatin orang lain
 dalam masalah kita, karena sekarang masalah kita sudah selesai jadi
 kamu jangan pernah cari-cari aku lagi, ngerti!!!”
 Veda meninggalkan Vira yang menangis sendirian di meja cafe.
                          
***
“Heh… kaca mata kuda, maksud loe apa tadi kaya gitu!
 loe mau cari muka di depan guru BP?”

     Pagi ini Sisi telah menggeplak meja Fini dengan kencang dan memaki Fini habis-habisan di depan anak-anak satu kelas yang telah datang.
“Heh… cupu!!!
 loe enggak akan bisa bersaing dengan gue!
 ngaca dong loe, loe itu siapa!!!
 loe itu enggak lebih dari orang miskin yang sekolah dengan beasiswa,
 jadi loe enggak pantes cari muka di depan gue, sekali cupu ya tetap aja
 cupu!!!!”
Caci yang baru datang melihat sahabatnya di hina seperti itu tentu Caci tidak tinggal diam dan langsung membentak Sisi.

“Heh jaga dong omongan loe, enggak seharusnya loe hina Fini kaya gitu”
“Wo… owh… ada pahlawan kesiangan dari mana nih!
  datang-datang langsung jadi pahlawan”
“Heh… kita memang miskin tapi enggak seharusnya loe hina kita terus-
  terusan, loe enggak akan tahu gimananya rasanya cari uang dan serba
  kekurangan karena loe selalu ngandelin uang dari orang tua loe”
“Wow… hebat banget ya, ada penceramah ternyata di kelas kita.
  heh Sezheci Percia sudah bercermin pagi ini?
  loe sadar enggak lagi bicara dengan siapa?
  dan apa loe enggak takut berurusan dengan gue?
  enggak takut juga kalau nanti gue aduin ke Ben?”
“Gue sudah bercermin kok pagi ini nona Sisi Permitha yang terhormat,
  dan gue sama sekali enggak takut mau loe aduin ke siapa pun,
  ayo Fin kita duduk di bngku kita”

“Ada apa sih?”
Fikri dan Ado yang baru datang sedikit bingung dengan keadaan kelas mereka yang ramai
“Fin ada apa?
 gue denger Caci abis ribut sama Sisi,
 loe enggak kenapa-napa Ci?”
“Gue baik-baik aja do”
“Caci tadi kenapa loe belain gue, padahal loe baru datang dan enggak
  tahu apa-apa”
“Fin… loe itu sahabat gue, enggak mungkin kan gue biarin loe di hina
  atau di maki kaya gitu”
“Makasih banyak Ci, loe masih peduli sama gue”
Fini pun memberikan pelukan hangatnya kepada Caci, dan kedua sahabat itu saling berpelukan.
***
     Sudah satu bulan aku menjadi guru private Ben rasanya begitu cepat dan hari ini aku memiki banyak waktu untuk datang ke cafe membantu om dan tante.
“Tumben hari ini kesini?”
”Ya aku lagi enggak ada pelajaran tambahan tan”
“Ya sudah kamu ganti baju gih, bantuin Caterin di belakang”
“Oke tan”
Aku memasuki dapur yang merupakan tempat terciptanya makanan-makanan lezat dan merupakn kunci dari kesuksesan om Hans
“Hallo paman Thomas”
Aku menyapa paman Thomas yang tengah menghias cakenya dengan crim cake putih
“Hey Caci, apa kabar?”
”Baik paman, wah cakenya makin cantik aja”
“Tentu, kamu juga boleh mencobanya nanti”
“Wow makasih paman,
  Hallo bibi Karin”
“Hallo Caci tumben kamu kesini?”
”Iya bi aku lagi ada waktu senggang”
Paman Thomas dan bibi Karin sudah seperti keluarga ku sendiri mereka seperti paman dan bibi ku sungguhan jika aku main ke cafe mereka sangat menyambut ku dengan baik.
“Hey Cat butuh bantuan enggak?”
“Wah Caci datang di waktu yang tepat, hayo sini bantuin aku rapihin
  piring-piring kotor ini”
“Ok, aku ganti baju dulu ya sebentar”
     15 menit kemudian aku siap membantu Caterin dengan seragam kebanggaan milik cafe.

“Kamu kemana saja baru kelihatan?”
“Enggak kemana-mana cuma lagi banyak urusan jadi baru sempet kesini”
Aku dan Caterin saling mengobrol sambil mengelap pring dan gelas-gelas yang baru saja di cuci, tiba-tiba tante ku datang dan membanting pintu dapur begitu kencang tetapi tidak terlihat dari wajahnya bahwa tante Bebie tengah marah justru wajahnya sangat senang.
“Tante ada apa?
  sampai banting pintu sekencang itu?”
“Caci kamu tahu siapa yang datang?”
“Enggak tahu, Caci kan dari tadi di sini”
“Ada teman kamu dan dia cari kamu”
“Teman aku? siapa? Ado atau Fikri?”
“Bukan… lebih penting dari mereka”
“Siapa tan, jangan bikin aku penasaran deh???”
“Beni Putra Julius”
“Hah??? Serius???” Aku dan Caterin sama terkejutnya
“Iya dia cari kamu, sekarang kamu cepat temuin dia”
“Tapi tan”
“Sudah sekarang kamu temuin saja Ben, tante juga sudah tahu
  kenapa kamu sering pulang telat, Ben sudah cerita semuanya”
”Tadi tante ngobrol sama dia?”
”Iya dan tante setuju kok”
“Maksud tante setuju apa?”
”Sudah kamu temuin Ben sekarang jangan banyak nanya!”
     Akhirnya aku pun menuju meja yang di huni oleh pria yang berpostur tinggi yang duduk sendiri sambil menikmati secangkir capucino hangat.
“Ben kamu ngapain?”
”Hey… kenapa memang enggak boleh ke sini ya?”
“Bukan gitu aneh aja dan bukannya kontrak kerja sama kita sudah
  selesai?”
“Iya memang sudah selesai tapi aku butuh bantuan kamu”
“Bantuan apa?”
“Kamu tahu kan ka Anes mau tunangan di Madrid?
 nah aku pengen kamu bantu aku untuk cari kado buat pertunangan ka
 Anes dan ka Davi, gimana?”
“Tapi Ben aku lagi kerja sekarang”
”Iya aku tahu dan aku sudah minta izin dengan pemilik cafe ini dan mereka
  setuju”
 jelas saja setuju bagaimana tidak pemilik cafe ini kan adalah tante ku, akhirnya aku menuruti untuk membantu Ben memilih kado yang akan di berikan kepada ka Anes.
Ketika belum jauh dari cafe Ben menepikan motor besarnya itu.
“Ada apa Ben?”
“Bensin gue tiris, loe tunggu dulu ya disini gue mau isi bensin sebentar”

Akhirnya aku pun menunggu di sebuah halte, ketika aku tengah menunggu Ben di halte yang sepi, tiba-tiba sesosok wanita yang tidak asing bagi ku menepuk pundak ku dan wanita itu ternyata Fini wanita berkaca mata yang sangat ku kenal.
“Caci loe ngapain sendirian disini?”
“Fini…” Caci sangat terkejut di sapa oleh Fini rasanya ingin langsung menjelaskan kepada Fini agar tidak terjadi kesalah pahaman.

“Loe sendiri mau kemana Fin?”
“Gue mau ke tempat les, loe sendiri mau kemana?”
”Gue… mau ke cafe”
“Loh kok rapih banget ya kaya orang mau pergi???”
Caci terlihat sedikit gugup dan bingung menjawab pertanyaan dari Fini.
“Emm… em… gu… gue… tadi ada perlu dan ini mau mampir ke cafe”
Caci terlihat gugup dan tidak yakin dengan jawabannya sendiri
“Oh… ya udah gue mau pergi les dulu ya, salam aja dech buat tante Bebie
  dan om Hans ya”
“Iya nanti gue sampein”
     Untung saja Fini segera pergi dan tidak banyak tanya, maaf Fin akan ketidak jujuran aku ini, tapi aku janji secepatnya akan segera menceritakan dan jujur kepada Fini, serta para sahabat ku.

“Maaf ya Caci sedikit lama”
”Oh enggak apa-apa, udah selesai?”
“Iya, ya udah cabut yu”
     Kami pun tiba di sebuah Mall yang cukup ramai dan sepertinya para pengunjung Mall ini hanya terisi oleh mereka orang-orang yang sangat mudah membuang uang mereka demi kepuasan semata, jika aku pergi ke Mall ini tidak bersama dengan Ben mungkin aku akan sangat minder  berada diantara kalangan sosialita yang hanya memandang tinggi diri mereka dan menganggap orang lain kecil di mata mereka.
“Caci kita mau nonton atau mau makan dulu?”
“Loh… bukannya kita mau cari kado?”
“Iya sih tapi kamu mau nonton atau makan dulu enggak apa-apa kok”
“Enggak usah, kita cari kado aja dulu, kalau makan atau nonton nanti bisa
  kemaleman pulangnya”
“Oh ya udah seterah kamu aja deh”

Caci pun sedikit bingung dengan perubahan sikap Ben hari ini dan terlihat sedikit manis kepada ku, mungkin karena Ben sedang membutuhkan pertolongan ku sehingga hari ini sikapnya sedikit manis, fikir Caci polos.

Ketika kami berjalan menyusuri toko-toko untuk mencari kado pertunangan untuk ka Anes, tiba-tiba Ben menarik tangan Caci.
“Caci tunggu, jangan jalan cepet-cepet, kita mampir ke toko olahraga
  dulu ya”
Belum sempat Caci berkata-kata tangan Caci sudah di tarik lagi dengan sigap oleh tangan Ben untuk memilih tumpukan barbell yang bersusun, beratnya dari yang paling enteng sampai yang paling berat.
Setelah itu Ben ke toko khusus pakaian pria, dari kemeja lengan pendek sampai kemeja lengan panjang, dan sebuah blue jeans belel, serta tidak ketinggalan dua kaos polo rebook.

Ini cewek atau cowok sih?
Ternyata Ben shopaholic juga bahkan barang belanjaanya lebih banyak di bandingkan tante ku yang sangat gemar berbelanja, sampai tidak terasa di tangan kanan dan kiri ku terdapat tiga kantung belanjaan.

“Ben katanya kita ke sini mau cari kado”
Caci berusaha mengingatkan Ben akan tujuan awal mereka.
Dan Ben melihat Caci keberatan menenteng seluruh tas tentengan yang isinya barang-barang belanjaan Ben, Ben pun mengambil tiga kantung belanjaan dari tangan kiri Caci.
“Sabar ya Caci aku juga lagi cari kado mana yang mau aku kasih”
“Ben sadar enggak sih dari tadi tuh kamu belanja bukan cari kado”
Caci mulai bosan menemani dan membawakan barang-barang belanjaan Ben.
“Maaf ya caci, kamu mulai bosen ya?”
“Jadi loe ngajak gue hari ini cuma untuk bawain belanjaan loe?”
“Yah… jangan marah dong ci, ya udah sekarang juga kita cari kadonya ya”

Ben pun menarik tangan Caci ke sebuah toko periasan yang berisi berlian mahal, para berlian dan mutiara ini sangat terlihat mahal dan bersinar dan membuat mata siapa saja yang melihatnya menjadi silau dan takjub.
“Caci kalung mutiara ini bagus enggak?”
Ben menunjuk sebuah kalung mutiara yang sangat indah
“Wah bagus banget Ben”
“Emm.. aku boleh pinjam leher kamu sebentar?”
“Untuk apa?’’
“Mau lihat aja ini pantas atau enggak kalau di pake sama kamu, jadi aku
  bisa bayangin gimana kalau nanti di pakai oleh ka Anes”
Ben pun mulai membantu Caci untuk memakai kalung mutiara itu dan Caci sangat cantik dengan kalaung mutiara itu, kalung mutiara yang indah dan paling mahal di toko itu sangat cocok di kenakan di leher Caci.

“Bagaimana???”
”Bagus banget ci, ya udah mas tolong kalung mutiara ini di bungkus
  rapih saya ambil satu ya”
“Baik mas”
     Ketika Ben tengah membayar kalung mutiara itu Caci pun melihat-lihat periasan-periasan yang ada di toko berlian dan matanya tersihir kagum pada sebuah gelang emas putih dengan taburan berlian yang sangat cantik
“Gelang itu cantik ya?” Ben bertanya kepada Caci yang sangat serius memperhatikan gelang berlian itu sehingga tidak menyadari akan kedatangan Ben.
“Iya cantik banget” Caci menjawab pertanyaan Ben tanpa menyadari kehadiran Ben
“Kamu mau???”
“Ah… enggak ko, sejak kapan kamu di situ?”
”Sejak kamu merhatiin gelang itu”
”Kamu udah bayar?”
“Udah ko, kenapa Ci kamu mau gelang itu”
”Enggak kok aku cuma suka aja ngeliat gelang itu”
“Ya udah kalau kamu suka ambil aja, biar aku yang beliin buat kamu”
“Enggak Ben, udah aku bilang aku enggak mau, memang mau aku pakai
  kemana coba gelang mahal kaya gitu”
“Udah enggak apa-apa aku yang beliin ko buat kamu”
“Enggak usah Ben, gelang itu hanya akan ngancam nyawa aku aja,
  setiap hari-kan aku harus naik-turun kopaja dan bajai, bahaya-kan!!!”
“Ya di pakainya saat pergi ke acara-acara penting aja”

Ben terus mendesak untuk membelikan Caci sebuah gelang berlian itu, dan Caci pun terus mencari alasan agar Ben tidak perlu membelikan gelang mahal itu.
“Enggak perlu Ben lagi pula aku sedikit alergi dengan periasan yang melekat
  di tubuh ku” Caci sedikit tidak yakin dengan alasannya.
Ben terdiam mendengar alasan Caci dan tiba-tiba Ben tertawa sangat puas mendengar alasan Caci, seolah-olah Caci adalah badut di hadapannya yang sedang melawak.
“Kenapa Ben ada yang lucu?”
“Dasar orang kecil pakai periasan mahal aja pakai alergi segala”

Tentu mendengar dirinya disindir seperti itu membuat Caci tidak dapat menerimanya bahkan Caci kesal sekali mendengar ledekan dari Ben, Caci menjatuhkan tiga kantung belanjaan milik Ben ke lantai karena sangat kesal, dan meninggalkan Ben di toko berlian itu.
“Caci… Caci… tungguuuu…!”
Ben berusaha mengejar Caci sebelum akhirnya mengambil dengan sigap tiga kantung belanjaan yang di jatuhkan Caci, dan Ben dapat meraih tangan Caci yang kecil dan larinya tidak begitu kencang.
“Caci gue minta maaf, gue minta maaf kalau loe tersinggung dengan
  ucapan gue tadi”
“Ben gue fikir loe berubah, tapi sifat sombong loe masih aja”
“Okeee… gue ngaku salah dan gue minta maaf, please jangan marah lagi”
“Udah ah gue capek sama loe gue mau pulang aja”
“Jangan pulang sekarang, yaudah kita makan aja deh biar loe enggak Bete,
  kita makan ya?”
Caci pun tidak tertarik dengan ajakan makan dari Ben walau makan di restoran paling mahal sekali pun.
“Enggak!!! Gue mau pulang!!!”
“Jangan pulang sekarang, gue beliin loe ice cream cokelat ya?
  pasti loe enggak akan bisa nolak”
“Loe tahu dari mana kalau gue suka ice cream cokelat?”
“Ada deh, ya udah sekarang jangan marah lagi ya, kita baikan”
Pasti Tante yang memberi tahu tentang kesukaan ku kepada ice cream.
Dan Caci pun memaaf kan Ben karena melihat kesungguhan Ben merayu dan meminta maaf kepada Caci.

Lidah merah itu terus menjilat magnum almond dan tidak membiarkan sedikit pun ice cream cokelat itu menetes atau meleleh, dengan cueknya Caci terus menjilat ice creamnya di sebuah bangku dengan tiga kantung belanjaan di pangkuannya, dan Ben sendiri entah menghilang kemana, hanya menyuruh Caci untuk menunggunya. Sesaat kemudian Ben muncul dengan sekantung tentengan kecil.
“Dari mana Ben, habis belanja lagi ya?”
“Enggak kok tadi cuma mampir, eh loe beneran enggak mau beli baju?
  gue yang bayarin loh???”
“Huhhh… dasar pemborosan, sok banyak uang nich”
”Enggak gitu kok, ya udah kalau loe enggak mau tapi gue punya
  hadiah buat loe”
“Hadiah??? Kenapa??? Gue kan lagi enggak ulang tahun?”
”Loh memang hanya orang yang ulang tahun aja yang dapat hadiah?
  gue kasih hadiah karena hari ini loe udah mau nemenin gue”
Ben pun menyodorkan tentengan kecil yang sedari tadi dibawanya.
“Parfum???”
Sebuah parfum Yves Saint Laurent di berikan kepada Caci
“Gimana suka enggak?
 tapi loe tenang aja harganya enggak mahal kok dan di jamin enggak
 bakal bikin loe alergi”
“Maksudnya loe nyindir gue nih?”
Ben hanya menyengir kecut mendengar Caci merasa tersendir.

Sebelum pulang Ben mengajak ku makan di sebuah lestoran yang cukup mewah dan terlihat sekali ini adalah sebuah restoran mahal, ada rasa canggung dari raut ku, aku merasa tidak nyaman makan di tempat semewah ini.
Disela-sela acara makan malam ini Ben memberiku sebuah cek.
“Caci ini sisa bayaran loe sebagai guru private gue”
Selembar cek berjumlah dua juta rupiah di sodorkan-nya kepada Caci
“Ben cek yang kemarin aja belum gue cairin, dan gue rasa uang yang
  kemarin udah cukup banget Ben untuk bayar SPP dan semesteran gue”
“Udah terima aja Caci, anggap aja ini adalah tanda makasih gue atas
  jasa-jasa loe selama ini jadi guru private gue”
“Hhaaa… Hiperbola banget sih Ben”
“hheee ya udah di terima ya, kalau loe tolak nanti gue marah loh”
Akhirnya Caci mengambil selembar cek itu.

Kami pun mulai berbincang-bincang mengenai banyak hal dari yang ringan hingga paling gombal sekali pun.
“Gue bener-bener enggak sangka bisa disini dan makan bareng sama
  loe, padahal di sekolah kita enggak pernah ngobrol, kok bisa ya?”
“Ya bisa lah, apa sih yang enggak bisa?
   gue bisa ajak siapa aja untuk makan bareng sama gue”
Seperti biasa Ben berbicara dengan kesombongannya.
“Sumpah ya Ben loe itu manusia paling sombong sedunia
  yang pernah gue kenal”
“Dan loe cewek paling polos, cepet marah, cepet tersinggung,tapi
  cepet senyum lagi pokoknya susah untuk di tebak”
“hhhaaa masa sih?”
“Iya dan loe itu kalau tersenyum manis banget”
“Apa sih Ben gombal banget deh, coba bilang sama gue,
  gue cewek keberapa yang loe bilang kaya gitu?”
“Pertama”
“Udah ah… bohong banget, oya kenapa hari ini loe ngajak gue?
  kan loe bisa gitu ajak Sisi gue yakin selera dia lebih tinggi”
“Enggak ah riber kalu ajak dia, Sisi itu manja banget, gue enggak
  suka cewek manja dan bawel kaya dia, lagi pula gue kan pengennya ngajak
  loe bukan dia”

      Malam semakin larut lampu-lampu penerangan telah bernyinari kota Jakarta sedari tadi dan ini bagai ciri khas kota Jakarta di antara kehidupan malam di Jakarta. Para bintang pun telah bertaburan menghiasi langit dengan di temani rembulan yang tengah menampakkan dirinya dan cahaya terangnya, aku dan Ben telah bergegas untuk pulang.
“Caci sebelum pulang gue mau ucapin sesuatu”
“Apa Ben?”
Caci berdiri di hadapan Ben yang telah duduk di atas motor Ninja merah-nya, tiba-tiba Ben meraih tangan Caci dan sulit di duga Ben mengecup pipi kanan caci.
“Makasih banget ya Caci untuk hari indah ini”
Caci diam mematung, jantungnya berdebar begitu kencang, perutnya memiliki rasa sakit yang aneh dan seluruh aliran darahnya seperti tersumbat dan berhenti mengalir, ada rasa aneh dan tidak biasa yang sulit dijelaskan.
“Hey kok bengong???
  ayo naik katanya enggak mau kemaleman kan pulangnya”

Caci menaiki motor Ben namun masih terdiam dan memegang pipi kanannya, dan Caci masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi pada dirinya.